🍁 VOTE
🍁 RATE
🍁 LIKE
Seminggu sebelum pernikahan terjadi.
***
Melia terkejut melihat keberadaan Fahri yang tiba-tiba saja ada di tempat yang sama dengan tempatnya berada saat ini.
"Pak Fahri," lirihnya.
"Masuk, aku antar kamu pulang!" serunya, terdengar seperti saat ia memberikan perintah.
"Enggak, saya bisa pulang sendiri," sergahMelia yang merasa kurang nyaman.
Ia terus berjalan menelusuri jalanan yang mulai sepi karena telah larut malam.
Tak lama kemudian ponselnya berdering. Saat Melia menyadari nama Erlan di layar ponselnya, jemari lentiknya bergerak cepat menggeser tombol hijau untuk menjawab.
"Melia, aku tidak bermaksud untuk meninggalkan kamu. Ini demi kebaikan kita," ujar seorang pria di seberang telepon terdengar berusaha meyakinkan.
"Kebaikan katamu? Kamu menyakiti aku, Erlan," ketus Melia menimpali ucapan Erlan yang masih berusaha meyakinkan meski sebelumnya pergi.
"Aku janji akan datang di saat kamu membutuhkan. Tapi kali ini, izinkan aku pergi dengan tenang. Aku menyayangimu, Melia." Erlan menutup sambungan ponselnya secara sepihak.
Namun, langkah Melia akhirnya terhenti ketika menyadari mobil yang dikendarai oleh Erlan telah menunggunya di bahu jalan.
Kali itu, Melia tak lagi pikir panjang. Amarahnya bahkan ia singkirkan. Mungkin hanya dalam hitungan detik lamanya, ia langsung berhambur dan menghampiri Erlan yang juga berdiri menunggunya sambil mengulurkan tangan.
Melia langsung masuk ke dalam mobil Erlan, dan pemuda itu pun mengantarkannya pulang.
"Melia, kamu gak pulang ke rumah orang tua kamu saja? Dari pada di sini, kamu kesepian kalau aku gak ada," tukas Erlan saat keduanya sampai di sebuah rumah besar di kawasan elite.
"Aku pengen mandiri. Lagi pula ini juga rumahku, meski pemberian ayah," sahut Melia yang masih memasang muka ditekuk.
"Melia, janji ya ... tunggu aku kembali. Gak akan lama, aku sayang kamu, Melia," ungkap Erlan pada akhirnya.
Selama ini keduanya hanya bagai sepasang sahabat yang saling perhatian satu sama lain tanpa ada kejelasan hubungan yang lebih.
"Janji selalu kasi kabar, ya!" pinta Melia dengan raut memelas.
Erlan pun mengangguk setuju. Akhirnya, malam itu mereka berpisah secara baik-baik. Pertengkaran yang semula sempat membuat rasa gundah membuncah, sirna sudah.
*****
Dua minggu berselang, Melia menjalani hari-hari tanpa Erlan. Kini harinya seolah hampa. Tak lagi ada teman yang mengerti dan mau mendengar keluh kesahnya.
Biasanya, setiap hari pemuda itu selalu ada menemani di saat Melia pulang bekerja. Mendengar ocehan Melia tentang keluhan soal pekerjaan sudah menjadi kebiasaan.
Namun, kali ini gadis itu hanya bisa menyimpan kekesalannya sendiri tanpa bisa menceritakan pada siapapun.
Menghubungi Erlan pun hanya saat mendesak saja, sebab pemuda itu kabarnya memiliki kesibukan yang semakin padat.
Melia sedang duduk melamun sendirian ketika jam istirahat makan siang. Seluruh teman yang satu ruangan dengannya sudah pergi untuk santap siang entah ke mana. Hanya ia saja yang tersisa di ruangan itu.
Tak lama kemudian, justru Fahri melangkah mendekatinya sembari menyodorkan ponselnya ke arah Melia. Membuat gadis itu tergemap dengan bibir yang keluh sementara matanya terbelalak lebar.
"Ayah kamu nelpon. Mau ngomong penting." Fahri langsung menempelkan ponsel miliknya di telinga lawan bicaranya.
"Halo," sapa Melia.
Namun, bukan suara sang ayah yang ia dengar. Melainkan suara lembut ibunya. Membuat gadis itu semakin bingung sekaligus terkejut.
"Halo, Melia. Kamu cepat pulang ya, Nak. Ayah kamu sedang sakit. Sekarang ibu nunggu di rumah sakit sendirian," ungkap seorang wanita pemilik suara lembut di seberang telepon.
