💕 Happy reading.
Langit siang dengan warna biru cerah tanpa awan terpampang jelas dari kaca jendela kantor.
Warna biru menghias indah seolah mengisyaratkan ceria. Akan tetapi tampaknya tak secerah kisah seorang gadis cantik, dan manis, bernama Melia Anastasya.
Seperti hari-hari biasa, ia selalu pergi ke kantor bersama Erlan, seorang pria sahabat kecil sekaligus kekasihnya.
Erlan adalah sosok periang, meski jika berhadapan dengan orang lain ia jarang bicara. Ia juga pernah bercerita jika dulu pernah mengidap sindrom asperger. Dan Melia adalah teman satu-satunya yang mampu mengubah hidupnya.
Pagi itu, Erlan mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Melewati gedung-gedung besar berderet.
Namun, baginya dan Melia ini terlalu pagi untuk pergi ke kantor.
Dari jam masuk kerja yang satu jam lebih awal dari kantor kebanyakan. Erlan dan Melia bisa menerka mungkin saja pemiliknya seorang psikopat yang kejam, atau bahkan seorang yang emosional, entah.
"Erlan, terimakasih sudah mengantarkan aku. Nanti malam kita ketemu lagi, ya," ungkap Melia sebelum pergi meninggalkan mobil kekasihnya.
"Sama aku gak perlu bilang makasih, Sayang. Apa sih yang enggak buat kamu. Oke, aku tunggu kabarnya nanti. Cepat pulang ya, bilang sama tuh bos songong, jangan lembur terus," racau Erlan menggoda.
Keduanya pun akhirnya berpisah tepat di halaman kantor.
*****
Hari itu suasana sangat riuh dengan rutinitas kesibukan pagi. Tepat di lantai dua semuanya bermula.
Melia Anastasya, seorang gadis manja namun pekerja keras dan periang. Ia sedang sibuk menyelesaikan pekerjaannya.
Lalu, di saat yang sama tiba-tiba saja seorang pria berperawakan tinggi, dengan pipi yang ditumbuhi bulu-bulu tipis dengan perangai garang datang menghampiri serta dengan sengaja duduk di sudut meja kerja gadis itu.
Ya, dia adalah Fahri Ahmad Sanjaya. Bos di perusahaan itu yang selain disegani juga ditakuti oleh seluruh karyawannya. Tak banyak yang tahu, jika sebenarnya ia adalah kakak Erlan. Entah mengapa, Erlan enggan mengatakan pada Melia, jika tempatnya bekerja adalah kantor milik sang kakak.
Tiba-tiba saja, pagi itu Fahri datang sambil memasang wajah gusar serta melemparkan setumpuk kertas di atas meja Melia.
Brak!
Kertas-kertas itu pun berhambur dan berserakan di lantai. Bahkan beberapa lembar di antaranya mengenai wajah cantik Melia.
Seluruh karyawan dan karyawati yang berada di ruangan yang sama langsung terdiam. Ada juga yang sempat mematung dengan mata melotot memperhatikan. Mereka sudah paham, itu artinya siapapun yang mendapat amarah telah melakukan kesalahan.
Fahri memang seorang workaholic yang nyaris mendekati sempurna. Kabarnya ia tak suka dengan karyawan malas dan pekerjaannya berantakan.
Mendadak ruangan yang semula riuh berubah sunyi. Seisi penghuni ruangan kini hanya bisa diam sok menyibukkan diri meski masih terlihat berlalu-lalang.
Begitu pun dengan Melia. Ia hanya bisa tertunduk meski pipinya sudah memerah bagai kepiting rebus dengan kepala tertunduk.
"Kamu bisa kerja enggak sih! Benerin sketsa gambar yang sudah saya buat saja tidak bisa! Ini 'kan gampang!" bentaknya dengan tatapan tajam melayangkan protesnya.
Alis tebal, bulu lentik di matanya memang memberi kesan menakutkan setiap ia memberikan gestur melampiaskan amarah.
Biasanya Melia tidak menangis, tapi kali ini Fahri memang benar-benar keterlaluan. Ia memarahi Melia di depan teman-temannya. Apalagi sampai membanting seluruh berkas hasil pekerjaan gadis itu.
Bahkan ucapan kasarnya lolos begitu saja dari bibirnya tanpa terpikirkan apakah ucapan itu akan menyakiti atau tidak.
"Saya memang baru, Pak! Anda pikir mudah menyesuaikan diri? Semua pekerjaan apapun itu butuh proses untuk memulai! Bapak pikir, saya mau melakukan pekerjaan yang saja tidak mengerti! Saya lelah!" teriak Melia dengan berani sembari menengadahkan wajahnya.
Fahri terkejut melihat sikap Melia. Bukannya membalas, ia justru mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan sebelum mengambil sikap.
Lalu, ketika Fahri menyadari dirinya menjadi pusat perhatian ia melemparkan senyum sinis ke arah gadis di hadapannya.
Tak banyak bicara, Fahri justru menarik lengan Melia dan menyeretnya melewati deretan cubicle agar Gadis itu mengikuti menuju ruang kerjanya.
Sementara Melia, gadis yang kehilangan keceriaannya sejak bekerja di tempat itu tampak meringis menahan sakit sambil melangkah sedikit berlari seolah sedang mengimbangi langkah kaki Fahri yang lebar.
"Lepas, mau Pak Fahri apa? Lepas, Pak!" teriak Melia sembari merengek dan meronta.
Sesampainya di dalam ruang kerjanya, Fahri mengunci rapat pintu ruangan lalu mendorong kasar Melia, hingga gadis itu terjatuh di sofa sudut ruangan.
"Dengar, dalam bekerja ada beberapa aturan. Dan sikap kamu tadi membuat saya geram. Semua menunjukkan jika kamu memang tidak tahu aturan!" desis Fahri sambil mondar-mandir di hadapan Melia seolah mengintimidasi.
Mata Melia menatap tajam tanpa kedip, meski bulir bening di pipinya tidak berhenti mengalir. Entah apa maksudnya itu.
"Kedua, ucapan yang sok membenarkan kamu di luar sana tadi itu sangat salah! Kamu pikir saya juga langsung sesukses sekarang tanpa aral melintang? Tidak, Melia! Oke kamu baru, tapi saya 'kan sudah kasi waktu tiga bulan untuk belajar! Dan apa tadi yang kamu bilang di luar? Bisa kamu ulang?" Mata Fahri kembali menatap tajam bahkan kini ia ikut menjatuhkan diri ke sofa.
Duduk sejajar seperti itu sungguh membuat Melia semakin terdesak tak nyaman.
"Bapak pikir saya mau melakukan yang tidak saya mengerti," ujar Melia mengulang kalimat yang tadi sempat terlontar dari dari bibirnya.
Namun kali ini matanya mulai terlihat meredup. Dan Fahri tersenyum kecut sambil menggeleng-gelengkan kepala membalas menatapnya.
"Jadi selama ini kamu bekerja dalam tekanan? Siapa yang mengajari kamu saat training?" Fahri bertanya sambil mengikis jarak.
"Bu Windy," sahut Melia yang langsung memalingkan wajah sembari meremas ujung kain kemeja yang ia kenakan.
Terang saja, gadis mana yang nyaman ditatap bos garang dalam jarak yang sedekat itu?
Kemudian, Fahri beranjak berdiri. Ia pun kembali menarik lengan Melia dan menyeretnya menuju meja kerja kebesarannya.
"Duduk!" perintahnya.
Melia menurut saja, seluruh tubuhnya terasa gemetar. Keringat di dahinya pun mulai bercucuran.
Sementara Fahri, ia memilih berdiri tepat di belakangnya. Menit kemudian, ia mencondongkan tubuh, hingga pipi keduanya saling berdekatan.
Pemuda tampan itu tak lagi menunjukkan amarahnya. Ia justru menggenggam mouse dan menggerakkan kursor di layar monitor miliknya. Memberikan contoh yang benar ketika menjalankan sebuah program editing.
"Perhatikan dengan baik setiap langkah yang saya ajarkan! Kamu tidak boleh pulang! Lembur, pekerjaan ini harus selesai malam ini juga. Karena besok saya ada janji temu dengan klien untuk membahas desain yang mereka pesan. Saya tidak mau gagal, Melia," selorohnya dengan tatapan mata tetap tertuju di layar.
Kedua tangan kekarnya memang tidak sedikit pun menyentuh kulit Melia, tapi sikapnya yang seperti itu, sama saja dengan mengungkung pergerakan gadis yang beranjak dewasa itu.
"Kenapa diam? Katanya tadi banyak kesulitan, tanya jika memang kamu merasa gak bisa," cemooh Fahri kembali ketus.
"Permisi, Bapak bisa mundur dulu dan kasi ruang gerak untuk saya?"
Mendengar protes gadis itu, lalu Fahri memundurkan tubuhnya sembari menghela napas berat.
"Perempuan manja ya gini, nih! Banyak protes dan susah diajari," gerutu Fahri.
"Mau kamu apa?" tanyanya sambil memasang wajah kesal bercampur kecewa.
"Silahkan duduk, Pak. Dan ajari saya." Melia langsung berdiri dan menggerakkan sebelah tangannya seolah memberikan gestur mempersilahkan.
Fahri yang mulanya enggan pun akhirnya duduk. Sementara itu, Melia memilih berdiri tepat di belakangnya sambil fokus memperhatikan Fahri.
Entah berapa lama waktu yang telah mereka habiskan bersama. Tapi tiba-tiba saja Melia justru bekerja cepat setelah berdiskusi dengan bosnya.
Hari berlalu cepat. Tepat pukul empat sore, nyaris seluruh penghuni kantor mengosongkan ruangan. Kecuali Fahri dan Melia, yang sedang mengejar target pekerjaan mereka berdua.
"Kamu boleh ambil minum kalau haus," ucap Fahri.
Melia mengangguk pelan. Karena merasa tenggorokannya kering, tentu ia tak mau menyia-nyiakan waktu.
Segera. Dengan langkah lebar ia menuju cubicle miliknya. Naasnya ia dikejutkan dengan dering ponsel miliknya.
Terpampang nama Erlan di layar. Membuat wajahnya yang muram seketika berubah riang.
"Halo, Erlan. Aku pulang sedikit terlambat. Tunggu aku di tempat biasa, ya," sapa Melia mendahului seseorang di seberang telepon sana.
"Halo, tumben gak kasi kabar! Oke aku tunggu. Nanti cerita ya, kalau bosnya bawel gak ketulungan mending resign saja lah," sahut Erlan dari seberang telepon.
Belum juga Melia sempat menimpali perkataan Erlan, tapi ia kembali dikejutkan oleh suara langkah kaki berdentum keras mendekatinya.
"Sudah dulu, Lan. Nanti aku hubungi lagi." Melia menutup sambungan ponselnya secara sepihak.
"Malah pacaran. Cepat kembali ke ruangan saya!" perintah Fahri, kali ini ia sengaja memberikan tatapan seriusnya.
Melia menyambutnya dengan senyum sinis, seolah sudah pasrah atas apa yang terjadi setelahnya.
Melelahkan, memang. Menghadapi seorang atasan yang cenderung memaksakan kehendaknya tanpa mau mengerti situasi dan kondisi karyawannya. Entah bagaimana nanti jika harus bekerja lama, dan entah bagaimana menghadapi Erlan jika selalu mendesaknya agar resign.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
Lintang Lia Taufik
Senang sekaligus malu, disambangi Author pemes idola, jadi dag dig dug takut salah terus ditampol sendal, ehey 🤭
2023-05-28
1
Sery
dapat sarapan pagi amukan Melia 🤭
2023-05-28
0
Elisabeth Ratna Susanti
keren pemilihan katanya 👍
2023-05-04
2