Tidak lama kemudian, Sanifa sudah sadar dari pingsannya. Xaiza dan Cemara mulai mendekat, ke arah ranjang pasien.
"Oh iya, aku ada di mana?" Sanifa melihat ke arah sekeliling.
"Kamu ada di rumah sakit, tadi tergeletak pingsan di pinggir jalan." jawab Cemara.
"Nama kamu Sanifa 'kan?" tanya Xaiza.
"Iya, namaku Sanifa." jawabnya lirih.
Tidak butuh waktu lama, Zomprang datang ke rumah sakit. Ditemani dengan Ainin, ibu kandung dari Sanifa.
"Mengapa kamu bisa seperti sekarang?" tanya Ainin.
"Aku dipukuli orang di jalan." jawab Sanifa.
Ainin memeluk putrinya. "Ya Allah sayang, kasian sekali kamu."
"Tidak apa-apa Bu, ini kebetulan saja. Biasanya belajar malam hari, aku pulang dengan baik-baik saja." jawab Sanifa.
"Tidak ada yang kebetulan, tapi ini sudah takdir." ujar Ainin.
"Oh iya Bu, semoga selajutnya takdir baik." jawab Sanifa datar.
Zomprang mengucapkan terima kasih kepada Cemara dan Xaiza, karena sudah membawa Sanifa ke rumah sakit. Ainin membayar administrasi pada pihak rumah sakit, sedangkan Cemara dan Xaiza pulang ke rumah tempat tinggalnya.
"Ini biaya administrasi atas nama Sanifa ruang nomor 65, senilai lima juta rupiah." ujar suster.
"Iya Suster, tunggu sebentar." Ainin mengeluarkan lembaran uang merah beberapa lagi, untuk memenuhi jumlah biaya keseluruhan.
Keesokkan lusa, Sanifa kembali ke sekolah. Tiba-tiba saja kepalanya ditinju dari belakang, sambil dicaci maki oleh Berlin dan Zarin. Sanifa melihat ke arah mereka dengan sinis, lalu menjambak rambut Kramiy dengan raut wajah frustasi.
"Sanifa, apa yang kamu lakukan." ujar Ibu Fraza.
"Bu, mereka bertiga mem-bully saya." jawab Sanifa.
"Halah, sepele doang kok Bu. Kami cuma bercanda, dipijat bahunya saja marah." sahut Kramiy.
"Dia bohong Bu, tadi saya ditinju olehnya." Sanifa membela diri.
"Sudahlah Sanifa, Ibu bosan dengan pengaduan kamu. Di sekolah ini untuk mencari ilmu, bukan cengeng main drama." ujar ibu Fraza.
"Terserah Ibu, jika tidak ingin mendengarkan penjelasan saya." jawab Sanifa, dengan jengkel.
Setelah kepergian mereka, Sanifa sedih sendiri. Masih ada emosi yang belum terurai, rasa kesal masih menyeruak di dalam hati.
"Aku mulai ragu dengan Tuhan, kalau Dia ada mengapa tidak menolongku?" monolog Sanifa.
Tiba-tiba Xaiza muncul. "Kita harus yakin, bahwa Allah akan menolong. Meski tidak dalam waktu cepat, namun Dia pasti datang. Sabarlah, karena Allah akan menggenggam hati yang benar-benar percaya."
"Kamu? Kenapa bisa ada di sini?" tanya Sanifa.
"Aku baru diterima kerja hari ini, untuk menjadi satpam penjaga sekolah." jawab Xaiza.
Ibu Vaniy masuk ke kelas, untuk mengajar praktik seni. Mereka disuruh latihan sendiri terlebih dulu, baru menghadap ibu Vaniy ketika mampu mandiri. Saat berada di ruang latihan, Sanifa diseret oleh Kramiy. Andin dan Berlin memegangi tangan Sanifa, lalu Kramiy memukul jari-jari Sanifa dengan gitar.
"Kita orang kaya, kamu cuma anak miskin. Jangan berani-berani melawan aku." ucap Kramiy dengan sombong.
"Mengerti tidak pecandu narkoba!" Andin menyentuh hidung Sanifa, dengan tatapan merasa jijik.
"Aku tidak sudi, untuk patuh padamu." Sanifa melawan.
Kramiy melepas paksa jilbab Sanifa, lalu menggunting kain tersebut hingga rusak. Sanifa menangis tersedu-sedu, saat jilbabnya diinjak dengan seenak jidatnya.
"Bagaimana? Sakit hati ya, tapi tidak bisa memaksa kami berhenti?" Kramiy tersenyum mengejek.
"Mengapa kamu terus merundung aku, dasar manusia tidak memiliki adab!" Sanifa melepaskan marah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments