Luka Lama

Matahari pagi telah menunjukkan sinarnya dan menerobos ke sela-sela gorden yang tergantung di jendela. Ailey membuka mata perlahan sambil mengumpulkan nyawa. Dia menerawang ke langit-langit kamar, memikirkan apa yang akan dilakukannya hari ini.

Sudah sebulan dia menganggur dan tidak terlihat akan adanya kesibukan hari itu. Seluruh surat lamaran sudah diantarnya kemarin, sepertinya Ailey hanya akan bermalas-malasan di kamar kosnya yang sempit hari ini.

Kringggg!! Suara alarm ponsel Ailey berbunyi tepat pukul 6 pagi. Alarm tersebut bukan untuk membangunkan dirinya, karena jam biologis Ailey sudah terbiasa membangunkannya 15 menit sebelum alarm itu berbunyi.

Ailey lalu memaksa dirinya bangun dan mengeluarkan sebotol obat dari laci mejanya. Ia menghela napas sambil membaca botol obat itu yang bertuliskan Tenolam E. Tampaknya sudah 7 tahun dia mengkonsumsi obat itu. Obat yang mengandung Tenofovir, Lamivudine, dan Efavirenz tersebut harus diminumnya secara rutin di jam yang sama. Jam 6 pagi adalah jadwalnya meminum obat setiap hari, sehingga alarm diperlukan supaya dia tidak lupa.

“Masih ada 1 botol, bulan depan aku harus ambil obat lagi ke rumah sakit.” Gumamnya.

Ailey adalah ODHIV (Orang dengan HIV) yang sangat bergantung dengan obat Tenolam E. Pasalnya, jika dia tidak meminum obat secara teratur, virus HIV yang ada di dalam tubuhnya dapat aktif kembali dan menghancurkan sistem imunitas tubuhnya dengan cepat. Oleh karena itu, sebagai ODHIV, Ailey tidak boleh melewatkan jam konsumsi obatnya. Karena jika virus HIV dalam tubuhnya menjadi resisten akibat konsumsi obat yang tidak teratur, usaha bertahun-tahun untuk dapat konsisten meminum obat tersebut menjadi percuma.

Sambil meminum air putih untuk menenggak habis tablet obat tersebut, Ailey teringat kembali kejadian 8 tahun lalu yang menyebabkannya terinfeksi HIV.

Saat itu Ailey yang masih berusia 17 tahun baru saja selesai belajar di tempat les matematika. Jarak dari tempat les dengan rumahnya sebenarnya tidak begitu jauh, hanya 4 km saja. Namun, karena Ailey berasal dari keluarga yang kurang mampu, ia memutuskan untuk pulang dengan berjalan kaki. Daripada harus menghabiskan uang jajannya untuk naik angkot atau ojek, lebih baik ia capek sedikit dan menabung sisa uang jajannya.

Tidak seperti biasanya, les matematika hari itu berjalan cukup lama sehingga Ailey harus pulang jam 8 malam untuk mengerjakan tugas-tugas terlebih dahulu. Penerangan tidak cukup memadai saat itu sehingga gelapnya malam cukup membuat Ailey merinding beberapa kali. Namun, demi menyisihkan uang jajannya, ia tidak mengindahkan perasaan takutnya. Lagipula, dia tidak percaya dengan hantu, untuk apa memikirkan hal-hal yang tidak masuk akal tersebut.

Sekalipun jarak ke rumahnya tidak terlalu jauh, Ailey harus memutari kebun jagung karena jalan yang biasanya ia lewati tertimbun tanah longsor sehingga aksesnya masih ditutup. Saat dia melewati kebun jagung dengan penerangan seadanya, tiga orang laki-laki paruh baya mendekatinya. Dengan tatapan teler karena mabuk, tiga laki-laki tersebut seperti dihinggapi setan. Mereka menyergap Ailey dan menyeretnya ke dalam kebun jagung. Mereka melucuti baju wanita SMA itu dan melakukan tindakan biadab yang merenggut keperawanannya. Meskipun Ailey meronta sekuat tenaga, ia tidak mampu melawan ketiga orang tersebut. Mulutnya pun disumpal dengan ****** ******** sendiri oleh salah satu pria tersebut agar Ailey tidak bisa berteriak meminta pertolongan.

Sekelebat memori menyakitkan tersebut membuat Ailey meneteskan air matanya. Sudah bertahun-tahun lamanya ia tetap tidak bisa menghilangkan rasa trauma di hatinya. Sakit sekali, bahkan virus HIV yang diidapnya karena kasus pemerkosaan tersebut tidak mampu menggantikan pedihnya keperawanan yang telah direnggut para laki-laki bejat itu.

Ailey meletakkan kembali botol obatnya ke dalam laci. Sambil mengusap matanya yang sembab, dia berdoa agar pelakunya tidak bisa hidup dengan tenang. Meskipun dia tahu para pelaku tersebut sudah dipenjara, dia ingin mereka merasakan hal yang lebih buruk dari sekedar tinggal di jeruji besi.

Di tengah lamunannya, sebuah dering telepon mengagetkan Ailey. Lalu wanita itu dengan sigap mengangkat panggilan masuk yang datang dari ayahnya.

“Halo, Pak!” Sapanya lembut.

“Apa kabarmu, nak? Sudah hampir seminggu Bapak tidak dihubungi.” Tanya ayahnya khawatir.

“Kabarku baik, Pak. Maaf, Ailey lagi sibuk belakangan ini sampai tidak bisa menghubungi Bapak di rumah.” Jawabnya dengan sopan.

“Syukurlah! Kerjaan lancar, Nak?”

“Emmm… Iya, lancar, Pak! Gajinya tidak begitu besar tapi masih sanggup untuk biaya hidup di sini.” Kata Ailey berbohong.

“Kamu kalau tidak betah kerja di sana karena gajinya kecil, lebih baik kembali ke kampung. Bantu Bapak jualan di kedai saja. Meskipun penghasilan seadanya, tapi biaya hidup di sini jauh lebih murah daripada di Jakarta.” Sambung ayahnya.

“Tenang saja, Pak. Ailey masih betah di sini. Ailey janji tahun ini akan pulang ke rumah dan bawa uang yang lebih banyak.” Kata Ailey berusaha menenangkan ayahnya.

“Baiklah kalau begitu. Kamu jangan lupa sarapan, ya! Sebentar lagi kamu berangkat kerja ‘kan?” Lanjut ayah Ailey.

“I…iya. Terima kasih, ya Pak.” Jawab Ailey dengan gugup.

“Jangan lupa minum obatnya! Jaga kesehatan, Nak.” Sambung ayahnya.

“Iya, Pak. Sudah saya minum, kok barusan. Saya siap-siap dulu, ya Pak. Kalau telat bekerja nanti dipotong gajinya. Hehe.” Ailey berusaha menutup percakapan.

Telepon pun dimatikan dengan penuh rasa bersalah. Ailey terpaksa berbohong karena tidak ingin membuat ayahnya khawatir. Bagaimana pun juga, dia harus segera mendapatkan pekerjaan atau dia tidak bisa menepati janjinya kembali untuk pulang ke rumah. Ayahnya sebatang kara di kampung, sungguh keterlaluan jika Ailey membiarkan ayahnya sendirian tanpa dijenguk sekali pun oleh anaknya, setidaknya itulah yang ada di pikiran Ailey.

Ailey lalu berdiri dan menyibakkan gorden jendelanya lalu membuka jendela dan membiarkan cahaya matahari masuk sepenuhnya ke dalam. Sambil menghirup udara pagi dia menyemangati dirinya sendiri.

“Aku pasti bisa! Tuhan pasti memberikanku pekerjaan. Amin!” Sahutnya hingga membuat burung-burung yang bertengger di kabel listrik terbang karena kaget.

Ailey menopang dagunya dengan kedua tangannya sambil memperhatikan pemandangan kumuh di luar. Rumah penduduk yang padat dengan gang-gang kecil sebagai pemisahnya memang terlihat tidak menyegarkan mata, apalagi area tampat tinggalnya berada dekat dengan sungai yang berbau karena banyaknya aktivitas mandi, cuci, kakus di sana. Namun, ia tetap bersyukur karena masih diberikan napas hidup dan semangat dalam menjalani harinya.

Dia memperhatikan dua awan yang sedang bergerak saling menjauh di atas pemukiman tersebut dan memberikan jalan kepada sinar matahari yang terang seolah alam semesta mendengar doa dan harapannya selama ini. Ailey tersenyum menyaksikan pemandangan itu dengan mata berbinar-binar. Entah kenapa, ada kekuatan yang mendorong keyakinannya agar bisa menjalani semuanya dengan baik walau apa pun itu tantangannya.

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!