Kramiy menyiram minyak sayur di lantai. Berlin dan Zarin lari terbirit-birit, segera bersembunyi sebelum ketahuan. Sanifa berjalan dengan santai, lalu tidak sengaja terpeleset.
"Hahah... kasian sekali kamu Sanifa." Berlin tertawa dengan lantang.
Sanifa berdiri dengan cepat. "Selalu saja cari masalah."
"Memang sengaja." ucap Zarin.
"Oh gitu." jawab Sanifa.
Beberapa orang menghampiri Zomprang, lalu tersenyum mengejek ke arahnya. Berita yang heboh di grup sekolah, membuat mereka semakin menjadi-jadi.
"Kamu itu tidak tahu diri, masih berani muncul kerja di sini. Anakmu di sekolah pecandu narkoba 'kan?"
"Anakku jarang keluar rumah, tidak mungkin dia terlibat perbuatan tersebut." jawab Zomprang.
"Justru jarang keluar rumah, anakmu bisa saja berbuat hal buruk di luaran." ujar Axel.
"Mana buktinya, perlihatkan padaku." Zomprang menganggap mereka omong kosong.
Mereka berdua memperlihatkan layar ponselnya, yang berisi berita video Sanifa mengamuk. Diunggah oleh salah satu siswi, yang sekelas dengannya.
"Puas lu? Makanya, jangan belagu muka tembok." ujar Axel.
"Kurangi cari perhatian bos, hingga dapat bonus yang besar." timpal Eqi.
"Aku bekerja dengan usahaku, bukan menjadi penjilat. Kalian tidak perlu repot-repot menyebar berita putriku, karena aku bisa mendidik dengan caraku sendiri." jawab Zomprang, dengan tegas.
Sanifa berbicara dengan kucing kesayangannya di sekolah, lalu mengelus dengan lembut bulunya.
"Kucing, mengapa kamu berdiam diri di sana." Sanifa melihat ke arah hewan berbulu tersebut.
"Eh, ada yang sedang bicara sama kucing." ujar Berlin.
"Dia 'kan binatang, makanya tidak punya teman manusia." Kramiy mencaci maki.
Sanifa menoleh ke arah mereka dengan sinis. "Bahkan, seekor kucing jauh lebih baik darimu." Menjawab tegas.
"Kamu sudah pintar bicara iya, aku tidak sabar untuk memperlihatkan hadiah untukmu." jawab Kramiy.
Sanifa langsung pergi begitu saja, tidak ingin basa-basi lagi.
Pulang sekolah Sanifa pulang sendirian, waktu pun sudah larut malam. Sanifa mempercepat langkahnya, karena merasa tidak nyaman. Preman itu mendekat, lalu merampas tasnya secara paksa.
"Minta tas aku!" teriak Sanifa.
Bugh!
Sanifa ditendang kakinya, dan juga ditendang punggungnya dari belakang. Sanifa jatuh tersungkur, sampai mengeluarkan darah.
"Kamu lebih baik berhenti sekolah atau pindah saja." Salah satu laki-laki bertatto membuka tasnya, lalu menumpahkan buku-buku pelajaran.
Sanifa menangis histeris, tatkala bukunya diinjak-injak. "Jangan injak buku aku, mereka tidak bersalah. Aku ingin belajar, jangan rusak penaku."
"Aku tidak peduli, yang paling terpenting puas." jawab laki-laki tersebut.
Sanifa merampas paksa bukunya, hingga dia didorong. Kepala Sanifa ditendang, bahkan lebih parahnya ditinju. Tidak segan merekam kejadian tersebut, untuk mengirim pada Kramiy. Mereka meninju hidung juga, hingga Sanifa terkapar.
"Ayo pergi, dia sudah tidak berdaya." ucapnya, pada teman-teman satu kelompok.
"Iya ketua, daripada ada yang memergoki." jawab orang di sebelahnya.
Tidak lama kemudian, ada seorang laki-laki jalan. Dia sedang berjalan bersama ibu kandungnya, baru pulang dari masjid.
"Astaghfirullah, itu ada manusia tergeletak." ujar Xaiza.
"Ya Allah, ayo bantu dia." jawab Cemara.
Cemara menepuk-nepuk pipi Sanifa, namun tidak juga sadar dari pingsannya. Xaiza membawa Sanifa ke rumah sakit. Suster menyeret ranjang pasien, sampai ke dalam ruangan.
"Siapa perempuan tersebut, tidak ada identitasnya." ujar Xaiza.
"Aku tadi sempat menemukan kartu pelajar miliknya. Sepertinya, ada yang sengaja mencelakai anak remaja tersebut." jawabnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments