Mathias

Kalau saja aku bisa menggunakan bakat sihir Ibu, aku pasti bisa terbang tanpa ketahuan manusia. Tapi, lupakan saja. Kekacauan yang melanda rumah tak lama lagi akan diliput oleh TV dan berita ini akan sampai di telinga Serikat Sihir Amerika.

    Aku    harus melarikan diri dari rumah sebelum itu terjadi, karena jika Serikat Sihir sudah turun tangan, aku akan terus diawasi, bahkan dikarantina jika perlu. Alison pasti harus berurusan dengan Ayah dan Ibu sekarang yang membuat hati ku berat. Aku tidak seharusnya meninggalkan saudara ku itu, meskipun aku tahu dia

bisa menjaga dirinya sendiri.

    Sihir Ayah sungguh kuat, aku harus melawannya dengan serius, bagaimanapun juga tipe sihir ku sama dengan Ayah. Alison dengan bakat sihir air yang jauh lebih lemah dari ku tidak akan punya peluang. Ah, aku jadi tidak enak hati memikirkan nasib Alison.

    Jika Alison memang akan dikirim ke Norwegia, hal itu pasti akan ditunda. Serikat Sihir Amerika akan sibuk mengurus soal si mammoth yang tiba-tiba muncul di rumah ku terlebih dahulu, paling tidak Alison akan dikirimkan ke akademi sihir lain di tempat terpencil sampai semua misteri ini terkuak.

    Matahari mulai naik dan aku masih bersandar di batang pohon, mendengarkan siulan burung yang terbang dan merasakan tiupan angin pagi. Kini Alison tidak bersama ku, artinya aku bisa terbang ke San Diego tanpa perlu repot-repot memikirkan soal transportasi dan uang. Masalah ku Cuma satu, aku harus terbang dibawah radar Ayah ku.

    “Mathias? Mau apa kau disini?” dahi Paman Billy mengerut melihat ku di depan pintu rumahnya sambil tersenyum selebar yang aku bisa. Tapi, percuma saja. Aku pikir dia akan membalas senyuman ku lalu menepuk bahu ku sambil memekik ‘Mathias!' Senang bertemu dengan mu lagi!’. Ya, aku tahu, itu omong kosong.

     “Bolehkah aku masuk dulu, Paman?”

    Paman Billy semakin memperdalam kerutan di dahinya. Kalau begini dia bisa terlihat lebih tua dari Ayah. Dia menilik wajah ku, mencari sesuatu yang mencurigakan, dia juga sempat memeriksa keseluruhan badan ku berharap menemukan semacam pistol atau pisau?

    Dia menarik pisau lipat yang aku sembunyikan di saku celana jeans sambil melihatnya jijik. Paman Billy menimbang pisau lipat itu sekilas lalu melihat ku penuh tanda tanya dan mengintimidasi. Sebelum aku malah diusir, aku buru-buru berujar, “Itu hanya pisau biasa. Pertahanan diri.”

     “Mau apa kau?” tanya Paman Billy, raut wajahnya semakin serius. Dia menyembunyikan pisau lipat milikku di balik badannya yang sedikit gempal.

    “Tidak bisakah kita bicara di dalam?”

     “Tidak.” Aku mencibir. “Aku kabur dari rumah.”

    Mendengar itu, alis Paman Billy naik sebelah heran. “Kau? Kenapa bisa?”

    “Ingin saja.” Jawab ku seadanya.

    Paman Billy awalnya diam seribu bahasa. Dia malah terus memperhatikan gerak gerik ku curiga seakan aku adalah seorang ******* yang akan meledakkan diri di dalam rumahnya. Yah, aku tidak bisa bilang Paman Billy salah seutuhnya. Ayah memang menghancurkan rumah lamanya. Jadi, wajar dia melakukan ini padaku.

    Masih dengan sorot mata tajam, akhirnya Paman Billy berbalik dan betapa terkejutnya aku kalau dia tidak menutup pintu rumahnnya. “Masuk.”

     Aku menurut.

     Aku berencana membeberkan semuanya pada Paman. Termasuk rencana ku menggali informasi mengenai salah satu komunitas penyihir yang sudah aku cari-cari. Aku duduk di ruang tengah menghadap ke arah televisi yang sedang menampilkan perburuan hewan di daerah afrika. Paman Billy tidak menggubris keberadaan ku, dia berjalan melewati ku seakan aku ini hanya angin. Dia sama sekali tidak bersuara, tidak bertanya, dan tidak memberikan ku perhatiannya.

    “Paman?” aku memulai.

    “Kau boleh tidur disini selama beberapa hari.” Kalimat itu keluar begitu saja dari mulut Paman Billy yang benar-benar membuat ku kebingungan. “Kamar disini penuh, jadi kau ku izinkan tidur di sofa ruang tengah.”

     Tidak masalah.

    Dia pun menghilang dari pandangan ku ketika memutuskan untuk kembali ke kamarnya yang berada di lantai dua. Ini konyol. Dugaan ku benar, Paman Billy tidak akan mengusirku. Aku sudah tahu dari lama kalau Paman Billy dan Ayah memang pernah cek cok luar biasa sepuluh tahun yang lalu. Akibat dari perkelahian saudara ini, Paman Billy memutuskan keluar dari Serikat Sihir Amerika. Menurut Ayah, keputusan untuk keluar dari Serikat adalah keputusan paling bodoh dan itu mencoreng nama keluarga Bancroft. Maka dari itu, Ayah menghancurkan kediaman

Paman Billy di Seattle. Semenjak hari itu, kami tidak pernah memiliki kontak dengan Paman Billy.

     Sudah pukul enam sore. Matahari sudah mulai bersembunyi dibalik gelapnya malam. Waktu benar-benar terasa lambat, khususnya untuk ku. Selama beberapa jam terakhir aku hanya bisa menonton televisi. Padahal aku ingin berdiskusi mengenai banyak hal dengan Paman Billy. Beliau malah sibuk di kamarnya entahlah melakukan apa dan meninggalkan aku sendirian di lantai bawah.

     Suara langkah kaki terdengar membuat tangga kayu berdecit. Senyum ku mengembang. Akhirnya, Paman Billy keluar dari sarangnya. Aku berusaha membuat mimik wajah ku sedatar mungkin sebelum aku bangkit dan berdiri di hadapan Paman Billy.

    “Paman, aku ingin—”

    “Lihat ini.” Paman Billy melemparkan sebuah amplop surat berwarna krem ke arah ku yang dengan sigap aku tangkap. Dia lalu berjalan melewati ku menuju dapur hendak mengambil jus jeruk di kulkas.

    Amplop surat berwarna krem. Tampak familiar bagi ku. Aku membolak-balik amplop itu berusaha mencari nama pengirim. Aku harap ini bukan surat dari Alison yang bilang pada ku kalau dia sudah mendapatkan tiket ke Norwegia.

     Aku mengenyahkan pikiran mengerikan itu dari kepala sambil menepuk dahi ku beberapa kali. Mata ku kembali fokus meneliti amplop itu, tapi hasilnya nihil. Tidak ada nama pengirim surat. Aku membaliknya sekali lagi dan aku baru saja sadar dengan apa yang aku lihat. Di depan surat itu ada tanda cap Akademi Lixorth. Ini adalah cap resmi akademi, tapi mungkin tintanya sudah habis sampai-sampai hanya terlihat samar.

    “Surat dari akademi.” Paman Billy berujar dari dapur setelah menerka kalau aku baru menemukan cap itu. “Untukmu.”

    “Untukku?” aku mengulang ragu-ragu. “Tapi, aku sudah menerima surat tidak lulus ujian dari akademi.”

    “Bukalah.”

    Aku menuruti apa yang dikatakan Paman Billy dan merobek bagian samping amplop krem itu. Benar saja, di dalamnya ada sepucuk surat yang tampak sama dengan surat yang sempat aku terima. Dengan malas, aku mengambil surat itu.

    “Apa katanya?” tanya Paman Billy sedikit tertarik meskipun ekspresinya bosan.

    Kertas surat itu tampak kusam dibandingkan dengan surat terakhir yang dikirim ke rumah ku. Apa pihak akademi main-main dengan ku sekarang? Dan lagi yang mengejutkan, kenapa bisa surat untukku di dapatkan oleh Paman Billy? Bagaimana pihak akademi tahu kalau aku kabur? Kenapa tidak dikirimkan ke rumah?

    Oh, ya.

    Rumah ku, kan hancur.

     Tulisan di surat kusam ini tampak seperti coretan tinta pena yang biasa tapi ditulis dengan indah. Huruf-hurufnya bertautan rapi. Aku membacanya dengan cepat karena aku ingin sandiwara bodoh ini berakhir.

    Mata ku membelalak setelah membaca kalimat terakhir di surat itu. Ini mustahil.

     “Apa katanya?” tanya Paman Billy sekali lagi. Dia menyingkirkan sebotol jus jeruknya dan menatap ku serius.

    Kepala ku tiba-tiba pusing. Entah karena berita yang baru saja aku baca atau memang karena aku belum makan.

    Aku meremas surat itu keras hampir membuatnya mengerut seperti bola kertas. Amarah ku naik seketika.

     “Katanya aku diterima di Akademi Lixorth.”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!