Aku menelan ludah. Sudah kuduga rencana ini akan gagal. Mana mungkin kami yang gagal masuk ujian bisa mengecoh Francis Bancroft, anggota penting Serikat Sihir. Aku mengutuk dalam hati. Tiket pesawat menuju Norwegia sudah terbayang jelas di kepala ku.
Ketika aku hendak menaruh kembali ransel ku, Mathias berlari ke arahku, mencengkram pergelangan tangan ku, dan berlari menjauh dari Ayah yang berada di koridor rumah menuju dapur.
Angin dingin menerpa kulit ku membuat rambut ku berkibar. Kami berdua masih berlari menerjang angin yang datang dari arah sebaliknya, berusaha menghentikan laju kami. Semakin lama, cengkraman tangan Mathias mengeras. Kami semakin didorong mundur oleh angin yang menguat setiap detiknya. Aku bisa merasakan tubuhku mulai naik mengambang, tapi aku masih berusaha mempertahankan pijakan ku.
“Kubilang kembali.” Raung Ayah ku dari koridor. Suaranya membuatku merinding lebih hebat. Peluh ku mulai berjauhan seiringan dengan angin yang terus memerintahkan kami untuk mundur mengahadap langsung di depan muka Ayah.
Mathias melepaskan cengkramannya tanpa aku duga-duga, aku mengutuk dalam hati ketika angin meraung menamparku tanpa ampun membiarkan ku terbang dengan kasar menuju koridor, tempat Ayahku sedang menunggu kami.
Punggungku mendarat di lantai kayu dengan suara yang memekakkan telinga. Angin masih berderu dengan kencang di sekitar ku membuat kepalaku pusing. Telinga ku berdengung dan badan ku serasa patah di semua bagian. Menyebalkan. Meskipun aku tahu Mathias tidak bisa mengalahkan laju sihir angin milik Ayah, setidaknya dia memberi ku aba-aba sehingga aku bisa mempersiapkan diri atau mungkin membalas sihir angin Ayah yang luar biasa ini dengan sihir air ku yang payah. Bukan ide buruk.
“Berhenti main-main, Mathias. Turuti apa kataku.” Ayah ku menggeram. Suaranya semakin jelas di telinga ku. Ini artinya Ayah berdiri tak jauh dari tempatku jatuh. Mungkin di sisinya atau di belakangnya.
“Kau akan membunuhku.” Teriak Mathias mengalahkan suara angin ribut saling beradu di koridor. Samar-samar aku bisa mendengar suara dentingan alat makan di dapur juga suara piring-piring yang pecah menghantam lantai.
“Aku benar-benar akan membunuhmu jika kau lebih memilih untuk kabur.” Balas Ayahku sama-sama dengan suara keras.
Dengungan di telinga ku mulai mereda, perlahan aku bangkit dan menyesuaikan penglihatan ku. Benar saja, Ayah ku berdiri beberapa meter di hadapan ku. Angin yang saling beradu mengaburkan pandangan ku akan keberadaan Mathias di ujung lorong sana. Aku bangkit menatap langsung ke punggung Ayah.
Aku bisa menyerangnya.
“Berhenti, Sayang.” Ibu ku berbisik tepat di telinga yang membuat ku membelalak dan membeku. “Lebih baik kau perhatikan baik-baik bagaimana sihir Ayah mu bekerja.”
Ibu memiliki bakat sihir yang merubah dirinya menjadi tidak terlihat. Percuma saja kalau aku kabur, toh dia bisa saja mengikuti ku di belakang dan menghajarku selagi aku tidak awas.
Aku mengutuk dalam hati. Bagaimana cara ku kabur?
Ibu berdiri satu langkah di depan ku ketika aku berbalik. Matanya bercahaya, mulutnya menyunggingkan senyuman ganjil, lengan kanannya menggapai bahu ku dan menahan ku kalau-kalau aku maju menerjang. Di leher ibu tersemat kalung perak berbentuk lonceng berwarna keemasan. Itu adalah salah satu alat sihir peninggalan Nenek dari keluarga Nolan. Seingatku, kalung itu bisa membuat siapapun yang memakainya mengeluarkan energi sihir dua kali lipat dari biasanya.
Aku diam sejenak merasakan kerasnya cengkraman Ibu di bahu ku. Jika aku bisa merunduk seketika dan membuat Ibu lengah selama beberapa detik, aku mungkin bisa menarik dan mencuri kalung sihir itu.
Ternyata berhasil.
Ibu ku setengah berteriak ketika aku berhasil menarik kalung sihir itu dan langsung menerjang ku tanpa basa basi lagi. Tapi, kekuatan sihir dalam kalung itu berhasil masuk ke dalam tubuh ku kala aku merasakan energy itu mengalir begitu saja. Ibu sudah tidak ada di hadapan ku, artinya dia telah menggunakan bakat sihirnya yang merepotkan.
Aku harus cepat. Energi itu terus mengalir dalam peredaran darah ku, lalu detik selanjutnya aku berteriak kencang.
BRUK!
Sesuatu sebesar mammoth muncul di koridor rumah menghancurkan dinding dan atap rumah seketika itu juga yang tidak bisa menampung ukuran dan berat mahluk itu. Auman terdengar mirip suara harimau marah tapi lebih memekakkan telinga.
“Apa-apaan?!” itu Ayah ku yang memaki si mahluk entah dia berada di mana.
Aku membuka mata. Sepertinya aku sempat tidak sadarkan diri selama beberapa detik ketika terlempar ke bawah tangga rumah, karena ketika aku bangun kayu-kayu berserakan mengubur diriku. Kepala ku kembali pusing,
lebih tepatnya auman si mahluk membuatku pening. Tubuhku mulai terasa linu ketika aku berusaha menggerakan tungkai.
Langit malam tampak indah diatas sana, tidak peduli dengan apa yang terjadi di bawah sini. Siluet seseorang terbang di langit sana menarik penglihatan ku. Itu Ayah. Dia bisa mengontrol sihir anginnya sehingga dirinya pun bisa terbang.
Dan dari sini semuanya menjadi lebih gila lagi. Sihir angin luar biasa milik Ayah mulai menyerang si mahluk terus menerus. Belalai mammoth itu menggila menghalau apapun di sekitar yang menyebabkan rumah ku runtuh hanya dalam dua kali ayunan keras.
Ayah terbang dengan lincah mencari titik buta si mammoth lalu menyerangnya dengan angin kencang yang bisa merobek kulit tebalnya. Ayah melesat ke samping, berguling di bawah, terbang ke belakang kepala sambil terus menerus mengirimkan pusaran angin yang gila.
Kemudian tanah bergetar yang membuat ku panic. Aku masih tertimbun reruntuhan dan aku jelas tidak mau jadi pijakan mammoth aneh ini. Aku merasakan sesuatu bergerak di bawahku maju dibawah reruntuhan. Aku merasakannya. Apapun hal itu, dia meliuk di bawah puing-puing bangunan seperti ular. Aku merinding seketika. Aku
benci ular.
Tapi, aku tidak bisa lari.
Tanah terus bergetar, tapi itu tidak menghentikan pertarungan sengit antara Ayah dan si mammoth. Ular itu tiba-tiba mencuat naik dari balik reruntuhan seakan dia berdiri berpijak. Aku menyipitkan mataku memperhatikan siluet itu.
Lalu, ular lainnya bangkit berdiri tegak kaku. Di belakang si mammoth, ular lain pun naik. Tapi kali ini berbeda. Ular itu merangkak naik ke badan mammoth, melingkar di perutnya terus menerus menyelimuti, aku bahkan tidak tahu dimana ekor ular itu. Kedua ular yang telah berdiri tadi ikut menerjang dan mengikat kaki juga leher si mammoth.
Si mammoth mengaum keras, suaranya melengking kesakitan. Aku buru-buru menutup telinga ku kala aku mendengar dengungan menyakitkan.
Jeda.
“Alison?” suara halus Ibu membuat kewarasan ku kembali. Aku membuka mata perlahan takut kalau si mammoth masih ada disana tapi aku hanya melihat Ibu duduk di sisiku membantu menyingkirkan reruntuhan dari badan dan kaki ku.
Hening. Tidak ada auman mammoth yang kesakitan, tidak ada deru angin yang menyebalkan. Suasana
berubah senyap seketika.
Mentari mulai menampakan dirinya di ufuk timur menggantikan sinar bulan. Ayah terbang mendekati ku dan Ibu, baju tidurnya compang-camping, rambut hitamnya berantakan, begitu pula dengan ekspresi yang ditunjukkan Ayah.
Ayah mendarat di depan ku ketika Ibu membantu ku berdiri. Kaki ku mati rasa, tapi masih berfungsi.
“Ular itu yang mengalahkannya?” tanpa bisa aku tahan, pertanyaan itu keluar dari mulutku. Ayah kini melihatku waspada. Aku menambahkan. “Aku melihatnya sendiri.”
“Itu bukan ular.” Sahut Ibu ku sedikit bergetar. Kalau dipikir-pikir, aku jarang melihat ibu seperti ini.
Aku mengerut. Lalu, apa?
“Benar, itu bukan ular.” Sambung Ayah. “Itu akar pepohonan. Seseorang dengan sihir alam mengalahkannya.”
“Hah? Sihir alam?” aku pernah mendengar hal ini sewaktu aku masih kecil ketika Bibi Jane menceritakannya padaku, Mathias, dan Yara. Tapi, aku tidak pernah mendengar seorang pun bisa menguasai sihir alam. Butuh kekuatan sihir yang besar dan bakat alami yang bisa menggunakannya.
Tunggu.
Mathias.
Aku seharusnya kabur malam ini dengannya.
Oh,bagus.
Kutatap Ayah dan Ibu bergantian. Sepertinya rencana kabur kami tidak bisa terlaksana. Kami kehilangan rumah malam ini dan kedua orang tua ku mengepungku. Hanya tinggal beberapa saat sampai Mathias muncul dari balik reruntuhan dan, ya, kami akan dikirim ke Norwegia.
“Em, dimana Mathias?” tanya ku canggung takut kalau-kalau mereka mengingat saat terakhir yang mereka lakukan sebelum serangan mammoth itu adalah menghentikan rencana minggat ku dan Mathias.
Ayah menatap ku sejenak dengan sorot mata yang tidak biasanya aku lihat. Dia seperti separuh murka, kesal, tapi juga lelah dan pasrah. “Mathias hilang.”
*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 19 Episodes
Comments