Xaiza melihat Sanifa menangis di belakang kelas, lalu ditolong untuk berdiri. Sanifa memandang kedua telapak tangannya, yang terlihat berwarna kemerah-merahan.
"Kamu kenapa menyendiri di belakang?" tanya Xaiza.
"Aku di-bully sama teman-teman, sampai tanganku terkena pukul gitar." jawab Sanifa, dengan jujur.
"Maafin aku iya Sanifa, karena tidak membantu." ujar Xaiza.
"Iya Xaiza, bukan salah kamu kok." Sanifa berhenti sejenak, kemudian meneruskan ucapannya. "Aku heran, mengapa kita dilarang bunuh diri. Sementara alur hidup ini, sungguh terjal dan tidak pernah berhenti."
"Tidak boleh bicara seperti itu, bunuh diri pertanda tidak mencintai diri sendiri. tidak lagi berpegang teguh pada Allah, padahal Dia yang Maha Esa." Xaiza menasehatinya.
"Iya, aku mendengarkan." jawab Sanifa.
Kabar tentang Sanifa sebagai pecandu narkoba dan juga gila telah tersebar. Sanifa mengamuk di kelas, karena di-bully namun semua orang salah paham.
"Sanifa, kamu sudah gila iya." ucap Berlin.
Sanifa menjambak rambut Berlin. "Kamu yang gila, karena terus merundung diriku." jawabnya.
"Hei, kamu itu sadar diri. Mencemarkan nama baik kelas kita, dengan menjadi pencandu narkoba." ujar Zarin.
"Kalian yang harus sadar diri, memperlakukan orang lain dengan seenaknya." jawab Sanifa.
"Sudahlah, orang miskin jangan berlagak sombong." ucap Kramiy.
"Jaga mulut kamu, atau aku tidak akan sungkan padamu lagi." jawab Sanifa.
Ibu Fraza menghentikan mereka berdua, yang tiba-tiba saling pukul. Surat panggilan orangtua diberikan pada keduanya. Mereka sama-sama menerima surat tersebut, namun hanya Sanifa yang dipanggil dengan serius.
Sampai di rumah, Sanifa memberikan surat panggilan dari guru BK. Zomprang marah sangat besar, karena Sanifa diduga buat onar.
"Ayah ini malu, sudahlah kamu digosipi semua orang, ditambah lagi pecandu narkoba." ujar Zomprang, dengan nada tinggi.
"Ayah, mengapa Ayah malah menekan ku. Aku itu cuma difitnah sama teman sekelas." Sanifa menangis histeris.
Plak!
Sanifa ditampar hingga jatuh terjerembab ke lantai. Dia meradang, dia terzalimi, namun tidak ada kemampuan untuk membalas. Ainin membantu putrinya berdiri, melihat sudut bibirnya berdarah.
"Ayah, mengapa kamu tampar dia." ujar Ainin.
"Karena dia aib untuk keluarga kita. Bahkan, kematian tidak cukup untuk menebusnya." jawab Zomprang.
"Ayah, apa kamu berjudi bukan aib?" Ainin menoleh ke arahnya.
"Jangan bahas lagi, itu sudah masa lalu." jawabnya.
Ainin menolong Sanifa, yang sedang terduduk di lantai. Posisi tidak sengaja itu, telah membuatnya sakit pinggang. Harap maklum, baru saja keluar dari rumah sakit.
"Ayo istirahat di kamar, biar Ibu bawakan sup untukmu." ucap Ainin.
"Iya Bu." jawab Sanifa.
Keesokkan harinya, Sanifa kembali ke sekolah. Zomprang pergi bersama Sanifa, untuk memenuhi panggilan. Berbeda dengan tukang bully, yang mendapatkan perlindungan ibu Fraza.
"Pak, anak Bapak ini telah melakukan perbuatan melanggar." ujar ibu Fraza.
"Namun, aku tidak pernah melihatnya di rumah konsumsi obat-obatan terlarang." jawab Zomprang.
"Bapak tidak selalu bisa mengawasi dua puluh empat jam. Begitupula dengan kami, selaku guru pendidiknya di sekolah." ucap ibu Fraza.
"Iya Bu, saya paham. Terkait hal ini, Ibu bisa selidiki lebih lanjut. Bisa saja ada orang yang menjebaknya." Zomprang mengalihkan tuduhan.
Ibu Fraza tersenyum ramah, padahal sudah mengetahui Sanifa tidak bersalah. "Bapak jangan terlalu ngotot, terima saja kenyataan. Tolong berikan arahan pada Sanifa, supaya dia bisa menjadi lebih giat lagi."
"Baiklah." jawab Zomprang pasrah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments