🍁 Like, Favorit, dan Rate
Bias temaram senja menyeruai, laksana mega yang telah menua. Tiada lagi cerah, hanya gelap gulita sejauh mata memandang.
Hari telah berganti malam. Beberapa lampu gedung bahkan telah dimatikan. Tak banyak orang yang masih tinggal di sana. Hanya beberapa penjaga gedung saja dan salah seorang cleaning servis yang memang izin tinggal menginap di kantor.
Malam itu, Melia batu saja selesai mengerjakan desain yang diminta oleh Fahri. Tampak di hadapannya Fahri masih sibuk dan tak acuh.
Namun, Melia tetap bergegas merapikan barang-barangnya karena kebetulan kala itu ia dipaksa menyelesaikan pekerjaannya Di ruangan Fahri.
"Mau ke mana? Ketemu pacar kamu?" Fahri bertanya dengan tatapan masih tertuju Di layar monitor di hadapannya.
"Ini tidak ada kaitannya dengan pekerjaan, jadi saya tidak perlu menjawab," satu-satunya Melia ketus.
Tatapan mata Fahri berpindah dari layar monitor ke paras cantik pemilik suara. Sebelah alisnya naik, seolah memberi tanda Jika ia tak suka diremehkan.
"Apapun yang berhubungan dengan kamu akan menjadi urusan saja juga nantinya, Melia. Pulanglah! Lagi pula kamu bukan anak kecil yang harus diperhatikan." Fahri langsung mematikan komputer miliknya.
Sama persis dengan Melia, ia pun bersiap untuk pulang. Entah karena merasa kesal, mungkin. Hingga ia pergi mendahului Melia. Meninggalkan gadis itu di gedung yang kini sunyi mencekam.
Melia pun akhirnya berjalan sambil mengedarkan pandangan ke sekitar ruangan menahan rasa takutnya.
Bahkan sesekali ia harus menoleh ke belakang hanya sekedar untuk memastikan jika dirinya memang benar-benar aman, situasi itu terus berlanjut bahkan hingga ia akhirnya sampai juga di lantai dasar.
Sesampainya di tempat parkir. Ia terkejut melihat Fahri masih duduk memaku di dalam mobilnya.
"Butuh tumpangan?" tanya Fahri menawari.
"Enggak. Saya sudah pesan taksi online," tolak Melia sambil berlalu.
Sementara Fahri yang terus memandanginya, hanya bisa menggelengkan kepalanya sambil memukul kemudi sebagai ungkapan kekesalannya.
"Sial! Beraninya menolak ajakanku," umpatnya menggerutu.
*****
Waktu telah berlalu. Hari memang semakin malam, akan tetapi Melia bukanlah seorang perempuan yang ingkar janji.
Gadis itu masih tetap mendatangi sebuah kafe yang letaknya hanya sekitar tiga kilometer dari jarak kantor tempatnya bekerja.
Kafe sederhana langganan, dengan hidangan beraneka roti dan kudapan memang selalu dipesan oleh Erlan terlebih dahulu sembari menunggu kedatangan Melia.
"Hei, lama banget! Hampir dingin nih, kopinya. Maaf ya, aku pesan dulu. Soalnya aku tahu kalau kamu pasti capek. Gimana? Bos kamu masih galak?" sapa sekaligus tanya Erlan mencecar Melia yang baru saja datang.
Pemuda itu tampak sigap menyeret kursi agar Melia langsung duduk di dekatnya. Ya. Sejak mereka masih duduk di sekolah dasar, keduanya memang sudah berteman baik.
Hingga tanpa mereka sadari, keduanya jadi semakin perhatian seiring berjalannya waktu. Erlan adalah pemuda baik hati yang meski dari kalangan berada tapi penampilannya tak pernah berlebihan.
Oh ya, Erlan adalah seorang kutu buku tapi penampilannya tetap modis. Meski ia digandrungi oleh banyak kaum hawa, akan tetapi tak satu perempuan pun yang berhasil mendekatinya, kecuali Melia.
"Masih, jauh lebih songong malah. Baru saja ia memintaku mendesain ulang gambar properti yang sudah kukerjakan dalam seminggu. Bayangin aja keselnya seperti apa. Lan, rasanya aku gak kuat kerja di tempat itu," keluh Melia dengan bibir manyun ke depan.
Dengan sabar, Erlan mendengarkan sembari menopang kepalanya dengan sebelah tangannya ia menatap Melia dengan tatapan teduhnya.
"Kalau gak kuat ... ya, jangan dipaksa. Pelan-pelan cari tempat kerja lainnya," sahut Erlan.
"Aku perlu pembuktian, Lan. Ayahku hanya memberikan sedikit waktu untuk membuktikan jika aku ini bukan anak manja. Aku harus kasih bukti bisa mandiri," sahut Melia.
"Untuk apa?" Kening Erlan mengerut mendengar penuturan Melia.
"Biar ayahku berhenti menjodohkan aku dengan para pria pilihannya. Jika aku bisa kasih bukti, ayah janji akan kasih aku kelonggaran dekat dengan siapapun sesuai inginku," ungkap Melia.
"Semoga sukses deh, kalau begitu." Samar-samar senyuman di pipi Erlan memudar.
Melia menyadarinya, kini keduanya saling bertukar pandang. Seolah hari ini ada hal menyedihkan akan terjadi.
Seketika tiba-tiba hening. Keduanya sama-sama terdiam sambil menatap satu sama lainnya.
"Melia," panggil Erlan membuyarkan lamunan gadis di hadapannya.
"Ya."
"Aku minta kita ketemu, karena ada hal penting yang mau aku omongin. Semoga setelah ini, kamu di sini akan baik-baik saja. Tetap semangat ya, kerjanya. Jangan membebani dengan seorang yang mungkin bisa merusak mood kamu saat bekerja," ungkap Erlan sambil mengelus punggung telapak tan Melia yang bertengger di atas meja.
Melia yang terkejut pun, tatapannya langsung mengarah pada tangan Erlan. Seorang pemuda yang selama ini bisa dibilang sudah menjadi tempat sampah keluh kesahnya.
Wajah Melia pun akhirnya berubah pias, bersamaan dengan gerakannya menarik telapak tangannya dengan cepat.
"Ada apa, Lan?" tanyanya, memasang ekspresi cemas.
"Aku mau pergi jauh, ke luar negeri untuk membantu paman, sekaligus belajar bisnis. Ini kesempatanku satu-satunya. Aku harap, kamu tidak sedih. Atau merasa kehilangan. Aku tetap ada kok, Melia. Hanya jarak kita saja yang memisahkan," ungkap Erlan.
"Harus?"
"Ya, kamu tahu enggak. Selama ini aku selalu dianggap tidak pecus, dan dibandingkan dengan kakakku. Aku harap kamu mengerti. Ini impianku, Melia." Erlan mengelus lembut puncak kepala gadis di hadapannya.
"Kenapa harus sekarang sih, Lan? Aku sedang butuh kamu. Aku bingung dengan keadaanku dan kamu malah pergi!" desis Melia.
Entah apa yang mendasari perasaannya, mungkinkah sudah terbiasa dengan kehadiran Erlan yang membuatnya merasa nyaman. Hingga Melia tak rela dan hatinya sedih ketika tahu dirinya akan ditinggalkan.
Erlan tak menjawab lagi. Hanya tatapan teduh dan sedih yang tergambar dari air mukanya.
"Kamu bahkan tahu, aku gak punya teman selama ini, Lan. Hanya kamu. Hiks ... hiks." Bulir bening dari pelupuk matanya yang semula terbendung mengalir deras sudah.
Sementara Erlan. Hanya bisa diam dan membeku menatapnya.
"Lan, aku boleh gak sih egois? Aku pengen kamu batalkan kepergian kamu!" seru Melia mendesak.
"Maaf, Melia. Aku gak bisa. Ini mimpiku. Tidak akan ada kesempatan kedua. Kamu gak ngerti seperti apa keluargaku," seloroh Erlan menimpali kemudian beranjak berdiri dan pergi.
Malam itu, yang terpampang di wajah ayu Melia adalah wajah seorang insan yang sedang patah hati.
Entah mengapa, rasanya ia seperti dikhianati. Ada rasa tak terima bercampur pilu.
Entah berapa menit lamanya ia hanya terduduk diam menangisi kepergian Erlan. Hingga akhirnya ia tersadar lali beranjak berdiri dan berlari mencari keberadaan Erlan.
"Erlan," panggilnya ketika mobil sport yang dikendarai Erlan melesat melintasinya begitu saja.
Entah tak tahu akan keberadaan Melia, atau suatu kesengajaan. Erlan bahkan tak menoleh ketika melewati gadis itu.
"Melia, ini sudah malam. Kenapa kamu nangis sendirian?"
Suara bariton milik Fahri membuat Melia yang masih menangis menoleh kepadanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
Elisabeth Ratna Susanti
suka judulnya 😍 ceritanya makin seru 👍
2023-05-04
4
Samantha
Huhuhu candu nih
2023-04-03
0
Nina_Melo
Fahri, awas jatuh cinta Lo
2023-03-29
0