“Kau yakin Paman Billy bisa membantu?” tanya Alison dari kursi belajar, melihatku cemas. Sekarang pukul 2 pagi dan kami sama-sama tidak bisa tidur. Alison bahkan sudah menghabiskan satu jam di kamar ku, terus menerus bertanya soal rencana ku kabur. Aku lebih menyukai fleksibilitas sebenarnya, lagipula semua bisa terjadi di
perjalanan nanti. Tapi, saudara ku itu tidak bisa diyakinkan hanya dengan jawaban seadanya.
Aku berbaring menatap langit kamar dan mengangguk meskipun Alison tidak bisa melihat gerakan ku. “Dia benci Serikat Sihir, dia juga benci bagaimana Ayah dan Ibu mendidik kita, jadi jawabannya, ya, dia akan membantu.”
“Kita tidak pernah bertemu dengannya selama sepuluh tahun.”
Itu memang benar. “Dia tetap akan menerima kita.”
“Dia pasti membenci kita, Mathias. Ayah membakar rumah lamanya di Seattle.”
“Kau tahu istilah musuh dari musuhku adalah teman ku?” kata ku pada akhirnya. “Dia akan membantu. Berhenti khawatir.”
Entah karena ucapan ku atau apa, tapi Alison akhirnya tutup mulut. Dia menekuk kedua kaki dan memeluknya. Aku melirik saudaraku, tanpa perlu bertanya aku tahu kalau dia pasti sedang memikirkan seribu satu kemungkinan yang akan terjadi di perjalanan menuju San Diego kelak.
Aku mengabaikannya. Lebih baik tidak berpikir macam-macam jika tidak ingin rencana mu tidak berjalan. Terkadang, terlalu banyak berpikir membuat mu takut akan hal yang akan terjadi padahal tidak terjadi.
Setelah berdiam diri dengan pikiran masing-masing, Alison kembali membuka mulut. Suaranya serak, “Kenapa kau gagal ujian?”
Aku mendelik mendengar itu. Meskipun kami berdua gagal, tapi sampai hari ini pun kami tidak berani untuk bertanya soal hal ini. Aku tidak tahu kenapa Alison memilih topik ini, padahal aku lebih senang jika dia banyak bicara untuk mematahkan rencana-rencana aneh yang aku buat.
“Kau bisa memburu kelinci-kelinci itu dengan mudah. Aku tahu sihir mu kuat.” Ujar Alison yang membuat ku merenung. Sekarang, Alison mengalihkan seluruh pandangannya pada ku. “Kau sengaja melakukannya?”
“Dan kenapa kau tidak bisa mengalahkan Lenna Roberts? Kau bisa mempermalukan gadis itu ketika masih berumur sepuluh tahun.” Aku membalas perkataan Alison, hampir sama dengan apa yang dia lontarkan kepadaku.
Ujian masuk Akademi Sihir Lixorth terdiri dari dua bagian. Setelah ujian tulis dasar mengenai jenis-jenis sihir beberapa teori yang membosankan, ujian praktik dilakukan. Terdapat tiga sesi dalam ujian praktik, yaitu menembak, memburu, dan bertarung. Aku memang gagal di sesi memburu kelinci dan Alison gagal di ujian pamungkas. Disinilah kami sekarang, bersiap menerima hukuman dari kedua orang tua kami.
Alison tampak marah ketika aku menyinggung soal perkelahian kecil dirinya dengan Lenna. Dia menggeram, “Kau tidak perlu membahas masalah itu."
“Tapi, itu kenyataan. Kau mengguyurnya dengan sihir air mu sampai dia lari terbirit-birit.”
Saudaraku memekik pelan, “Itu karena dia merobek buku novel kesukaan ku!”
“Lalu, apa bedanya dengan sekarang? Kau jelas
tahu kalau ini adalah ujian masuk akademi.”
Alison semakin jengkel mendengar perkataanku. Dia melempar kotak jam tangan ku dari meja belajar berharap bisa mendarat di dahi ku. Tapi, gagal. Kotak itu membentur dinding lalu jatuh ke kasur. “Dua kelinci? Yang benar saja, Yara saja bisa menangkap sepuluh!”
Aku terkekeh pelan mendengar debat payah Alison yang kini mulai terpancing oleh ejekan ku. Yara Jordyn adalah sepupu kami dan semua keluarga besar ku pun tahu betapa bodohnya dia. Dalam peringkat kepintaran di keluarga besar ku, Yara selalu berada di peringkat paling akhir. Bahkan Bibi Jane sudah pasrah kalau Yara tidak lulus ujian masuk dan harus pergi ke Norwegia. Sekarang, Alison membandingkan aku dengan Yara? Aku, sih, tidak masalah. Aku tidak terlalu peduli soal menang dan kalah.
“Kenapa kau malah mematung waktu ujian berburu dimulai?” lanjut Alison belum mau menyerah. “Dan lagi, kau hanya mendapatkan dua kelinci kurus kerontang. Memalukan.”
Aku bangkit lalu duduk menghadap Alison. Alis ku naik, “Sudah selesai?”
“Belum.”
Aku melirik jam dinding, memilih untuk mengabaikan debat kecil ini. “Ayo, waktunya pergi.”
“Tunggu, kau belum menjawab pertanyaan ku.”
Aku mengambil jaket abu-abu dan memakainya, “Kau sudah selesai berkemas, kan?”
“Mathias,”
“Kalau kau tidak mendengarkan ku, aku benar-benar akan meninggalkan mu.”
Akhirnya, Alison mendesah kesal. Dia mungkin akan marah pada ku selama perjalanan nanti, tapi aku tidak peduli. Kita berdua harus lepas dari rumah ini terlebih dahulu. Alison mencibir ketika dia melewati ku dan berjalan ke kamarnya.
Setelah beberapa menit aku menunggu, Alison keluar dari kamarnya menggendong tas ransel yang ukurannya dua kali lipat dari ransel ku. Aku tidak mengerti kenapa dia berpikir harus memasukan semua hal. Aku hanya mengangguk pelan dan mendahului dirinya untuk turun.
"Kau tahu cara melepaskan diri dari mantra pertahanan rumah, kan?” bisik Alison ketika kami sampai di dapur.
Aku mengangguk. Ayah memberikan mantra pertahanan di rumah kami, sebagai upaya pencegahan jikalau ada yang menyerang. Terutama anggota Serikat. Tidak sedikit anggota yang dikucilkan Serikat mendendam pada Ayah atau Ibu yang berakibat dengan pertarungan. Tapi, sebenarnya mantra pertahanan rumah tidak begitu sulit untuk dipecahkan. Setidaknya, dengan sihir ku.
“Anak-anak?” suara berat menggema di lorong. Aku otomatis berhenti, begitu pula dengan Alison yang tengah memasukkan beberapa makanan. Kami mematung. Jantung ku berdegup kencang dan aku susah payah menahan napas ku.
Langkah kaki mendekat. Tanpa menengok pun aku tahu siapa yang datang. Aku melirik Alison. Inilah saatnya. Sepertinya, Alison juga mengerti dengan apa yang baru saja terlintas di pikiran ku. Dia mengangguk lalu dengan sangat berhati-hati dia menutup resleting ranselnya.
“Kalau kabur adalah rencana hebat kalian, hentikan sekarang juga.” Bungkam Ayah. Jantung ku hampir jatuh mendengar ancaman itu. Ini adalah kali pertama Ayah berbicara pada kami setelah menerima surat putusan Akademi Lixorth.
“Berhenti atau aku harus memaksa kalian.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 19 Episodes
Comments