Kami tiba di rumah. Aku membantu Ayu membawa barang belanjaan yang cukup banyak, lalu meletakkan di dapur.
Aku mencuci tangan di kamar mandi belakang, lalu berjalan ke kamar atas. Aku meninggalkan Ayu yang sibuk menata barang belanjaan ke dalam kulkas.
aku ingin menemui Namira, memastikan keadaan nya, karena cukup lama juga aku menemani Ayu berbelanja, hampir dua jam lamanya.
Tidak aku lihat keberadaan Namira di sofa ruang keluarga, sepertinya ia telah pindah ke kamar.
Setibanya aku di dalam kamar, aku di buat begitu kaget, aku melihat Namira ... Namira telah berbaring di atas lantai. Ah . . . Tidak, Namira tidak berbaring, sepertinya istri ku tak sadarkan diri, tubuh nya terkulai lemas dengan kedua mata tertutup.
Dengan cepat aku menggendong tubuh ringkih istriku, lalu meletakkan di atas kasur, aku mengecek detak jantung istri ku, ah . . . Syukurlah, istri ku masih hidup. Aku lalu berteriak memanggil Ayu, aku harus segera membawa Namira ke rumah sakit terdekat, Namira harus mendapatkan pertolongan pertama.
Dengan langkah tergopoh-gopoh Ayu masuk ke dalam kamar, "Ada apa Pak?'' tanyanya, lalu ia berkata lagi dengan wajah terlihat kaget, ''Bu Namira, Ibu kenapa Pak?'' Ayu menghampiri kami.
''Kamu bantu aku Ayu, kita harus segera membawa Namira ke rumah sakit, ayo ... kamu duduk di kursi belakang, bantu pegangin tubuh Bu Namira,'' jelas ku. Dan Ayu mengangguk cepat.
Dengan langkah kaki tergesa-gesa aku menggendong Namira menuju mobil. Ayu masih setia mengikuti dari belakang.
Aku harus membawa istri ku ke rumah sakit dengan cepat, sebelum semuanya terlambat. Ya ampun, kenapa jadi begini? Kenapa Namira harus pura-pura kuat padahal kondisi kesehatan nya sudah sangat memprihatikan.
***
Setelah melewati perjalanan yang lumayan memakan waktu, akhir nya kami tiba di tempat tujuan.
Aku menggendong tubuh Namira keluar dari mobil, lalu berjalan memasuki rumah sakit. Melihat kedatangan ku, petugas rumah sakit bergerak cepat, mereka membawa brankar, lalu aku meletakkan tubuh Namira di atas brankar tersebut.
Dengan langkah kaki lebar kami mendorong brankar melewati koridor rumah sakit, menuju sebuah ruangan.
Begitu tiba di dalam sebuah ruangan, Dokter segera menangani istri ku, sedangkan aku dan Ayu di minta menunggu di kursi tunggu.
Aku menunggu dengan gelisah, aku duduk, berdiri, lalu berjalan mondar-mandir di depan ruangan. Rasanya tak sabar lagi ingin mengetahui kondisi Namira.
''Pak, lebih baik Bapak duduk saja dulu. Dokter pasti akan melakukan tindakan terbaik, dan aku yakin, Bu Namira pasti sanggup bertahan, karena dia adalah wanita yang kuat,'' ucap Ayu lembut.
Lalu aku duduk di samping Ayu.
''Kita sama-sama berdoa saja ya Pak,'' kata nya lagi. Aku mengangguk kecil. Aku bersyukur, setidaknya sekarang aku punya teman bicara, karena biasanya aku selalu sendiri menunggu Namira di rumah sakit.
Aku masih punya keluarga, kedua orangtuaku masih hidup dan dalam keadaan sehat. Tapi mereka sama sekali tidak mau membantu aku dalam menjaga dan merawat Namira.
Kedua orang tua ku tak setuju dengan pernikahan kami, mereka menganggap kalau Namira sama sekali tidak sepadan dengan aku. Apalagi di usia pernikahan kami yang ke enam tahun, Namira masih tak kunjung hamil, membuat kedua orang tua ku semakin tak menyukai Namira. Dan di tambah lagi kondisi tubuh Namira yang sering sakit-sakitan, maka semakin bencilah keluarga ku terhadap Namira. Mereka menganggap Namira adalah istri yang tak becus dan hanya menjadi beban untukku.
Tidak lama setelah itu Dokter yang menangani Namira keluar dari ruangan, lalu ia meminta agar aku mengikutinya ke ruangannya. Sedangkan Ayu sudah di perbolehkan masuk ke dalam ruangan, melihat keadaan Namira.
Setibanya aku di dalam ruangan Dokter, Dokter itu menjelaskan dengan begitu detail mengenai penyakit yang menggerogoti tubuh istri ku.
Pria yang memakai jas bewarna putih itu mengatakan kalau penyakit yang di derita istriku sudah sangat parah. Akibat dari lambung kronis yang tak kunjung membaik, kini penyakit yang ada di tubuh Namira sudah menyerang organ tubuh lain. Seperti keluhannya yang sering merasakan rasa panas di dada dan rasa sakit di kerongkongan. Namira juga kadang-kadang suka sesak nafas, sepertinya paru-paru Namira juga sudah bermasalah. Begitu jelas Dokter.
Mendengar itu, tubuh ku terasa lemas. Kasihan istri ku harus menanggung penyakit yang parah.
***
Sudah hampir lima hari lamanya Namira di rawat di rumah sakit. Tapi tak ada kemajuan terkait kondisi kesehatan nya.
Selama itu pula, aku dan Ayu selalu bergantian menjaga Namira. Siang hari saat aku sedang bekerja, maka Ayu yang akan menemani Namira dan saat malam hari, gantian aku lah yang akan menemani Namira di rumah sakit.
Sore itu, seperti biasa, setelah pulang dari kantor, aku menjemput Ayu di rumah sakit.
Setibanya kami di rumah, aku langsung saja membersihkan diriku di dalam kamar mandi, setelah mandi aku akan pergi lagi ke rumah sakit untuk menjaga Namira. Sementara Ayu akan menjaga rumah.
Dua orang security sudah aku pekerjakan untuk menjaga gerbang, karena aku merasa khawatir juga kalau harus meninggalkan Ayu sendiri di dalam rumah yang cukup besar.
Malam hari, saat aku akan segera berangkat ke rumah sakit, tiba-tiba saja hujan turun dengan begitu derasnya di sertai petir dan angin kencang.
Aku jadi urung berangkat, karena saat melihat di grup wa, grup warga kompleks perumahan tempat aku tinggal, kata salah satu anggota grup, di dekat jalan di dalam kompleks ada pohon besar tumbang dan karena pohon tumbang itu membuat jalanan tak bisa di lewati untuk sementara waktu.
Akhir nya aku duduk di sofa ruang keluarga, mengistirahatkan diriku sejenak, menyandarkan punggungku yang terasa pegal karena akhir akhir ini aku jarang sekali tidur dan beristirahat. Semua tenaga ku seakan terkuras karena harus bolak-balik dari rumah, ke kantor dan ke rumah sakit.
Aku berseru memanggil Ayu, meminta agar Ayu membuatkan segelas teh hangat untukku.
Tidak butuh waktu lama Ayu datang menghadap, dan aku mengatakan kepadanya apa yang aku inginkan.
Ayu berjalan ke belakang, lalu tidak lama setelah itu ia datang lagi dengan membawa segelas teh hangat, tidak hanya itu, Ayu juga menyuguhkan gorengan pisang hangat di meja.
''Lo, kapan kamu bikin gorengan ini Ayu?'' tanya ku heran.
''Barusan saja Pak. Aku tiba-tiba pengen makan gorengan, dan kebetulan ada stok pisang mateng di dapur, langsung saja deh aku eksekusi,'' jelasnya, dan aku tersenyum karena nya.
''Ya udah, kalau begitu kamu duduk di sini, biar kita makan gorengan nya sama-sama,'' pinta ku, aku menepuk-nepuk sofa kosong tepat di sebelah ku.
''Tapi, Pak, em . . . Aku makan di belakang saja,''
''Di sini saja, Ayu. Temani aku,'' aku sedikit memaksa. Entahlah, aku tiba-tiba punya keberanian meminta Ayu menemani aku.
Akhir nya Ayu bersedia juga menemani aku. Saat dia sudah duduk di samping ku, bisa aku cium aroma farpum nya yang begitu menenangkan.
Semakin hari Ayu terlihat lebih cantik, dan terkadang aku suka gugup kalau lagi berada di dekatnya. Di rumah sakit pun, aku perhatikan banyak petugas rumah sakit pria yang terang-terangan menggodanya, bahkan ada juga yang meminta nomer ponsel nya, tetapi Ayu tak menanggapi mereka. Ayu hanya berbicara seadanya saja, tanpa ingin dirinya di kenal lebih oleh pria asing. Dan saat mengetahui itu, aku merasa begitu kagum kepadanya.
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments