Livy terbangun karena alarm-nya berbunyi nyaring. Mengumpulkan nyawanya yang masih tercecer di alam mimpi, gadis itu mengulet untuk merenggangkan ototnya yang terasa kaku. Gadis itu bangun dari atas ranjang, disambarnya handuk yang berada di sandaran kursi, kemudian masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan badannya yang terasa lengket itu.
Setelahnya, dia menjalankan kewajiban sholat ashar kemudian merapikan penampilannya dan keluar kamar. Tas selempang dan kunci motor sudah ada di genggamannya. Menuruni tangga, ketika melihat Yana keluar dari dapur.
"Mau kemana lo?'' tanya Yana yang di tangannya sudah membawa semangkuk mie yang asapnya masih mengepul.
"Jalan." Begitu saja jawaban Livy. Tak merasa perlu mengatakan panjang lebar atas tujuannya kali ini.
Dan hal itu tentu saja membuat Yana komat-kamat merasa sebal dengan jawaban yang terlalu pendek itu. Meskipun mereka sudah bersahabat selama hampir lima bulan, tapi Yana tak bisa melakukan apapun kecuali menerima sifat temanya yang memang menyebalkan seperti itu.
Livy memacu motornya dengan santai, gadis itu menikmati saja perjalanannya yang memang tak jauh dari tempat kosnya.
Sampai tempat yang di tujun, dia memarkirkan motornya dan duduk di tempat biasa. Menunggu seseorang yang dia kira pasti akan datang ke sana dan bermain basket seperti biasanya. Namun sayangnya, setelah satu jam menunggu, tak ada tanda-tanda lelaki itu akan muncul. Kepala Livy sesekali menoleh ke arah di mana biasanya lelaki itu muncul. Tapi sayang, orang yang di tunggunya tak menunjukkan batang hidungnya.
Berjalan ke tengah lapangan, Livy mendongak menatap ring basket, seolah dia baru saja melihat benda tersebut. Kembali menoleh ke sana ke mari, berharap Sammuel datang tapi nyatanya tidak. Helaan napas lolos karena merasa kecewa? Entahlah, hanya saja Livy merasa hatinya tak enak.
Menunggu sampai matahari tenggelam karena mungkin Sammuel terlambat, ternyata menunggu pun tak membuat semesta membawa Sammuel ke sana. Cowok itu benar-benar tak muncul dan tak datang seperti kemarin.
Livy menolak jika dia merasa kecewa, tapi dia tak juga beranjak dari sana untuk beberapa saat. Kembali menghela napas, Livy merutuki kebodohannya. Kenapa dia harus menunggu orang asing yang baru saja di kenalnya, hanya karena kemarin lelaki itu merasa senang sebab Livy mengatakan mereka akan bertemu kembali.
Kemudian sebuah pemikiran muncul, marahkah cowok itu karena dia menolak untuk memberikan nomor ponselnya kepada Sammuel ketika lelaki itu memintanya atau karena dia mengusirnya waktu itu?
"Kenapa gue harus peduli, dia kan bukan siapa-siapa gue." Gumamnya dengan keheningan.
Kemudian berjalan malas, Livy duduk di atas motornya dan bersiap untuk pergi dari sana. Tak urung, sebelum menjalankan motornya, dia sempatkan menatap ke arah lapangan sebelum benar-benar pergi dari sana.
Memang, Livy gadis datar dan jutek. Tapi ketika dia patah hati dan ada seseorang yang datang dengan mengatakan 'suka' meskipun entah serius atau tidak, dia pasti akan terbawa perasaan.
"Tapi gue bingung," gumamnya merasa gelisah dan kini gadis itu sudah berada di dalam kamarnya, mengunci pintu kamar tersebut. Berharap Yana tak akan menggangunya. Dia tak paham kenapa perasaanya bisa seperti ini hanya karena seorang Sammuel tak ada di sana agar mereka bisa kembali bertemu. Berusaha tak memikirkan itu, tapi otaknya berkhianat.
Tidur terlentang, mata Livy menatap langit-langit kamar sambil berpikir tentang hatinya. "Gue nggak mungkin suka sama dia kan? Yang bener aja, kita baru dua kali ketemu? Lo bego kalau sampai itu terjadi, Vi," ucap Livy bermonolog. Namun dia berharap teka-teki ini bisa di selesaikan. Dan pada kenyataanya, dia pun tak menemukan jawaban yang tepat.
Keesokan harinya, Livy kembali ketempat tersebut. Dia menolak jika hatinya sebenarnya ingin bertemu dengan Sammuel. Namun kenyataanya dia kembali ketempat itu dan di katanya jika dia memiliki maksud lain dan bukan karena lelaki itu. Tapi, Livy bertindak bodoh dengan mengulur waktu untuk meninggalkan tempat tersebut, bahkan ketika langit mulai terlihat gelap.
Sekeras apa pun dia menyangkal, faktanya dia masih menunggu seseorang bernama Sammuel itu. Dan lagi, kekecewaan menyerang hatinya. Sammuel tak datang dan menunjukkan batang hidungnya, hal itu terasa selama beberapa hari.
"Pasti karena gue usir dia waktu itu, makanya dia marah sama gue." katanya pada diri sendiri. "Tapi gue nggak salah." lanjutnya. "Gue justru pengen minta maaf kalau ketemu sama dia lagi." Karena dia paham, memiliki kesalahan kepada orang lain, haruslah meminta maaf. " Tapi kalau dia nggak muncul?" Livy mengedikkan bahu tak acuh. "Ya udah, anggap aja dia cuma numpang lewat doang." putusnya.
Mencoba untuk tak memikirkan Sammuel dan melanjutkan hidupnya. Livy menganggap, Sammuel hanyalah seseorang yang numpang lewat saja di dalam hidupnya seperti apa yang dia katakan barusan.
Kembali ke sifat aslinya, Livy semakin jutek saja sekarang. Bahkan ketika dia di tanyai tentang hubungannya bersama Adam oleh teman sekelasnya, dia hanaya menjawab seadanya.
"Lo serius putus sama Adam, Vi?" pertanyaan itu terdengar kepo sekali di telinga Livy. "Sayang ih, dia kayaknya cinta banget sama elo." lanjutnya lagi yang membuat Livy kesal setengah mati.
"Orang cinta sama elo, belum tentu dia bisa pegang komitmen yang dia buat." Livy menatap lurus kepada teman yang sekarang tepat berada di depannya. "Kalau dia punya bibit bren*sek, dia akan tumbuh dengan kebren*sekan juga. Buat apa gue pertahanin dia." ketusnya kemudian meninggalkan gerombolan teman sekelasnya yang mendekati dirinya hanya untuk mencari tahu kebenaran akan gosip yang beredar.
Perpustakaan, adalah tempat pilihan Livy untuk menghindar dari orang-orang yang ingin tahu urusannya. Bukan tanpa alasan kenapa mereka melakukan itu. Adam adalah kakak tingkat Livy. Dia semester tiga dan salah satu dari beberapa lelaki yang memang terlihat menonjol dari segi tampang. Dia tampan dan lumayan pintar. Di sukai banyak perempuan itu pasti, mengingat dia adalah lelaki yang ramah. Tapi, entah kenapa tiga bulan terakhir ini, Adam menjatuhkan pilihannya kepada Livy untuk menjadi kekasihnya. Dan entah kenapa pula, Livy pun menerimanya. Keputusan itu membuat Livy menyesal karena keramahan Adam hanyalah topeng untuk menutupi kebren*sekannya.
Menarik napas panjang, Livy berusaha memusnahkan pikirannya tentang semua ini. Semua sudah berakhir dan Livy tak ingin mengingat-ingat lagi. Dia sudah sepenuhnya move on tapi karena pertanyaan tak bermutu yang dilayangkan kepadanya, membuat otaknya kembali mencerna semua kejadian yang sudah di lupakan-nya.
***
Malam harinya, Livy dan Yana keluar kos untuk membeli makan. Mereka datang ke warung langganan Sammuel yang kemarin di datanginya bersama lelaki itu.
Otaknya berpikir, mungkin saja dia bisa bertemu Sammuel di sana dan entah kenapa dia masih berharap untuk bisa bertemu dengan lelaki itu.
Gue mau minta maaf. Batinnya menggerutu.
"Silahkan Mbak." ibu pemilik warung yang mengantarkan pesanan mereka.
"Terimakasih, Bu," jawab Livy dan Yana secara bersamaan. Yang dihadiahi senyuman oleh ibu pemilik warung tersebut.
Mereka makan dengan tenang, sedangkan Yana berkomentar jika makanan tersebut memang enak dan Livy menyetujuinya. Mereka akhirnya menyelesaikan kegiatan mengisi perut, tak ada tanda-tanda dari Sammuel akan datang ke sana. Keputusan Livy sudah bulat, dia tak akan memikirkan laki-laki itu lagi dan tak akan mengharapkan bertemu dengan Sammuel lagi.
Tapi seolah semesta tak mengizinkan Livy melakukan itu, sebuah siluet yang mirip dengan Sammuel terlihat. Memicingkan matanya, Livy berusaha meyakinkan pikirannya.
Livy berdiri dan mengejar siluet tersebut. Mengedarkan pandangannya ke sana kemari, sosok itu tak muncul dan seperti menghilang dengan tiba-tiba. Livy kembali kesal dengan dirinya sendiri karena hal itu. Dia sudah berjanji untuk tak memikirkan Sammuel lagi, harusnya dia bisa memenuhi janji itu untuk dirinya sendiri.
"Vi!" Yana menepuk punggung gadis itu karena melihat tingkah aneh sahabatnya itu. "Lo nyari siapa? Kenapa tingkah lo aneh banget kali ini, Vi?"
Dengan cepat Livy menggeleng pelan. "Enggak, enggak ada." jawabnya. "Gue kayak lihat orang yang gue kenal aja tadi." Alasannya. "Pulang, yuk." ajaknya
Yana yang memang percaya dengan alasan yang di berikan oleh Livy, hanya mampu mengangguk dan menurut. Membayar makanan mereka dan pergi dari sana untuk kembali ke rumah kosnya.
Sampainya di kos, Livy duduk di kursi dengan buku tebal di atas meja. Kegiatan yang memang harus rutin dia lakukan. Belajar, dia selalu menyempatkan membaca buku meskipun sebentar untuk mengisi otaknya dengan ilmu.
Hingga sebuah panggilan masuk ke dalam ponselnya. 'Mama' begitu tulisan di sana.
"Sayang," ucap seorang ibu kepada anaknya dari seberang sana.
"Ya, Ma?" Sambungnya dengan lembut.
"Minggu ini kamu pulang nggak? Mama kangen." Suara ibu yang terdengar merindukan kepulangan anaknya.
"Aku nggak pulang, malas di jalannya, lama sampai rumahnya. Sama, Livy juga kangen sama Mama." katanya menjawab pertanyaan sang Mama.
"Uang saku kamu masih ada?" Kata sang ibu mencoba memastikan.
"Masih Ma, kalau Mama mau transfer lagi juga boleh." Livy juga seperti gadis kebanyakan, ketika ibunya menanyakan uang sakunya masih atau tidak, dia tidak akan keberatan jika orang tuanya ingin mentransfernya lagi padahal dia masih memiliki uang.
"Belajar yang giat, jangan lupa ibadahnya. Mama cuma mau pastiin itu aja, yang penting kamu jaga diri baik-baik di sana." pesan sang ibu.
"Iya, aku paham. Iya, Mama aku nggak lupa kok. Oke, daa Mama." finalnya yang langsung mematikan ponselnya.
Panggilan di akhiri, menyisakan hembusan napas panjang dari bibir Livy. Begitulah ibunya yang tak akan lupa mengingatkan kewajibannya.
Livy memiliki jam kuliah dari senin sampai sampai kamis. Kalau seandainya dia pulang pun masih ada waktu tiga hari di rumah, tapi Livy tak melakukannya. Dia malas berlama-lama di jalan, dan memilih untuk tetap di kos meskipun tak ada jam kuliah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments