Difitnah

Keesokan harinya, meja Sanifa ada bungkus plastik berwarna putih. Di dalamnya terdapat serbuk, dengan jumlah tidak sedikit. Sanifa mengangkatnya ke atas udara, lalu memperhatikan dengan seksama.

"Ini apa, kok bisa ada di mejaku?" Sanifa bertanya-tanya pada diri sendiri.

Kramiy melihat ke arah Sanifa. "Wow... ada yang terlibat narkoba nih. Dia pecandu, kita pukul saja."

"Dasar manusia rendahan!" Zarin menyudutkannya.

"Hentikan tuduhan kalian! Aku tahu, pasti kalian yang meletakkan barang ini." Sanifa mendorong Kramiy, karena sangat emosi.

"Kamu sudah gila iya, tiba-tiba menyerang ku." Kramiy mendorongnya, hingga membentur meja.

Sanifa melawan, karena mereka sudah zalim. Teman-teman sekelas yang lain malah menjadikan tontonan. Mereka mengira Sanifa gila, mengamuk karena pengaruh narkoba.

Plak!

Sanifa menamparnya, lalu Zarin dan Berlin melempar meja hingga mengenai kepala Sanifa. Kepalanya terasa sakit, semua justru menertawakannya. Kramiy menarik dasi Sanifa hingga putus.

"Kamu itu tidak pantas sekolah, lebih baik tidak berada di sini. Kamu itu berbeda tahu tidak, perempuan rendahan!"

"Huu... pengguna narkoba!" Zarin menyorakinya.

Teman-teman yang lain ikut-ikutan, melemparkan kertas ke kepala Sanifa. Hal tersebut membuat Sanifa frustasi, dia histeris sampai menjambak rambut Kramiy. Sanifa mendapatkan balasan dari orang yang diserangnya.

"Hei, perempuan gila! Lebih baik masuk rumah sakit jiwa, daripada sekolah dengan tidak waras." Berlin mendorongnya hingga jatuh.

"Iya, tukang pecandu narkoba ikut belajar, seperti ini deh jadinya." timpal Zarin.

"Apa katamu? Ucapkan sekali lagi, sampai mulutmu itu aku paksa untuk tutup." jawab Sanifa, dengan nada tinggi.

"Kamu cuma pecandu narkoba yang gila." Berlin mengulangi ucapannya, dengan tersenyum mengejek.

Plak!

Plak!

Sanifa menampar pipi sekaligus bibirnya, bersamaan dengan guru yang masuk kelas. Zarin dan Berlin pura-pura sedih, dan merasa ketakutan dengan Sanifa.

Zarin mendekati ibu Melan. "Bu, Sanifa sudah gila. Dia kebanyakan mengonsumsi obat-obatan terlarang." Memasang raut wajah sedih.

"Tidak Bu, itu semua fitnah." Sanifa semakin meninggi suaranya, histeris karena di-bully.

"Benar begitu Bu, dia 'kan pecandu yang tidak mau mengaku." jawab Berlin.

"Sudah, sudah, semuanya duduk. Biar Ibu selidiki hal ini." Ibu Melan mengambil sebungkus plastik, yang ada di meja.

Sanifa sedang makan di kantin, lalu piringnya ditaburi kulit kuaci. Tukang bully tertawa-tawa, sambil melempar wajahnya dengan sampah busuk.

"Kenapa kalian selalu mencari masalah denganku, apa kalian tidak diajari adab menghargai orang lain."

"Kamu memang pantas dilempar sampah, karena kamu memang sampah."

Beberapa laki-laki datang, sambil merangkul pundak teman-teman terdekatnya. Mereka mendekat ke arah Berlin dan Zarin, lalu mengusap lembut kepala keduanya. Sungguh jijik dengan perangai mereka, yang tidak bisa memanusiakan manusia lain.

"Kenapa? Kamu iri lihat kami punya teman laki-laki?" tanya Berlin.

"Tidak, aku malah senang tidak akrab dengan laki-laki. Jadi, kamu tidak perlu bangga." jawab Sanifa.

Kramiy mengambil mangkuk di meja, lalu menumpahkan kuah pada baju Sanifa. Kramiy tertawa terbahak-bahak, dan Sanifa mendekat ke arah Kramiy sambil berpangku tangan.

"Kamu merasa bangga, melakukan perbuatan hina seperti ini? Kamu mengeroyok orang lain, yang bahkan tidak pernah mengusik hidupmu." ucap Sanifa.

"Oow... jangan marah-marah dong! Nanti satu sekolahan tahu, kalau kamu telah gila karena narkoba. Kasian sekali nasib orangtua, yang punya anak tidak berguna seperti kamu." Kramiy melihat dengan tatapan merendahkan, dengan kata menghina.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!