Setelah Yoga tertidur, aku pun kembali memasukkannya ke dalam box bayi. Dia terlihat sangat nyenyak sekali setelah aku susui. Anak laki-laki katanya memang mengusunya lebih banyak dibanding anak perempuan. Entalah, tapi aku tak pernah merasa keberatan jika menyusui Yoga dalam jumlah banyak. Malah aku senang karena anakku memiliki nutrisi yang cukup untuk tubuhnya.
Ceklekkk! Ku lihat pintu terbuka dan memperlihatkan Mas Amir yang mengambil kunci mobil.
"Mau kemana, Mas?" tanyaku. Belakangan ini dia memang sering keluar jika pulang sore. Entah mengapa rumah seperti tempat yang tidak betah dia tinggali.
"Keluar," jawabnya ketus.
"Keluar kemana, Mas?"
"Nongkrong sama temen-temenku," ucapnya dengan tatapan sedikit kesal karena merasa sedang diinterogasi.
"Di rumah aja kenapa, Mas. Temenin aku, mumpung Yoga udah tidur," ujarku mencoba menghampirinya. Ku raih tangannya dan menatapnya dengan senyuman hangat. Berharap dia mau mengurungkan niatnya untuk pergi ke tongkrongan bersama teman-temannya.
Bukan tanpa alasan. Tapi aku tahu seperti apa teman-teman Mas Amir. Rata-rata dari mereka suka sekali bermain api dari para istri mereka. Semoga saja Mas Amir tidak ikut-ikutan seperti mereka.
"Nggak lah, bosen aku."
"Bosen kenapa, Mas? Kan kita udah punya dua anak. Kamu bisa ajak main Zaki, kan?"
"Nggak lah, nggak seru! Aku tuh pengennya main sama anak perempuan. Males banget sama anak laki-laki. Nggak ada serunya!"
Ah, lagi-lagi dia membandingkan anak laki-laki dengan perempuan. Ada apa dengan gender itu? Mereka sama-sama ciptaan Allah." Aku mengelus dada, mencoba bersabar dengan sikap Mas Amir yang semakin berubah menjadi sosok yang egois.
"Tapi, Mas, kenapa kok kamu sepertinya nggak pernah terima dengan apa yang sudah ditakdirkan oleh Allah? Mereka ini adalah karunia Allah yang harusnya kita syukuri. Lagipula, aku kan masih bisa hamil lagi dan memberimu anak. Syukur-syukur kalau dikasih anak perempuan." Aku mencoba meyakinkan Mas Amir. Setidaknya mungkin dengan cara ini sikapnya akan berubah seperti dulu. Tak apa jika aku harus hamil lagi demi melahirkan anak perempuan untuknya.
"Masih lama! Anak kamu aja baru lahir, mau sampai kapan aku menunggu lagi?! Udahlah, ngomong sama kamu bikin aku makin bete. Aku pergi dulu! Kunci aja pintunya, aku akan pulang malam bawa kunci cadangan!"
Mas Amir pun berlalu pergi dengan mobilnya. Aku hanya bisa beristighfar dalam hati. Mencoba bersabar menghadapi sikap Mas Amir yang kian berubah. Mungkin saja jadi butuh waktu untuk menerima keadaan ini.
Aku yang sudah dilanda rasa lelah pun gegas mengunci pintu rumah dan tidur. Sebentar lagi, aku akan kembali bekerja. Aku hanya mengambil cuti selama dua bulan. Jadi, mungkin aku akan membutuhkan bantuan babysitter untuk menjaga anakku. Ah, tidak, tidak mungkin ibu mertuaku menyetujui aku menggunakan jasa babysitter.
Seperti saat bayinya Zaki, ibu mertuaku memilih untuk mengasuhnya. Aku dan Mas Amir hanya cukup mengantarnya sampai ke rumah mama dan kembali menjemputnya setelah pulang bekerja.
Biasanya pun dialah yang menjemput Zaki setiap pulang sekolah dan mengajaknya ke rumah sampai kami pulang bekerja.
Sebenarnya aku ingin resign saja dan fokus mengasuh kedua anakku. Tapi, sayang rasanya jika aku melepaskan pekerjaan tetap yang menjamin sampai ke masa tuaku. Apalagi gajiku lumayan banyak hingga kami bisa hidup enak seperti ini. Gaji Mas Amir yang setiap bulan diberikan padaku, ditambah gajiku juga. Kami bisa hidup nyaman dan menabung untuk pendidikan anak-anak kami kelak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
renita gunawan
jangan-jangan amir ngikutin teman-temannya main perempuan
2023-03-14
1
Ayas Waty
awas saja klo mas Amir macam macam diluar
2023-03-11
0