"Apa kau menggigil?" tanya Bima cemas, menatap tubuh Mariana yang meringkuk di balik selimut, bibirnya tampak pucat.
Mariana tidak menjawab.
"Nona."
"Mariana."
"Apa?" tanya Bingung.
"Panggil saja Mariana."
"Mariana? Apa namamu Mariana?"
Mariana mengangguk lemah.
"Apa kau menggigil?" Bima mengulangi. Mariana kembali mengangguk lemah, tubuhnya bergetar.
Bima menempelkan punggung tangannya di kening Mariana.
"Demam mu sangat tinggi. Tunggu. Aku akan mengambil kompres."
Bima mengambil baju Mariana, merobeknya sedikit di bagian lengan dan membasahinya di kamar mandi. Dengan lembut Bima mengompres kening mariana.
Setengah jam berlalu, bukannya demamnya turun tetapi tubuh Mariana semakin memucat.
"Mariana. Kau semakin memburuk."
"Kalau aku mati, tolong pulangkan jasadku ke orang tuaku. Aku membawa KTP," bisik Mariana lirih.
"Hei. Kau tidak akan mati. Kau akan sembuh. Tenanglah."
"Tetapi kepalaku berputar."
"Pagi sebentar lagi."
"Aku lemas."
"Kau harus yakin."
"Terima kasih. Tapi rasanya aku seperti sudah tidak berada di bumi. Terima kasih, sudah menyelamatkanku dari bajingan-bajingan itu." Suara Mariana terdengar semakin lemah.
"Mariana. Apa kau percaya padaku?" tanya Bima ragu-ragu.
Mariana membuka matanya sedikit. Sangat sedikit, lalu memgangguk.
"Aku minta maaf sebelumnya, aku tidak bermaksud mencuri kesempatan."
Bima kemudian berdiri, melepas kaus yang menempel di tubuhnya dan melemparnya ke tepi ranjang. Lalu dia membuka selimut mariana dan naik ke atas ranjang.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Mariana, lebih keras walau masih terdengar sangat lemah. Matanya menatap sayu.
"Percayalah. Aku tidak bermaksud tidak sopan atau mau mengambil keuntungan."
"Tapi kau..."
"Tidur saja di pelukanku. Nenekku dulu pernah bilang, kulit hangat seorang ibu bisa menurunkan demam bayinya yang sedang sakit. Dia selalu meminta ibuku bertelanjang dada jika aku demam, lalu memelukku dengan erat."
"Aku bukan bayi," protes Mariana lirih, namun tubuh menggigilnya beringsut ke dalam pelukan Bima.
Bima merengkuh tubuh mariana, memeluknya erat. "Tidurlah, dan tenangkan pikiranmu. Kau sedang kacau. Jangan khawatir, semua akan baik-baik saja."
Mariana mengangguk lemah.
Dua menit kemudian Bima bisa merasakan tarikan nafas Mariana mulai teratur. Wanita itu tertidur dengan cepat. Mungkin karena pengaruh trauma yang baru saja dihadapinya membuat tubuhnya begitu lelah.
***
"Bangun, Bima! Bangun." Bima membuka mata.
"Kau benar-benar memalukan!" Bima menoleh ke arah suara, matanya menangkap beberapa pria baya yang tengah mengelilingi ranjang tempatnya tertidur.
Bima terkesiap. Dia bersiap berdiri saat tangannya merasakan berat tubuh Mariana yang masih berada di pelukannya. Wanita itu tampak pulas dalam tidurnya hingga tak dapat menangkap bisik-bisik di sekitarnya.
"Apa yang kau lakukan dengan wanita itu di sini?"
"A-aku..."
"Kau tahu hukum tertinggi yang berlaku di desa ini."
"Tapi, aku... Ini..."
"Kau benar-benar mencoreng nama baik desa ini, Nak. Aku sangat malu padamu."
Bima menatap wajah tua dengan rambut putih beruban, yang balas menatapnya dengan pandangan kecewa.
"B-bukan... Aku tidak... Aku..." Bima tergagap. Ingin sekali membantah tuduhan mereka, tetapi posisinya saat ini tidak dalam keadaan yang menguntungkan bagi dirinya.
"Berpakaian lah yang sopan, kami akan menunggumu di luar," kata laki-laki lain dengan suara tenang, meski Bima bisa merasakan dengan jelas getar kekecewaan di dalam nada suaranya.
"Tapi, tetua..."
Kelima pria berumur itu berjalan keluar tanpa menoleh Bima yang masih kebingungan, lalu menutup pintu perlahan.
"Mariana. Mariana, bangun."
Mariana membuka mata, menggeliat.
"Kita dalam masalah..."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments