Milan dulunya dijuluki "city of water", sama seperti Venesia karena memiliki jaringan saluran air dan kanal yang mengelilingi kota. Namun, kini satu-satunya kanal yang tersisa hanyalah Naviglio grande
Dan disinilah Aletta dan juga Zello berada. Di atas jembatan jaringan saluran air Naviglio Grande, kota Milan.
“Kau membawaku jauh-jauh, hanya untuk kemari?” tanya Aletta sinis. Tangannya sedang di genggam Zello, hatinya berbinar karena itu, senyuman malu-malu dia sembunyikan.
“Heem, kau lihat. Pemandangan di sini cukup bagus!” Aletta membenarkan. Matanya menelisik ke dalam saluran air yang jernih dan bersih tersebut.
“Iya, indah. Walaupun di tengah kota!” Aletta menyandarkan tangannya di atas besi pembatas jembatan itu, melepas genggaman tangan Zello. Walaupun suhu kini sudah semakin dingin, tapi Aletta rasanya masih ingin berlama-lama untuk berdiri di atas jembatan itu.
“Letta?”
“Hemm?”
“Aku mau mengatakan suatu hal!” Aletta menoleh pada Zello yang berdiri tegap, menghadap padanya. Tatapan mata itu membuat Aletta tidak mau untuk mengalihkan pandangannya.
“Ada apa? Kau membuatku gugup!” Aletta terkekeh kecil, mencoba mengusir kecanggungan. Giginya yang rapi sedikit bergelatuk, karena suhu udara yang semakin dingin.
“Aku berbohong padamu!” Aletta mencoba menelaah perkataan Zello. Keningnya mengernyit tidak paham dengan apa yang laki-lakinya ini katakan.
“Apa yang kau bohongkan padaku?” tanya Aletta heran. Lalu lalang orang di sekitar tempat itu mengabaikan dua manusia beda usia tersebut.
“Aku berbohong, tentang pacarku!”
“APA?! Jadi kau tidak punya pacar? Jadi pacarmu itu hanya halusinasimu? Benarkah?” tanya Aletta terpekik tidak percaya. Dia bahkan sampai menggenggam tangan Zello yang kekar, laki-laki itu tersenyum tipis.
“Bukan! Bukan seperti itu!” Aletta langsung melepaskan pegangan tangannya. Dia melihat Zello dengan tangan yang bersidekap dada. Bibirnya tersenyum sinis.
“Cih, lalu apa lagi yang mau kau katakan tentang pacar sialanmu itu?!” dengus Aletta. Cih, tidak bisakah laki-laki memesona ini meliriknya sedikit saja, dia sudah tumbuh menjadi seorang wanita dewasa sekarang, tapi lihatlah, yang di bicarakannya hanyalah si perempuan sialan itu, Aletta merutuk Zello dalam hatinya.
“Dia bukan sialan, Letta. Dia adalah hidupku!” Aletta semakin tidak suka mendengar perkataan Zello. Tubuhnya yang tadi serasa mau membeku, kini merasa panas. Laki-lakinya sialan di depannya ini benar-benar menyebalkan.
“Sudahlah, aku tidak mau mendengarkannya. Sana pergi, sana! Minggir!” Aletta mengibaskan tangannya. Tapi Zello langsung menahan tangan gadis itu.
“Lepas! Sana temui pacarmu itu! Jangan ganggu aku!” Zello terkekeh dengan reaksi Aletta yang menurutnya sangat menggemaskan ini. Wanita ini secara tidak langsung sedang menunjukkan perasaannya, dan Zello suka dengan reaksi yang seperti ini.
“Letta, apa kau ingat, saat pertama kali kau menanyakan aku punya pacar atau tidak?” Aletta terdiam. Mencoba mengingat memori enam belas tahun yang lalu. Tepatnya, saat dia berusia lima tahun.
Ketika dulu dia sangat ketakutan karena penjahat yang menculiknya, dan Zello adalah malaikat penyelamat jiwanya. Ketakutan yang berusaha Aletta ubah supaya tidak menjadikannya sebuah rasa trauma, dan itu berhasil karena Zello.
“Hemm, aku ingat!” ujar Aletta ketus. Bagaimana mungkin dia bisa melupakan hal itu. Hari yang sama dengan hari saat laki-laki yang ada di hadapannya ini menyelamatkan dirinya yang rapuh.
“Kau harus tau, kalau saat itu, sebenarnya aku sudah menyatakan kepemilikan atas dirimu, Letta. Kau kekasihku itu, kau wanita yang selalu aku ceritakan itu!”
Aletta mundur kebelakang beberapa langkah. Matanya menatap Zello dengan aneh. Hingga kilasan-kilasan memori masa lalu tayang silih berganti di otaknya. Tentang bagaimana laki-laki ini mengajaknya ke taman, memberikannya kalung, hingga masih banyak lagi kilasan memori itu membuat Aletta serasa mau membenturkan kepalanya ke besi pembatas ini. Tapi itu tidak mungkin, bisa saja nanti Zello menghancurkan besi itu karena merasa Aletta tidak senang dengan besi itu.
“Kauuu!” tunjuk Aletta tidak terima setelah bisa menguasai dirinya yang bodoh itu. Aletta benar-benar merasa menjadi orang terbodoh saat ini.
“Apa?” tanya Zello tersenyum tipis.
“Ke—kenapa kau membuatku seperti orang bodoh selama ini?” Zello tertawa lebar. Manik tajamnya itu menatap Aletta geli. Sedangkan manik abu-abu yang di tatapnya melayangkan tatapan tajam yang tampak sangat menggemaskan.
“Huuaaa, bagaimana aku akan mengatakan pada Fely nanti. Kalau aku menyumpahi diriku sendiri, huaaaaa ...” Zello terkejut melihat Aletta yang berteriak sembari berjongkok. Orang-orang yang lewat di sekitar sana langsung menoleh dengan tatapan yang berbeda-beda pada wanita yang mereka anggap sedikit—gila—itu.
“Fely sahabatmu itu?” tanya Zello mengulang perkataan Aletta.
“Heem, aku sangat malu padanya. Kau tau, aku selalu menjelek-jelekkan pacarmu itu di depannya, aku tidak dapat membayangkan bagaimana reaksinya nanti, huaaaaa....” Aletta kembali berteriak membuat Zello gelagapan.
Wanita ini benar-benar tidak bisa di tebak. Zello kira, gadis kecilnya ini akan langsung menutup mulutnya karena terharu dan memeluknya dengan sangat erat. Memberikannya ciuman kedua. Tapi, angan tinggal angan-angan. Menyedihkan sekali dirimu, Zello!
“Letta, kenapa kau malah memikirkan orang lain saat ini, tidakkah kau memikirkan aku?” tanya Zello sedikit kesal.
“Tidak!”
“Apa aku perlu menghabisi sahabatmu itu? Supaya kau tidak malu lagi padanya?” tanya Zello yang membuat Aletta mengangkat kepalanya, menatap laki-laki itu dengan nyalang.
“Hei, apa yang kau katakan? Jangan macam-macam kau!” tunjuk Aletta kesal.
“Lalu, apakah sekarang kau tidak mau memelukku? Kau tau, kita sudah berpacaran selama enam belas tahun, dan berciuman baru sekali saja!”
“Cih, aku bahkan tidak tau, kalau aku berpacaran, ataupun memiliki pacar. Sialan kau, Zelloooo!”
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments