Beberapa hari kemudian.
"Aduh, sakit, Mas!! Cepatlah, aku udah nggak kuat!" Aku mencengkram tangannya yang masih mengemudi dengan kuat.
"Sayang, jangan cakar tangan Mas. Mas lagi nyetir. Kamu tahan, ya, Sayang, sebentar lagi kita akan sampai ke rumah sakit." Mas Amir yang tampak sangat panik pun segera mempercepat laju mobil.
Aku tidak menyangka bahwa kelahiran anak kami secepat ini. Padahal, kata dokter HPLnya sekitar satu minggu lagi. Untung saja Mas Amir bisa dihubungi dan langsung pulang untuk membawaku ke rumah sakit.
"Cepat dong, Mas! Aku udah nggak tahan!" Aku semakin berteriak sambil menahan sakit di perutku.
Mas Amir terpaksa menahan cengkraman tanganku yang sudah menyakiti tangannya. Dia membiarkan aku melampiaskan terasa sakit ini dengan menyakitinya.
Hingga beberapa menit kemudian akhirnya kami sampai ke sebuah rumah sakit yang bekerjasama dengan perusahaan tempat Mas Amir bekerja.
Aku pun segera ditangani oleh dokter. Mas Amir juga masuk ke ruang persalinan dan menemaniku melahirkan anak kedua kami.
Berkali-kali aku menjerit dan menjambak rambutnya karena rasa sakit ini sangat menyakitkan. Padahal aku sudah pernah melahirkan, tapi entah kenapa kelahiran kedua ini juga sama sakitnya.
Hoeekkk hoeeekkk! Setelah perjuangan yang cukup panjang, akhirnya lahirlah anak kedua kami. Mas Amir masih terus berada di sisiku untuk menguatkan aku yang baru saja melahirkan anak kedua kami. Sedikitpun dia tak melihat anak kami yang sedang dimandikan oleh para suster.
"Makasih, ya, Sayang, karena kamu sudah melahirkan anak kedua kita." Mas Amir mengusap rambutku dan mendaratkan sebuah kecupan di keningku. Aku hanya tersenyum sambil mengangguk karena tubuhku sangat lemah setelah berjuang melahirkan anak kedua kami secara normal.
"Pak, silakan diadzankan dulu," ucap seorang suster sambil menyerahkan bayi yang sudah dimandikan dan dibedong."
"Lho, kok bedongnya warna biru, Dok? Saya kan sudah memberikan kain berwarna pink," ucap Mas Amir hingga membuat mereka saling pandang karena heran.
"Maaf, Pak, tapi, anak Bapak kan laki-laki. Jadi kami menggunakan kain berwarna biru. Tapi, kalau bapak ingin yang warna pink, nanti suster akan menggantikannya," ucap sang dokter.
Seketika aku bisa melihat perubahan wajah Mas Amir. Yang tadinya sangat senang dengan wajah berseri-seri, kini menjelma menjadi wajah yang muram dan masam. Jelas sekali bahwa dia sangat kecewa dengan kelahiran anak kedua kami yang rupanya berjenis kelamin laki-laki juga.
"Pak, maaf, silakan diadzankan dulu," ucap sang suster yang masih menggendong bayiku.
Dengan wajah terpaksa, Mas Amir pun mengambilnya dan mengadzankannya. Sebelumnya dia telah mengambil air wudhu sehingga hanya tinggal mengadzankannya saja. Adzan harus dikumandangkan di telinga kanan bayi, apapun jenis kelamin bayi tersebut. Setelah selesai mengumandangkan adzan di telinga kanan bayi, bacakan iqamah di telinga kiri bayi. Itulah yang dilakukannya.
Setelah aku dipindahkan ke ruang rawat, seluruh keluargaku dan keluarga Mas Amir pun datang. Mereka memberi selamat pada kami atas kelahiran anak kedua kami yang kami sepakati bernama Prayoga Amirul atau dipanggil dengan nama Yoga.
Ibuku terlihat sangat bahagia ketika menggendong cucunya yang sangat mirip denganku. Anak pertama kami sangat mirip dengan Mas Amir. Wajar saja jika anak kedua kami ini malah mirip denganku.
Ibu mertuaku juga turut datang dan memberikan selamat kepada kami. Namun, sepanjang kami mengobrol, Mas Amir masih tampak diam dengan wajah yang lesu.
Keluarga kami mengira bahwa dia sedang keletihan. Namun aku tahu, dia bukan sekedar keletihan, tetapi kecewa dengan kelahiran anak kedua kami yang ternyata berjenis kelamin laki-laki.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
Yunerty Blessa
sepatutnya Amir bisa gembira apa bila anak nya lahir.....
2024-04-04
0
Yuli maelany
aku kebut lagi
2023-03-30
0
renita gunawan
walaupun anak laki-laki,jika kita pinter mendidiknya maka akan menjadi anak yang soleh dan berbakti kepada orang tua
2023-03-14
0