"Sakit! Oh, i-iya. Melia pulang sekarang," sahut Melia yang langsung mengembalikan ponsel Fahri tanpa menutup sambungan ponselnya terlebih dahulu.
"Pak, saya izin ya. Kali ini, tolong jangan marah. Ayah saya sakit, Pak." Melia berucap sambil menangis hingga sesenggukan.
Karena sambungan telepon belum ditutup oleh Melia. Sehingga sebelum menjawab permintaan izin Melia, Fahri melanjutkan obrolan dengan sedikit menjauh.
Sedangkan Melia, gadis itu tak menggubris apapun lagi. Ia bergegas membereskan meja kerjanya kemudian dengan langkah setengah berlari ia berteriak ketika melintas di depan ruang kerja Fahri. Terkesan kurang sopan, memang.
"Saya pamit!" teriak Melia.
"Hey, tunggu," sergah Fahri sambil melambaikan tangannya.
Sayangnya Melia tak peduli dan terus berlalu begitu saja.
*****
Kini Melia telah sampai di rumah sakit tempat ayahnya dirawat, setelah menempuh perjalanan yang lumayan panjang dengan menaiki kereta api hingga berganti menaiki taksi online.
Langkahnya berubah pelan. Jantungnya seolah berdegup lebih kencang dari biasanya.
Dari balik jendela kaca. Ia bisa melihat kondisi sang ayah yang sedang terbaring lemah, dengan beberapa peralatan medis yang tertancap dan beberapa lainnya lagi melekat di tubuhnya.
Tak tega. Tentu saja rasa itu yang seorang putri rasakan ketika melihat ayah yang telah lama ia tinggalkan dalam kondisi menyedihkan.
Terlebih, kabarnya, Melia pergi bekerja meninggalkan rumah akibat menghindari perjodohan yang telah diatur oleh sang ayah.
Meski sebelumnya ia pergi dengan rasa marah, akan tetapi melihat kondisi ayahnya yang sudah tampak keriput di beberapa bagian wajahnya yang masih terlihat tampan itu pasti sangat sedih dan terluka.
"Melia, kenapa gak langsung masuk!"
Seorang wanita paruh baya namun masih terlihat cantik langsung berhambur dan menyambut dengan membukakan pintu untuk putrinya.
Keduanya saling berpelukan melepas rindu. Membuat sang ayah yang semula tertidur pulas akhirnya membuka mata juga.
"Melia," panggil pak Haris.
Namanya Haris Kristanto, pemilik perkebunan teh tersohor dan juga beberapa usaha kuliner di daerahnya.
Pria berusia paruh baya itu ternyata berusaha untuk duduk dan bersandar di saat kondisi badannya yang lemah.
Tentu saja Melia dan ibunya langsung berlari mendekati dan juga sigap menata bantal agar digunakan pak Haris untuk bersandar.
"Melia, ayah sudah seperti ini kondisinya. Kali ini kamu jangan mengelak. Lagi pula kamu belum bisa membuktikan bahwa kamu bisa mencari calon suami sendiri yang lebih layak dan tepat ketimbang calon suami pilihan ayah," ungkap pak Haris dengan raut gelisah bercampur meringis menahan sakit.
"Ayah, bahas masalah Melia nanti saja. Yang terpenting sekarang kesehatan Ayah," ujar Melia memberikan saran.
"Ayah gak tenang, Nduk. Sebelum kamu bertemu dengan calon pilihan Ayah. Jika nanti kamu tidak setuju setelah bertemu, kita pikirkan lagi. Setidaknya, temui dia dulu, ya! Ini demi ayah," pinta pak Haris dengan tatapan memohon.
"Tapi Melia sudah punya pilihan sendiri, Yah," tolak Melia tak mau dipaksa.
Ia masih mengingat bagaimana saat ia dan Erlan mengucap janji.
"Begini, ayah mau ketemu dengan pria pilihan kamu sekarang. Bisa?"
Pak Haris melemparkan tatapan paling seriusnya. Entah apa yang ia pikirkan hingga ia mendesak Melia seperti itu.
"Dan jika Melia tidak berhasil mendatangkan pria pilihan Melia sekarang ...."
Belum sempat gadis itu melanjutkan ucapannya, tapi pak Haris yang terlihat kesal langsung menimpali.
"Maka mau atau tidak kamu harus menerima lelaki pilihan ayahmu ini, Nak!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
Sery
kau meninggalkan Melia.. ya sudahlah.. Melia diambil orang 😀
2023-06-01
2
Samantha
Sok dingin Fahri
2023-04-03
0