Menahan lapar hingga mentari terbenam, pakaian tercoret darah sedari malam tak lagi Nina perdulikan. Bertahan hidup dengan mendapatkan uang untuk makan sudah membuatnya sangat bersyukur saat ini. Sedih jika di bayangkan dengan kehidupannya yang di desa sebelumnya begitu sangat berkecukupan tentunya. Tapi, semua materi yang ia miliki kini tak lagi ada. Bahkan harga dirinya di desa tersebut benar-benar tak ada lagi. Meski Nina sangat sadar jika itu semua bukanlah salahnya. Dirinya tetaplah wanita terhormat yang sangat berbakti pada kedua orangtuanya.
"Sayang, sabar yah? Kita akan makan sebentar lagi. Kita cari makan yang murah-murah saja biar besok kita bisa makan lagi." Nina berbicara sembari mengusap perut yang rata itu. Di usia kehamilan muda ini rasanya ia sangat mudah lelah. Namun, semua demi kebutuhan hidup ia dan sang buah hati apa pun harus bisa ia lakukan.
Nanar kedua mata wanita itu saat menatap jalanan. Ia akan tidur untuk pertama kalinya di tempat yang ia sendiri masih mencarinya. Nina berjalan menyusuri trotoar jalanan melihat kiri kanan mencari penjual makan kaki lima. Ingatannya kembali di desa, di saat menjelang makan malam seperti ini makan semua pelayan akan dengan sibuknya menyiapkan makan. Di sini Nina bahkan harus mencari makan sendiri dengan tubuh dekilnya.
Sesekali tangannya memegang kepala untuk menahan pusing yang ia rasakan. Seharian tak ada mengisi perut membuatnya mulai kurang sehat.
"Ah syukurlah ada penjual itu. Harganya cuman delapan ribu. Tidak apa-apa hanya telur lauknya yang penting bisa makan dulu." Ia berbinar melihat penjual yang sangat ramai di kerumuni para anak jalanan juga.
"Pak, saya mau satu bungkus yah, Pak." Nina meminta pada penjual namun saat dirinya tengah menunggu nasi di bungkus, seorang anak kecil berdiri di sampingnya.
"Kak, lapar..." rengeknya dengan wajah yang begitu pucat.
Nina melihat anak kecil itu memegang perutnya. Saat ini bahkan keadaannya sama ia juga tengah menahan perut yang sangat lapar.
"Ini, Neng." sang penjual pun memberikannya pada Nina.
"Ini buat kamu. Makan yah, biar aku beli lagi." Nina mengembangkan senyum meski di perutnya saat ini sangat kosong dan minta di isi.
Anak kecil itu sangat bersyukur, ia berulang kali mengucapkan terimakasihnya pada Nina hingga akhirnya ia pun pergi dengan berlari ingin memakan nasi dari Nina. Di sini Nina pun terpaksa harus memesan kembali nasi dengan tanpa lauk. Sebab uang yang ia miliki tak cukup lagi.
"Wah, kebetulan lauknya memang habis neng. Sisa nasi dan sambel saja ini." Nina tak mempermasalahkan hal itu.
Ia tetap membayar nasi bungkus tanpa lauk dan segera mencari tempat untuk makan. Sisa air minum saja yang harus ia pikirkan untuk menenggak air usai makan nasi.
"Ya tuhan...terimakasih aku masih bisa makan hari ini." Ia benar-benar tak mengeluh kala menikmati makan dengan sambel saja. Sekali pun nasi yang ia makan begitu terasa sangat tak nyaman di kunyah.
Tak ia tahu jika di desa kini sang ibu terus mengurung diri di kamar tanpa mau makan. Wanita itu benar-benar tak habis pikir dengan sang suami dan keluarganya yang tega melenyapkan nyawa san anak. Nina begitu ia sayangi apa pun yang terjadi.
"Riana, cepat makan. Jika tidak, kau apakah ingin menyusul wanita itu?" teriak Faris geram pada sang istri.
Riana pun bangkit dari pembaringan dan menajamkan pandangan matanya pada sang suami. "Dia adalah anakmu, Faris. Nina adalah anakmu darah dagingmu. Dimana hatimu sebagai ayah? Dimana hatimu? Kau seharusnya yang menjadi nomor satu melindungi anakmu. Kau pembunuh!" Riana berteriak marah dan memukul dada sang suami. Ia pun bergegas keluar kamar memilih untuk menangis di samping rumah. Di sana ia sering duduk bersama Nina dengan duduk di ayunan besi.
"Heh dasar wanita membuat sulit saja." ujar Faris dengan tidak sadarnya telah menyakiti sang istri.
Di kota ini Nina justru menyuapkan nasi pertama pada mulutnya. Ia membuka mulut dengan nasi yang cukup banyak ia genggam.
"Buang makanan itu!" Suara seseorang tiba-tiba menghentikan pergerakan tangan Nina. Ia menengadah melihat siapa sosok yang tega memintanya untuk membuang nasi yang susah payah ia perjuangkan saat ini.
Nina menarik bungkus nasi itu ke samping tubuhnya seolah melindungi makanan yang begitu berharga untuknya. Ia menggeleng tak ingin menuruti perintah seseorang yang sangat asing baginya.
"Tidak. Ini makananku"." jawabnya membantah dengan takut-takut.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments
Wirda Wati
lanjut
2023-04-15
0
🇬 🇪 🇧 🇾
mas tentaraaa
2023-03-13
0
Mardawiah
siapa ya?
2023-03-12
0