Beberapa hari kemudian, aku pun sudah diperbolehkan pulang oleh pihak rumah sakit. Dengan dijemput oleh suami serta keluarga kami, aku pun pulang ke rumah dengan membawa bayi mungil ini.
Sepanjang jalan, tak kudengar suara Mas Amir yang ikut nimbrung ketika kami membicarakan anak kedua kami. Padahal ibu mertuaku sangat antusias sekali meskipun cucu kedua dari Mas Amir adalah laki-laki lagi.
"Zaki, gimana? Kamu seneng dong punya adek lagi," ucap ibu mertuaku yang sedang memangku Yoga yang tengah tertidur pulas.
"Suka, Nek, Zaki mau main bola sama dek Yoga nanti."
Ucapan polos Zaki membuat semuanya tersenyum. Dan lagi-lagi Mas Amir hanya diam saja.
"Sifa, mulai besok Mama akan kirim asisten rumah tangga untuk kalian, ya. Kamu kan baru lahiran, kasihan dong kalau nggak ada yang nanti. Sedangkan Amir juga sedang sibuk sama pekerjaannya," ucap ibu mertuaku. Beliau memanglah wanita yang sangat baik hati. Tak pernah pilih kasih terhadap menantunya. Beliau memperlakukan menantunya secara adil. Makanya di keluarga kami tidak pernah ada pertengkaran ataupun rasa iri yang ditimbulkan oleh perlakuan yang berbeda.
Aku merasa sangat bersyukur karena memiliki ibu mertua seperti ibu Mas Amir ini. Namanya Indah, seindah wajah dan akhlaknya.
"Mama nggak perlu repot-repot, Ma. Aku masih bisa kok ngelakuin semuanya sendiri," ucapku dengan senyuman kecil. Segan rasanya menolak permintaan ibu mertuaku yang super baik ini.
"Jangan dong, Sifa. Kamu itu baru melahirkan. Nggak papalah ada yang bantu-bantu kerjaan rumah. Kasian entar kamu nggak bisa istirahat." Mama mengusap punggungku dengan lembut. Seperti usapan seorang ibu pada anak kandungnya.
"Iya, Ma, makasih, ya," ucapku sambil mengangguk. Aku memang tidak akan pernah bisa menang jika berdebat dengan Mama Indah.
Kembali ku lirik Mas Amir yang masih fokus menyetir dengan wajah yang masam. Mas, mengapa kamu menyalahkan takdir Allah? Anak yang aku lahirkan ini adalah ciptaanNYA, mengapa kamu malah seakan kecewa dengan ketentuanNYA? Aku hanya bisa menangis dalam hati. Tak mungkin kutunjukkan rasa sedihku di depan keluarga besarku seperti ini. Sama saja membongkar aib sendiri.
Sesampainya di rumah, kami pun mengobrol sebentar sebelum Akhirnya mereka berpamitan pulang karena hari sudah semakin sore.
Aku sedang berada di dalam kamar bersama Zaki dan bayiku. Zaki terlihat sangat bahagia dengan kelahiran adiknya yang juga berjenis kelamin laki-laki. Impiannya memang memiliki adik laki-laki yang akan selalu menemaninya bermain bola. Itulah pola pikir anak-anak yang masih polos. Meski baru kelas satu SD, namun Zaki memiliki sifat yang sedikit lebih dewasa dari umurnya. Makanya aku merasa sangat bangga memiliki anak sepertinya.
"Mas, sini, dong, lihat anak kita," ucapku ketika Mas Amir masuk ke dalam kamar dan meletakkan tas bayiku.
"Nggak!" ucapnya ketus. Bahkan tak mau menoleh ke arah kami.
"Ayah, ayo kita main sama dedek Yoga," ujar Zaki yang mencoba menggapai tangan ayahnya dan menariknya agar mendekat dengan kami.
Dengan langkah gontai dan wajah yang lesu, Mas Amir pun mendatangi kami dan melihat putranya. Masih tergambar jelas raut kekecewaan di wajahnya. Berkali-kali dia menghembuskan nafas berat, seakan tak rela dengan takdir yang telah diberikan Allah.
"Ayah, lihat, adek, Yah. Wajahnya mirip Mama, ya," ucap Zaki mengulang kembali kalimatnya.
"Iya, Nak, mirip." Hanya itu yang diucapkan Mas Amir pada kami. Dengan senyuman yang sepertinya dipaksakan. Di pun pergi tanpa mengatakan sepatah kata pun lagi pada kami. Ya, dia memang kecewa dengan kelahiran anak kedua kami ini. Astaghfirullah, semoga kamu sadar dengan keegoisanmu, Mas.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
renita gunawan
amir,sadarlah.yoga itu adalah anak kandungmu.yang bibitnya berasal dari dirimu sendiri
2023-03-14
0
Ayas Waty
kamu tipe orang2 yang kurang bersyukur Amir...
2023-03-11
1