Tentu saja. Bukan tanpa sebab, aku menunggu kepulangan pria tampan itu karena ada banyak alasan. Salah satunya seperti yang telah kusebutkan, aku ingin bisa dekat dengannya, dan alasan lainnya adalah kerinduan. Sebab... pria itu telah menawan hatiku sejak kepulangannya setahun yang lalu. Saat aku berusia tujuh belas tahun dan baru pertama kali merasakan jatuh cinta. Pertama kali merasakan debaran aneh atas kehadirannya, pria yang sudah kukenal sejak kedatanganku di tanah kelahiran ibuku.
Aku masih ingat persis bagaimana manisnya momen pertama kali jantungku berdetak lebih cepat saat melihat pria itu. Di pagi hari, dalam kelembapan subuh, saat mentari pagi bahkan belum memancarkan sinarnya, nenek memintaku untuk mengantarkan sarapan untuk pria itu. Kata nenek, tetangga kami itu baru saja sampai di rumahnya semalam, agak larut, di saat aku sudah lelap dalam tidurku, jadi aku tidak tahu persisnya, jam berapa dia tiba di sini. Dan tentu saja, pada saat itu, itu bukanlah urusanku, dan juga bukan kepentinganku -- berbeda dengan beberapa menit setelahnya....
Di depan pintu, saat aku memanggil-manggil namanya, tidak ada jawaban yang merespons-ku, dan sewaktu aku menarik turun handle pintu rumah itu, pintunya tidak terkunci, itu berarti pria itu sedang tidak berada di dalam rumah. Dan seperti biasanya, aku ataupun nenek dipersilakan langsung masuk jika demikian keadaannya. Dan aku pun masuk.
Tanpa berlama-lama, segera kutaruh nampan makanan itu ke atas meja makan: nasi kuning, aneka lauk masakan nenek, plus seteko teh panas, lalu menutupnya dengan tudung saji. Dan aku pun bermaksud untuk langsung pulang. Tetapi...
Klik!
Listrik padam. Rumah itu jadi gelap gulita dan aku tidak bisa melihat apa pun.
Di dapur, aku mencoba meraba-raba meja, barangkali bisa menemukan pemantik api atau apa pun yang bisa menghasilkan cahaya. Tetapi, tidak kutemukan, dan beberapa saat setelahnya kuputuskan untuk keluar saja dari rumah itu. Aku pun berjalan ke depan, mengira-ngira langkah dan menembus kegelapan untuk keluar dari rumah itu. Tetapi, belum sempat aku keluar dan lolos dari kegelapan, aku menabrak seseorang.
"Auw!"
Dengan sigap sosok itu menyambar tubuhku. Menahanku hingga aku tidak terjatuh. Seperti pahlawan dalam adegan di dalam cerita sinetron. Dan...
Klik!
Seketika listrik kembali menyala. Cahaya lampu di langit-langit rumah tua itu sudah kembali memancar terang-benderang. Dan seorang pria tampan bertelanjang dada terlihat di depan mataku. Menahan tubuhku dengan kedua tangannya.
"Oom Jaka?" gumaman rendah lolos dari bibirku.
Ya ampun, Oom Jaka Pradana, si pemilik rumah yang baru saja masuk dan tertabrak olehku dengan sigap menyambarku. Aku terhentak ke dalam pelukannya. Membuatku terpaku dan membisu. Kusadari aku terpana, terpesona. Mataku nyaris melotot memandangi wajah tampannya, menelusuri dada bidangnya, dan otot-otot lengannya, yang menghias tubuh tinggi itu dengan sempurna. Di sana, di kulit yang putih bersih itu, keringat bercucuran dengan aroma kejantanan yang khas seorang pria.
Uuuh... memabukkan! Membuat jiwa kegadisanku meronta-ronta. Sungguh, aku terpana....
"Maaf, saya tidak tahu kalau kamu ada di sini," katanya. "Kamu tidak apa-apa, kan? Apa ada yang sakit?"
Aku masih terpaku. Pria itu baru pulang dari lari pagi dengan setelan olahraga, celana panjang dan sepatu sport yang keren dan mahal, dan jaket yang tersampir di bahu kirinya yang kemudian terjatuh ke lantai. Sementara... telapak tanganku merasakan hangat kulit telanjangnya, dan... detak jantungnya.
Deg!
Aku tidak tahu kenapa, tiba-tiba jantungku berdetak kuat, dan hatiku berdebar liar melihat pria dewasa itu berdiri di hadapanku, memeluk pinggangku, hingga aku terpaku, membisu, dan tak melepaskan sentuhan telapak tanganku dari dadanya.
"Wulan?"
"Emm?"
"Maaf...?"
"Oh, ya. Ya, Oom. Maaf, aku... aku...."
Ah, malunya. Kulepaskan tanganku dari dadanya dan seketika aku menunduk ketika kesadaran berdengung di otakku. Wajahku terasa panas dan terbakar.
"It's ok. Saya ingin ke kamar mandi. Permisi."
Aku mengangguk. Mengamati punggung berotot itu ketika pria itu berjalan. Dan kurasakan sepertinya aku jatuh cinta.
Oh, Wulan, sadarlah, batinku seraya berbalik.
"Wulan?"
"Ya?" Aku kembali berbalik.
"Selamat ulang tahun."
Oom Jaka tersenyum, sangat menawan....
"Hah? Oom masih ingat?"
Ya ampun, pertanyaan macam apa itu? Sejak ulang tahunku yang ke-lima belas, Oom Jaka mengucapkan selamat ulang tahun kepadaku.
Pria itu menyengir lebar. "Tentu saja. Hari ulang tahun kita kan sama. Bagaimana saya bisa lupa?"
"Oh, ya. Ya, terima kasih, Oom. Selamat ulang tahun juga untuk Oom Jaka."
Dia mengangguk dan tersenyum, lalu menutup pintu kamar mandi.
Aku yang memang sudah terpesona akan kegagahan pria itu, malah semakin terpesona karena ia terus ingat pada hari ulang tahunku, dan selalu mengucapkan selamat ulang tahun kepadaku. Saat itu aku jadi teringat momen ulang tahunku yang ke-lima belas, saat nenek memberikan hadiah ulang tahun untukku dan Oom Jaka sedang ada di teras rumahnya, melihat kami, dan ia tersenyum. Lalu, tak terduga, ia menghampiriku dan berjabat tangan denganku untuk mengucapkan selamat ulang tahun kepadaku, yang pertama kali. Di saat itulah, dia mengatakan hari itu adalah hari ulang tahunnya juga: dengan perbedaan usia dua puluh tahun denganku. Dan aku senang dia masih mengingatnya dan mengucapkannya kembali pada hari ulang tahunku yang ke-enam belas dan yang ke-tujuh belas.
Tetapi itu masa tiga tahun yang lalu, dua tahun yang lalu, dan setahun yang lalu, saat usiaku lima belas tahun, enam belas tahun, dan tujuh belas tahun, dan, ketika usia Oom Jaka tiga puluh lima tahun, tiga puluh enam tahun, dan tiga puluh tujuh tahun. Tiga tahun yang berkesan. Dan momen ulang tahunku yang ke-tujuh belas, itulah momen ulang tahunku yang paling membahagiakan. Dan sejak itu, selama setahun terakhir, perasaanku selalu berbunga-bunga. Perasaan yang membuatku selalu terbayang akan kehadirannya dan berharap ia akan memiliki perasaan yang sama denganku. Cinta dalam diam yang enggan pergi meski minim komunikasi. Dan perasaan itu masih bertahta di dalam hatiku. Terlebih, sampai hari ini, Oom Jaka masih seorang lajang, dan aku masih mengharapkannya.
Aku masih berharap.
Tidak salah, bukan? Di dunia ini tidak ada yang mustahil. Mungkin dia jodohku. Meski usia kami terpaut dua puluh tahun, dan meski aku bukanlah Nawang Wulan si bidadari dari kayangan, dan Oom Jaka bukanlah sang kesatria Jaka Tarub, semoga kami berdua kelak berjodoh....
Dan, sekarang aku menunggunya lagi untuk mengucapkan selamat ulang tahun kepadaku pada ulang tahunku yang ke-delapan belas. Dua hari lagi....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments
Deliana
sepertiny om jaka jg mnunggu mu dewasa wulan..klu tdak mna mngkin seusia hampir kpala 4 blm jg mnikah2..
2023-03-22
1