Cuaca terik yang menyelimuti kota Jakarta tidak meluputkan Ailey dari keringatnya yang berjatuhan. Rambutnya yang panjang sebahu mulai terlihat lepek. Dengan mengenakan kemeja dan sepatu seadanya, Ailey melangkahkan kakinya dengan tegas, tanpa mempedulikan hawa panas ibukota yang menyergap. Dia berpindah dari satu gedung pencakar langit ke gedung lainnya di salah satu kawasan perkantoran di daerah selatan. Semua dilakukannya karena dia ingin segera memperoleh pekerjaan sejak dipecat bulan lalu karena perusahaan tempat dia bekerja sebelumnya bangkrut. Di tangannya terlihat amplop coklat terakhir yang digenggamnya dengan sangat hati-hati.
“Hari ini tinggal satu surat lamaran lagi.” Katanya dengan penuh semangat di depan sebuah gedung tinggi bertuliskan Abram Corporation.
Sesampainya di resepsionis, Ailey segera memberitahu maksud kedatangannya. Amplop coklat yang dari tadi dipegangnya, langsung ia serahkan kepada resepsionis di sana setelah dia mengisi buku tamu yang ada di meja.
“Amplop apa ini?” Tiba-tiba seorang wanita berambut pendek menghampiri resepsionis dan mengambil amplop tersebut.
“Oh, Bu Lina. Itu surat lamaran Bu.” Jawab resepsionis yang sedang berjaga hari itu.
Ailey memperhatikan wanita yang bernama Lina tersebut. Dia mengagumi paras cantik wanita itu, padahal riasannya tidak terlalu tebal tapi tetap terlihat natural dan berkarisma. Baju kerja yang dikenakan pun sangat modis, berbeda dengan kemeja yang dipakainya yang dia beli di pasar dekat kosannya. Ditambah lagi aksesoris mewah yang dipakainya dari anting, kalung, gelang, hingga cincin mahal menambah daya tarik tersendiri.
“Kamu Ailey Subandono, pemilik surat lamaran ini?” Tanyanya dengan menatap rendah Ailey sambil sesekali membaca surat lamarannya.
“Iya, Bu!” Jawab Ailey dengan lantang dan semangat.
Lina menatap Ailey dengan detil, dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. Wajahnya tampak tidak senang dengan keberadaan perempuan sederhana itu.
“Kamu kira dengan penampilan tersebut lamaranmu bisa diproses? Berdandanlah lebih baik jika ingin melamar di perusahaan sekelas Abram.” Kata Lina angkuh sambil mengembalikan surat lamaran Ailey ke tangan resepsionis di sebelahnya, lalu ia beranjak pergi dengan penuh percaya diri.
“Siapa, sih wanita itu? Sok sekali!” Kata Ailey kepada resepsionis di depannya.
“Ssssst, kecilkan suaramu! Dia kepala operasional di Abram, Lina Marliani.” Timpal resepsionis itu.
Ailey segera refleks menutup mulutnya dengan kedua tangannya, “Kamu bercanda?” Lanjutnya.
Resepsionis itu hanya menghela napas, “Surat lamaranmu akan saya sampaikan ke HRD jadi kamu bisa pulang sekarang.”
“Hanya itu? Aku tidak diwawancara?” Tanya Ailey bersemangat.
“Tidak secepat itu prosesnya, kalau CV mu lolos kualifikasi pasti HRD kami akan menghubungimu. Lagipula, siapa sih yang masih mengirim CV secara fisik begini? Kamu tidak punya email?” Kata si resepsionis dengan gemas.
“Hehehe, laptopku sudah kujual. Sementara, ponselku sudah kehabisan kuota internet. Jadi mau bagaimana lagi.” Jawab Ailey sambil tertawa malu.
Abram Corporation adalah sebuah perusahaan properti dan retail elektronik yang sedang naik daun beberapa tahun belakangan ini. Lima tahun sejak perusahaan itu berdiri, Abram langsung melantai di bursa saham dan telah memiliki lebih dari 1000 proyek tersebar di Indonesia. Keuntungan bekerja di Abram pun sangat banyak, mulai dari tunjangan hobi, kendaraan pribadi, hingga rumah dinas. Tak ayal, banyak orang ingin menjadi bagian dari Abram demi mendapatkan penghidupan yang lebih layak dan memuaskan gengsi.
Ailey tidak berharap banyak karena dia hanya lulusan SMK, namun dia selalu berdoa untuk dapat bekerja di Abram, sekali pun hanya sebagai SPG (Sales Promotion Girl) di salah satu toko cabangnya. Setidaknya, dia bisa membanggakan dirinya di hadapan keluarganya waktu pulang kampung ke Banyuwangi nanti.
