🍁 RATE
🍁 FAVORIT
🍁 LIKE
Seolah petir menyambar, hidup Melia berubah. Bagaikan mimpi buruk yang nyata.
Hening tertatih bertajuk sepi. Enggan sibak makna laksana perangai jati diri. Nestapa dan asa kian menyeruak di relung hati. Kini, Melia hanya bisa diam dan merenung memikirkan semua keadaan yang baginya menjadi serba sulit.
Hari ini, tiba saatnya waktu yang dinanti oleh pak Haris dan juga keluarganya.
Rumah besar dengan dekorasi kuno, kini disulap dengan hiasan bunga warna-warni di segala penjuru ruangan. Menjadi saksi bisu diselenggarakannya pernikahan Fahri dan Melia.
Aroma melati khas pengantin menguar di kamar Melia. Empat wanita dikerahkan untuk mempercepat agar riasan cepat selesai.
Hari memang masih pagi, tapi suasana rumah Pak Haris sudah riuh dengan sanak saudara dan juga tetangga yang datang. Mereka memang tidak mengundang banyak orang.
Para tamu hanya kerabat terdekat dan juga tetangga terdekat saja. Sementara itu, di kamarnya, Melia telah selesai dirias. Kebaya berwarna putih dengan hiasan tempel bunga memberikan kesan mewah dan elegan.
Gadis periang itu tampak murung dengan balutan kebaya pengantin dengan riasan modern dan juga melati yang menghiasi sanggul di kepalanya. Tergambar jelas jika pernikahan ini tak diinginkan olehnya.
Ia tampak gelisah, mengedarkan pandangan ke sana-kemari untuk sekedar memeriksa keadaan, apakah aman? Atau bahkan sebaliknya.
Hatinya tak tenang. Entah mengapa ia terdorong memikirkan, bagaimana seandainya ia menghubungi Erlan sekali lagi saja.
Terkesan bodoh memang. Sudah jelas pria itu menolak menemui pak Haris saat gadis itu menuturkan akan dipaksa menikah. Sialnya, ia masih saja terus mencoba dan berharap.
Ya. Melia melakukan panggilan telepon ke nomor Erlan berulang kali. Naasnya, Erlan justru sengaja mematikan ponselnya.
Sakit. Tentu saja ketika itu hati Melia sakit luar biasa, karena sebelumnya ia belum pernah diperlakukan buruk oleh Erlan. Apa lagi dikecewakan. Pria yang selama ini sangat ia percaya dan diberikan ruang hati itu benar-benar tidak peduli lagi padanya.
Melia menahan tangisnya. Hatinya berusaha menolak pernikahan ini, seandainya kondisi kesehatan ayahnya akan baik-baik saja.
Namun, sayangnya takdir seolah menunjukkan kondisi yang sebaliknya. Pak Haris tetap terlihat pucat pasi, sembari duduk menunggu di sebuah kursi roda.
"Jika saja bukan karena ayah," lirih Melia saat bu Laras menghampiri dan memeluknya.
Wanita berusia paruh baya yang kerap dipanggilnya ibu itu, dengan sabar berusaha menenangkan putrinya. Dielusnya punggung Melia dengan lembut.
"Melia, ibu dan ayahmu dulu juga hasil perjodohan. Mulanya kami seperti dua orang asing. Tapi percayalah, cinta akan tumbuh seiring berjalannya waktu setelah menikah," tutur bu Laras sembari mendekap putrinya.
Bulir bening di pelupuk mata, akhirnya jatuh juga setelah mendengar penuturan ibunya.
"Tapi, Bu. Bagaimana jika pernikahan ini tidak bisa bertahan?" tanya Melia merasa cemas.
Ya. Nyatanya, pernikahan yang dipaksakan memang sering kandas di tengah jalan.
"Maka, rumah ini akan selalu terbuka lebar untukmu. Ibu janji, akan selalu ada untuk kamu kapanpun kamu butuh," ujar bu Laras berusaha menenangkan putrinya.
Tak lama kemudian, salah seorang perias pengantin datang memasuki kamar kembali sembari mengabarkan, jika mempelai pria dan juga keluarganya sudah tiba. Begitu pun penghulu yang hendak menikahkan mereka berdua, yang ternyata sudah datang menunggu.
Mendengar hal itu, seketika bu Laras menuntun putrinya menuju ruang tamu yang lumayan luas untuk sekedar melaksanakan ijab kabul pernikahan.
Melia duduk bersama ibunya beserta keluarga, sembari menunggu wali nikah dan calon suaminya mengucapkan ijab kabul.
Namun, betapa terkejutnya Melia ketika ia mendapati Erlan berjalan beriringan di antara keluarga Fahri lainnya, berusaha menghampirinya.
Bukan hanya Melia, Erlan pun tak kalah terkejutnya ketika menyadari mempelai wanita kakaknya adalah wanita yang selama ini ia kasihi.
Seketika terlintas di benaknya, janji yang terucap terakhir kalinya. Keduanya saling bertatapan mata. Pipi Erlan memerah menahan amarah.
Namun, faktanya pemuda itu hanya bisa diam mematung. Setelah tahu wali nikah dan kakaknya yang merupakan mempelai laki-laki saling berhadapan mata dan berjabat tangan usai melafalkan bacaan.
Terlambat sudah. Langkah Erlan pun terhenti di tengah keramaian. Semua tamu dan para saksi mengatakan kalimat sah, suaranya terdengar riuh mendominasi ruangan. Itu artinya, Melia kini telah sah menjadi istri dari Fahri.
Dengan arahan penghulu, Melia mencium punggung lelaki yang kini menjadi suaminya. Tak lama berselang, Fahri pun mendaratkan kecupan lembut di kening Melia.
Sorak sorai tamu kembali mengadu hingga gaduh. Membuat hati Melia yang teriris air matanya tidak sanggup dibendung lagi.
Di kesempatan yang sama. Fahri mengangkat wajah Melia agar sejenak menatapnya.
"Tersenyumlah demi ayahmu, jika kamu tidak ingin tersenyum demi aku, Melia," bisik Fahri terdengar lirih, diikuti ibu jarinya menghapus bulir bening yang tak kunjung berhenti menetes.
Meski bulir bening itu masih terus menetes, Melia menganggukkan kepala menyanggupi. Sesekali ia mengedarkan pandangannya, mencoba mencari tahu apakah mungkin perasaan Erlan sama sedihnya dengannya?
Ya. Pemuda itu hanya menatapnya dari kejauhan. Di antara lalu lalangnya para tamu yang hadir dan sibuk mendekat ingin mengucapkan selamat kepada sepasang pengantin.
Sementara sang ayah, yang baru saja usai menikahkan putrinya, terlihat tersenyum lega.
Satu persatu mereka yang datang memberikan selamat sambil berswa foto dengan sepasang pengantin.
Hingga akhirnya, tiba giliran Erlan yang datang mendekat. Wajah Fahri teralih menatap ke arah tamu lain ketika adiknya menjabat tangannya, seolah menandakan ketidaksukaannya kepada Erlan.
Entah apa yang terjadi di antara mereka.
"Kak Fahri, selamat! Kau mendapatkan wanita yang luar biasa," ucap Erlan ketika menjabat tangan Fahri, sementara netranya justru tertuju pada Melia.
"Ya, wanita luar biasa yang didambakan banyak orang," sahut Fahri terkesan dingin.
Ya, pemuda itu memang selalu menampakkan sikap seperti itu jika tidak suka pada lawan bicaranya. Dan Melia menyadarinya.
"Semoga kalian berdua bahagia," lanjut Erlan.
Kemudian ia bergeser berhadapan dengan Melia. Keduanya saling menatap. Kali ini gadis itu tak lagi menunjukkan kesedihan. Melainkan rasa benci yang luar biasa kepada Erlan.
Tatapannya penuh dendam dan amarah. Membuat Melia nekat memberanikan diri menggandeng lengan suaminya di hadapan Erlan.
"Sudah lama tidak bertemu, Mel. Kamu terlihat cantik," kata Erlan sambil tersenyum tipis walau pertemuan itu terlihat kaku.
"Makasih, Erlan. Kamu juga masih tampan seperti dulu," balas Melia dengan senyum ramah menahan sesak di dada.
"Aku tidak menyangka akan secepat ini," ujar Erlan dengan tatapan sendu di riuhnya para tamu.
Fahri terlihat bingung.
"Aku sudah memperingati," sahut Melia canggung karena Fahri memperhatikan keduanya.
"Apakah kamu bahagia?" tanya Erlan, seakan ragu.
“Dengan Fahri, bos yang kubenci. Mungkin,” jawab Melia sambil menunjuk ke arah Fahri memasang senyuman.
Erlan kaget dan kesal melihat kekasih dan kakaknya menikah di hari itu. Hatinya terasa hancur saat menyadari bahwa wanita yang dicintainya telah menjadi kakak iparnya sendiri.
"Mengapa kamu menikah dengan kakakku? Apa tidak merasa aneh?" tanya Erlan dengan nada kesal.
“Maksudmu?” tanya Melia bingung.
"Apa kamu tidak merasa aneh menikah dengan kakakku? Apa kamu tidak merasa bersalah padaku?" tegas Erlan.
"Mas Fahri, kepalaku sedikit pusing," keluh Melia tiba-tiba sembari memijit keningnya sendiri.
Baru saja Fahri menoleh ke arahnya dengan raut kaku, tapi tubuh Melia seketika ambruk.
Mata Erlan melebar seketika. Kedua tangannya gesit meraih tubuh Melia. Tapi sayangnya kalah cepat dengan Fahri yang kini telah menggendong istrinya, lalu melangkah meninggalkan para tamu yang masih ramai.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
Sery
Fahri kau sudah menyakiti hati adikmu
2023-06-01
3
Sery
nasibmu Melia..marah pada author Melia 😀🤣✌🏻
2023-06-01
2
Samantha
Seru
2023-04-03
0