Oom Jaka masih belum pulang ke rumahnya pada keesokan harinya. Kami memang tidak berkomunikasi perihal kapan ia akan pulang, atau akan pulang atau tidak -- meski aku menyimpan nomor ponselnya dan ia menyimpan nomor ponselku, jadi aku hanya bisa menunggu dalam harapan. Aku hanya meyakini bahwa ia akan pulang ke Rancabali tahun ini sebagaimana tahun-tahun sebelumnya.
Karena merasa jengah dalam penantian itu, kuputuskan untuk berjalan-jalan di sekitar pedesaan. Menikmati udara segar di hari yang cerah meski hatiku mendung adanya. Aku pun sampai di area pesawahan yang ditumbuhi padi-padi yang menghijau. Dan, baru saja kucoba untuk mengambil foto selfie, tahu-tahu dua sosok putih berkelebat. Berlari berkejaran sambil tertawa cekikikan. Lalu, yang satu menjatuhkan diri dan berbaring di rerumputan, dan yang satunya pun segera ikut berbaring, persis di samping gadis yang satunya.
Astaga! Mereka dua gadis tomboy kemarin.
Aku menggeleng-gelengkan kepala. Ada rasa ngeri yang kurasakan ketika melihat mereka, tapi di sisi lain juga ada rasa penasaran: apa yang membuat mereka...?
Ah, kau pasti mengerti apa maksudku. Bahkan gaya tomboy mereka pun membuatku bertanya-tanya.
Yeah, mereka memang terkesan tomboy dalam berpenampilan dan cara berpakaian mereka. Tapi luar biasanya mereka adalah seorang dara berwajah cantik. Rambutnya yang tergerai lepas di punggung berwarna pirang membuat mereka selain bertambah cantik juga tampak anggun. Tetapi begitu melihat ke bawah, dari kaus dalam dan potongan kemeja yang sengaja tak dikancingkan dan celana jins yang sengaja dirobek-robek, plus sepatu kets bertali yang mereka kenakan, kesan feminin tak lagi ada pada diri mereka. Siapa yang menyangka, di balik paras wajah mereka yang cantik itu tersembunyi satu sifat yang membuat orang lain bisa merinding jika mengetahuinya, terutama kaum perempuan. Dari desas-desus yang kudengar selama ini, ada sepasang gadis yang memiliki kelainan di wilayah ini. Begitu banyak para pemuda yang tertarik pada mereka, namun segera menjauhkan diri dengan perasaan ngeri begitu mengetahui bahwa dua gadis itu hanya berselera pada kaum sejenisnya.
Barangkali merekalah dua gadis cantik yang dimaksud orang-orang selama ini.
Aku merinding.
Dari jauh, namun tidak terlalu jauh untuk bisa mengamati dan mendengar obrolan mereka, aku melihat salah seorang gadis mengeluarkan sebuah benda yang terbuat dari batu hitam mengilat. Batu itu digosok-gosokkannya ke leher, lalu diturunkan ke dada. Si gadis menggelia* sendiri lalu tertawa panjang.
"Tingkahmu membuat aku teringat pada gadis bernama Puspa itu," kata gadis satu lagi. Sepasang matanya membesar berbinar-binar.
Gadis yang memegang batu menelan ludahnya sendiri. "Aku juga selalu ingat padanya. Belum pernah kita bertemu gadis secantik dia."
"Benar. Gadis itu memang luar biasa. Terus terang aku penasaran sekali padanya. Memang sialan si Jaka itu, tahu-tahu datang dan merusak kesenangan kita."
Mereka masih membahas cerita yang sama, tapi dalam versi yang sedikit berbeda. Tapi kali ini tentu cerita yang sebenarnya, mereka hanya bicara berdua, tidak sedang bicara dengan orang lain.
"Ingat, ya, kita harus berhati-hati. Gadis itu pasti dendam terhadap kita. Dia bukan Arumi yang bisa diperdaya."
Gadis yang satu lagi mendengus. "Kenapa harus takut kepadanya? Jika dia berani muncul, siapa tahu dia memang sengaja menantang kita," katanya, lalu tertawa. "Batu cantik ini," sambungnya setelah puas tertawa, lalu mereka duduk tegak. "Sesuai yang dipesankan kakek tua itu, kita harus segera menyerahkannya. Tapi aku punya rencana lain."
"Ya ampun, apa yang kamu pikirkan?"
Gadis itu mengerlingkan matanya. "Kalau dia menginginkan batu ini, berarti benda ini adalah benda yang sangat penting. Pasti mengandung semacam kekuatan atau kesaktian, ya kan?"
"Jangan-jangan dia menyembunyikan rahasia dari kita. Dia tidak pernah atau tidak mau menceritakannya kepada kita."
Aku tidak percaya pada ilmu semacam itu. Barangkali itu semacam batu cincin yang berharga mahal. Ilmu klenik di zaman ini? Memangnya masih ada?
"Boleh jadi," sahut gadis tomboy satunya, lalu ia memperhatikan batu itu dengan seksama dari segala sisi permukaan bulatnya. "Aku tidak melihat sesuatu yang aneh pada batu ini."
Itu batu mata cincin, Bodoh! Dasar norak!
"Coba kuperiksa," kata gadis satu lagi, lalu ganti memeriksa. Seperti gadis satunya, gadis itu pun tidak melihat keanehan atau kelainan pada batu hitam mengilat itu. Benda mengilat itu ditimang-timangnya lalu diusap-usapnya beberapa kali. Ketika hendak menyerahkannya pada gadis satunya, selintas pikiran muncul dalam benaknya. Batu itu ditariknya kembali, lalu ia masukkan ke dalam celananya. "Brrrrrrr... dingin sekali."
Astaga....
"Apa yang kamu lakukan, Juwi?"
Gadis itu cekikikan, lalu berkata, "Ini asyik, Jelita. Anggap saja jimat keberuntungan. Kamu ingin mencobanya?"
"Dasar kamu ini!" Si gadis yang dipanggil Jelita menggelengkan kepala. "Mending cari mangsa daripada memakai batu ini."
Si Juwi yang pasti nama lengkapnya Juwita tertawa ketika mendengar apa yang diucapkan oleh Jelita. Dia berdiri, mengeluarkan batu itu kembali lalu memberi isyarat untuk pergi.
Belum jauh kaki mereka melangkah, gadis bernama Jelita berkata, "Ada seorang perempuan duduk di bawah pohon sebelah sana."
Juwita, pun aku, memandang ke arah yang ditunjuk Jelita. Memang benar. Di kejauhan sana, seorang perempuan muda berparas cantik jelita duduk di rerumputan, bersandar di sebuah pohon besar yang rimbun.
"Wajahnya cantik sekali. Kulitnya bersih," ucap Juwita.
"Kelihatannya dia sedang melamun. Mungkin sengaja menyendiri."
"Mari kita dekati. Siapa tahu rejeki besar untuk kita. Mana tahu kita beruntung."
Dua gadis itu dengan cepat berlari ke arah pohon. Sebentar saja mereka sudah berada di hadapan perempuan muda yang duduk di bawah pohon itu. Dan diam-diam aku pun turut mendekat.
Perempuan muda itu mengusap air mata lalu mengangkat kepala memandang pada sepasang gadis yang baru datang, membuat kaget Jelita ketika mereka melihat dan menyadari siapa yang sedang melamun itu. Dan sebaliknya, perempuan muda, yang menurutku masih seorang gadis dan seumuran dengan dua gadis pirang itu, ia tetap tenang saja walau dia sudah melihat dua gadis yang berdiri di hadapannya.
Sepertinya mereka saling mengenal...?
"Mentari...," Jelita menyapa sementara Juwita memandangi gadis berparas cantik itu, memandangi kecantikan wajah dan kemulusan kulitnya yang bersih.
Dari kejauhan aku hanya menggeleng-gelengkan kepala.
"Waw, ini pertemuan yang tidak disangka," balas gadis yang sudah buyar lamunannya itu.
Jelita mengangguk, lalu merangkul gadis itu, bercipika-cipiki, dan memperkenalkannya kepada Juwita. Langsung saja gadis bernama Juwita itu menyambar tubuh Mentari begitu erat.
Sambil tersenyum, terlihat risih, Mentari mundur selangka.
"Omong-omong, apa yang kamu lakukan di tempat sunyi ini?" tanya Jelita.
"Sepertinya sedang menunggu seseorang," sambung Juwita asal.
"Kalau kamu benar sedang menunggu seseorang biar aku coba menerka," kata Jelita sambil tersenyum dan mengusap-usap keningnya seolah tengah berpikir. "Kalau dugaanku salah mohon maaf. Tapi sepertinya kamu sedang menunggu lelaki gagah bernama Jaka Pradana itu, ya kan? Si pria dari kota?"
Ya Tuhan, gadis itu juga...?
Serasa ada jutaan jarum menusuk hatiku. Sungguh menyakitkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments
Uesman Uesiel
mending lupakan jaka deh wulan,, illfeel aq ..😳
2023-03-24
1
Deliana
apa enak ny y,,, klu jeruk makan jeruk.. 🤣🤣🤣
2023-03-22
1