“Selesai! Tidak kusangka sudah 5 surat lamaran yang aku kirim hari ini, capek juga!” Gumamnya sambil duduk di pinggir trotoar kawasan CBD itu.
Di tengah teriknya hari itu, Ailey membuka kaleng soda dan meminumnya dengan cepat untuk memuaskan dahaga di tenggorokannya. Tak disangka-sangka, mobil sport mewah melewatinya dan menghembuskan emisi dari knalpot tepat di mukanya.
“Uhuk uhuk!” Ailey terbatuk-batuk, agaknya soda yang diminumnya juga ikut tersedak.
“Hei, orang gila! Gak lihat kalau saya lagi duduk di sini?” Teriak Ailey protes kepada pengendara mobil itu yang sedang berhenti karena lampu merah.
Pengendara mobil itu menurunkan kaca jendelanya. Terlihat seorang pemuda dengan usia 20-an akhir melongo ke belakang untuk mencari tahu siapa yang berteriak. Dengan rambut yang tertata rapi dan kacamata hitam di wajahnya, dia menunjukkan wajah yang kesal.
“Mbak yang barusan teriak?” Kata laki-laki itu.
“Menurutmu siapa lagi kalau bukan saya? Tidak sopan sekali mengendarai mobil seperti itu!” Lanjut Ailey protes.
“Wah, sejak kapan trotoar bisa dijadikan tempat nongkrong?” Laki-laki itu tidak mau kalah.
Emosi Ailey tersulut mendengar respon pengendara mobil itu. Tanpa ragu-ragu, Ailey segera berdiri dan menghampiri pemuda itu. Muka masamnya sengaja ia tunjukkan berharap agar pengendara itu meminta maaf padanya.
“Saya tidak ada waktu meladeni orang yang tidak tahu fungsi trotoar sepertimu. Bye!” Katanya sambil menginjak gas segera setelah lampu hijau menunjukkan tandanya.
“Hei!!! Laki-laki kurang ajar!” Teriak Ailey kesal melihat laki-laki itu melarikan diri dengan mobil mewahnya.
Rasa dongkol Ailey berusaha untuk dia redam sendiri. Dia tidak mau mood bagusnya hari ini terganggu hanya karena pengendara mobil yang arogan tersebut. Kaleng soda yang digenggamnya ia lemparkan ke dalam tong sampah di dekatnya sebagai pelampiasan rasa kesal terakhir yang ia miliki.
***
Sesampainya di kos, Ailey segera mandi dan membersihkan tubuhnya dari emisi mobil yang tidak tahu diri itu. Di bawah siraman air shower, Ailey termenung sejenak. Entah apa yang dirasakan perempuan yang masih berumur 25 tahun itu, air mata menetes di pipinya dan berbaur dengan air yang mengalir dari pancuran.
“Aku kangen bapak.” Lirihnya sambil memeluk erat tubuhnya sendiri, “Aku mau pulang.” Sambungnya sambil terisak.
Ailey sudah 3 tahun tidak pulang ke rumahnya. Selain karena tidak ada ongkos untuk membeli tiket bus, dia juga merasa malu karena belum mampu menghidupi dirinya sendiri dengan layak. Bagaimana dia bisa menghadapi ayahnya di kampung tanpa membawa apa-apa? Andai ibu Ailey masih hidup, tentunya dia dapat bercerita dengan lebih leluasa karena kedekatannya. Sejak kecil, Ailey banyak menghabiskan waktu dengan ibunya sehingga ia merasa ibunya adalah sosok teman bagi Ailey. Sementara, ayahnya adalah sosok yang sangat keras dan tegas. Kendati demikian, Ailey selalu menjadikan ayahnya sebagai panutan hidup yang sangat ia hormati dan sayangi.
Sebenarnya, ayah Ailey tidak mengijinkan anaknya untuk merantau ke ibukota. Namun, karena kegigihan Ailey dalam membujuk ayahnya, dia berjanji akan kembali ke rumah dengan membawa banyak uang sebagai pembuktian bahwa dia bisa hidup mandiri. Hati ayahnya pun melunak karena tidak mampu menahan mimpi anaknya untuk bekerja di Jakarta. Ailey pun merantau ke Jakarta dan berusaha untuk menghidupi dirinya tanpa meminta uang sepeser pun dari ayahnya.
Ibukota lebih kejam dari ibu tiri, mungkin ungkapan ini memang cocok untuk Ailey yang kesulitan berjuang seorang diri di Jakarta.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments