Berbohong mungkin lebih baik dengan wanita sepintar Mariana.
Mariana diam, menunduk.
Lama kemudian, "terima kasih," ucapnya pelan.
"Tidak perlu. Sudah tugas sesama manusia untuk saling tolong menolong, bukan." Bima menjawab santai.
"Boleh aku duduk? Atau kau masih takut?" tanya Bima.
Mariana kembali mendongak menatap Bima, kemudian mengangguk.
Bima beranjak duduk di tepi ranjang, menghadap Mariana yang bersandar di kepala ranjang dengan selimut di tarik hingga sebatas dagu.
"Maaf, bajumu robek. Sepertinya kau tidak mungkin mengenakannya lagi."
"Ouch." Mariana mengeluh.
"Jangan khawatir. Besok pagi aku akan berjalan ke pasar dan membelikanmu baju. Tapi aku tidak bisa membelikan yang sebagus milikmu. Mungkin aku hanya bisa membelikan daster ibu-ibu."
"Tidak, tidak masalah. Apa pun yang penting bisa menutup tubuhku," jawab Mariana cepat.
"Sekarang tidur dan istirahatlah. Kau baru saja mengalami hal yang sangat buruk. Tubuh dan pikiranmu perlu diistirahatkan."
"Apa kau akan pergi?" tanya Mariana cepat, saat melihat Bima beranjak berdiri.
Bima mengangguk. "Ya. Tentu saja. Tidak mungkin aku berada terus di sini kan."
"Tapi..." Mariana urung melanjutkan ucapannya, mendesah, lalu menunduk.
"Ada apa?"
"Maukah kau menemaniku, setidaknya sampai aku tertidur? Aku... Aku benar-benar takut," kata Mariana pelan.
"Tentu. Aku tidak pergi dari rumah ini sama sekali. Aku akan ada di depan kalau kau memerlukan sesuatu."
Mariana mendesah lega, tersenyum, kemudian mengangguk. "Terima kasih."
Bima balas mengangguk, lalu berjalan keluar dan menutup pintu.
Ayam berkokok nyaring, Bima membuka mata. Di luar masih sangat gelap. Bima berjalan ke kamar mandi. Tidur di atas sofa tua tanpa selimut membuat kantung kemihnya cepat sekali penuh.
Di depan kamar Mariana, Bima bisa mendengar wanita itu merintih. Bima berdiri bimbang di depan pintu, bingung antara melihat kondisi Mariana terlebih dahulu atau menyalurkan hasratnya untuk buang air.
Menimbang-nimbang sejenak, Bima memutuskan tidak akan terjadi apa-apa pada Mariana kalau hanya ditinggal kencing. Berbeda baginya kalau mengurusi Mariana terlebih dahulu, bisa-bisa Bima nanti pipis di celana.
Usai dari kamar mandi Bima membuka pintu kamar Mariana dan melongok masuk. Laki-laki itu menemukan Mariana yang tidur dengan gelisah di atas ranjang, selimutnya menyingkap.
"Mariana..." Bima berjalan mendekat.
"Mariana. Apa kau baik-baik saja?" Bima menggoyang pelan tubuh Mariana. Wanita itu mengerang pelan.
"Hei. Ada apa. Bangunlah. Apa kau mimpi buruk?" tanya Bima, kemudian menepuk pipi Mariana. Di saat itulah Bima tahu ada yang salah dengan tubuh Mariana. Pipi wanita itu terasa panas.
Bima menyentuh kening Mariana dengan punggung tangannya, sama. Panas. Mariana mengalami demam tinggi pasca trauma.
"Oh, Sial! Ini masih malam. Dia mana aku akan mendapatkan obat untuknya."
"Air. Aku haus," bisik mariana lemah.
"Baiklah. Tunggu. Aku akan mencarinya di dapur." Bima berlari ke dapur. Sayang sekali dapur luas itu kosong. Tidak ada setetes pun air di dalam sana.
"****!" teriak Bima. Dia berlari kembali ke kamar Mariana.
"Nona, tidak ada air di sini. Apakah kau bisa ku tinggalkan sebentar untuk mengambil air di surau?"
Mariana menggeleng. "Ada air di tasku. Di sana." Mariana menunjuk sudut ruangan yang sejak tadi terabaikan oleh Bima, dan di sana teronggok tas punggung berwarna coklat.
Bima segera berlari ke arah yang ditunjuk Mariana, mengambil tas coklat yang tergeletak di atas lantai dan membukanya. Ada sebotol kecil air mineral yang isinya sudah berkurang setengahnya.
Bima membawanya ke Mariana, membukanya dan menyodorkannya.
"Apa itu cukup?" tanya Bima ragu.
Mariana meminum air yang sedikit itu dalam sekali teguk.
"Cukup untuk sekarang. Besok kau bisa membelikanku kalau hari sudah terang."
"Apa kau bisa tidur?"
Mariana menggeleng. "Kepalaku sangat pusing dan mataku berkunang-kunang."
"Tidak ada obat di sini. Juga tidak ada kendaraan untuk membawamu ke klinik di jam segini."
"Tidak apa-apa. Maaf aku merepotkan."
Bima mendesah panjang.
"Tidurlah. Aku akan menungguimu di sini."
Mariana mengangguk, kembali merebahkan tubuhnya dan memejamkan mata. Sementara Bima duduk mematung di tepi ranjang, tidak tahu harus melakukan apa dengan wanita sakit di hadapannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments