Sore ini hujan sangat lebat, angin begitu kencang. Mungkin ini yang dinamakan badai angin, banyak pohon yang tumbang di jalan raya hingga membuat jalanan semakin macet. Suara klakson mobil dan motor bersaut - sautan belum lagi teriakan orang. Seakan semua memiliki waktu yang berharga, padahal seharusnya mereka dapat memahami dan memaklumi akan saat ini dengan apa yang terjadi.
Naya sedari tadi duduk termangu di halte depan kantor, menyaksikan kejadian di depan matanya. Sembari menunggu bis yang tidak kunjung tiba. Kali ini ia lupa membawa payung, Karena sejak ke kantor membawa mobil ia jarang sekali membawa payung.
Namun sudah satu Minggu ini mobil sedang di lakukan servis rutin dan infonya ada beberapa yang perlu di ganti.
Hujan pun semakin deras, Naya mulai basah kuyup karena ternyata lama- lama posisi duduknya bergeser lebih kepinggir. Sudah biasa walaupun sesama perempuan yang menumpang teduh tetap semua mencari tempat ternyaman, tanpa memperdulikan orang sekitar.
"Ah sakit! maaf mba bisa kah lebih sopan. Sepertinya mba lebih butuh bangku ini, silahkan saya hendak berdiri saja." Sindir Naya dengan lembut.
"**** ! Tahu gitu tadi masih di kantor, gak masalah jika harus satu ruangan dengan serigala itu." Umpat kekesalan Naya sekaligus menyesali keputusannya untuk kali ini pulang lebih awal.
Kemeja Naya sudah basah, rok yang ia kenakan kali ini memang lebih panjang di bawah lutut hanya saja ada belahan di samping. Sehingga sedikit memperlihatkan belahan paha nya yang putih dan mulus. Beruntung di halte semua berjenis kelamin perempuan, karena biasanya banyak kaum pria. Terlihat rambut panjang Naya yang terurai pun meneteskan air, membuat Naya mulai merasa kedinginan.
Pukul tujuh malam, hujan pun reda,
Naya pun lebih memilih untuk naik taksi karena tubuhnya sudah tidak bisa diajak bersahabat jika ia harus naik bis. Sesampainya di rumah, ia mulai membersihkan diri kemudian menghangatkan tubuhnya dengan minum wedang jahe ditambah sedikit susu. Ia mulai menggigil, kepala nya pun mulai sakit. Kebetulan ia lupa bahwa stok obat pusing di apartemen habis, akhirnya ia memilih untuk tidur.
Dua jam kemudian, handphone Naya berdering. Siapa lagi yang menelpon malam - malam pikirnya Naya.
"Halo" suara Naya sedikit serak dan disertai bersin.
"....."
"Kenapa?" Tanya Naya pada orang dari sebrang telepon
"....."
"Bisakah, besok saja." Naya mencoba negosiasi.
"...."
"Terserah!" Telepon pun segera dimatikan sepihak oleh Naya.
Naya sedari tadi sudah mulai dilanda flu dan batuk. Ia sudah tidak sadarkan diri, demamnya semakin tinggi diatas rata- rata suhu orang normal yaitu tiga puluh sembilan derajat Celcius. Ia terbaring lemas di sofa apartemennya lantai dua belas.
Beberapa saat kemudian, ada suara pintu apartemen Naya terbuka.
"Dasar bodoh!" Suara bariton menggema di telinga Naya
"Siapa suruh pulang lebih awal, udah tahu mau hujan." Laki- laki itu sambil memeriksa dahi Naya, memastikan apakah masih demam.
Iya, Nathan ternyata yang berada dibalik telepon tadi. tujuan dia menelepon sebenarnya adalah ingin membahas proposal yang diminta ayahnya. Namun justru yang ia dapati adalah keadaan Naya yang sedang sakit.
"Nay, minum obatnya dulu." Nathan mencoba untuk membangunkan Naya namun Naya tidaklah merespon. Ia hanya mengigau memanggil nama seseorang dengan sebutan nenek.
Di dalam mimpinya, ia bertemu dengan almarhum neneknya. Hubungannya memang sangat dekat karena dari kecil Naya lebih banyak menghabiskan waktu bersama neneknya sampai ia tumbuh dewasa. Jarak lah yang memisahkan mereka, karena Naya mendapatkan beasiswa kuliah di Jakarta. Terpaksa demi mimpi yang harus ia wujudkan, ia harus jauh dari nenek dan orangtuanya.
Sampai akhirnya sebuah berita pagi yang ia harus terima bahwa neneknya telah pulang, iya pulang ke rumah Tuhan untuk selamanya. Hatinya benar - benar terpukul saat itu juga seakan tersambar petir, ini yang mungkin orang katakan bahwa angin datang membawa kabar.
Tidak ada hujan tidak ada panas, memang benar berita itu nyata bukan mimpi. Sebuah penyesalan seakan terus menghantui, belum sempat ia membahagiakan nenek tercintanya, karena hanya selisih satu Minggu dari jadwal sidang skripsi. Padahal keinginannya di wisuda nanti namanya disebut sebagai wisudawan lulusan terbaik di tahun itu, dengan melihat dari atas panggung ada nenek yang duduk di bangku tamu dan bersama keluarganya. Namun harapan itu harus pupus, Naya seakan tidak lagi memiliki tujuan pasti sejak saat itu, sosok nenek yang juga seperti ibu, malaikat tanpa sayap dan yang selalu memberikan semangat dikala kerapuhan mulai mencoba mematahkan semangatnya. Meskipun neneknya telah tiada, ia selalu mengingat segala nasihat dari mendiang neneknya semasa hidup.
"Nay, wujudkan lah mimpimu dan kamu harus menjadi seorang yang sukses, punya pekerjaan jadi pegawai tetap, harus membawa nama harum untuk keluarga dan gunakanlah kejujuran dan kesabaran dalam menjalani semuanya". Pesan nenek semasa hidupnya kepada Naya.
***
Nathan mencoba untuk tetap memberikan obat penurun panas, dan mengompres kepalanya dengan handuk . Dengan telatennya ia merawat Naya, sekretaris yang dari awal kenal selalu membuatnya emosi. Namun siapa sangka dibalik sikapnya yang terkesan arogan ada sisi kelembutan yang tersimpan.
Setiap jam Natan memeriksa dan memastikan Naya sudah sadar ataukah belum. Namun harapannya pupus, hingga pagi hari sudah mulai menampakan senyuman terukir di wajah tampan seorang CEO itu. Iya, demam Naya sudah turun.
Sebelum ia pergi dari apartemen Naya, ia lebih dahulu sudah menyiapkan bubur dan susu hangat untuk Naya. Tak lupa juga ia telah menyiapkan obat untuk Naya meminumnya.
"Lain kali, kalau kerja itu makan jangan sok kuat. Walaupun kerjaan banyak tetap perutnya tidak boleh kosong, kasihan cacing di perutmu puasa kan?. Hari ini tidak usah masuk kerja! Ini perintah ! kalau ada apa- apa tekan nomor saya paling atas. Mulai sekarang nomor saya berada di kontak handphone kamu. Gak usah bilang makasih, saya sudah terlalu sering mendengarnya. Lekas sembuh! Agar bisa bekerja lagi, jika kelamaan saya akan rugi karena telah mempekerjakan orang yang lemah. Bos paling ganteng NATHAN ." Naya membaca sebuah surat yang berada di dibawah gelas dan sambil tersenyum.
"Dih, narsis banget." Ucap Naya
Kemudian Naya mengambil benda pipih persegi panjang. Ia melihat kontak, benar saja nama Nathan berada di sana. Ia pun kemudian menekan nomornya untuk mengirimkan chat kepada Nathan.
"Terimakasih, walaupun tidak boleh mengatakan nya, namun tetap saja saya berutang karena bapak telah merawat saya semalam. Jangan di balas! Saya tahu bapak sibuk." Segera klik tombol kirim
"Siapa bilang saya sibuk! Jangan sok tahu kamu." Tidak butuh lama Nathan membalasnya
"ya sih, sudah saya duga." Jawab Naya
"Maksudnya apa?" Tanya Nathan penasaran
"Udah lupakan" Naya sudah tidak ingin membalasnya.
"Gak usah bikin orang penasaran, buruan katakan!" Nathan semakin penasaran.
"Naya!"
"Nay, jawab!"
"Halo, masih hidupkan ?"
Saat ini Nathan memang tidak banyak jadwal sehingga ia dengan leluasa bisa berselancar dengan handphone nya.
Hingga sore hari chat dari Nathan tidak satu pun di respon Naya.
Ternyata di apartemennya kini demamnya kembali tinggi lagi, tidak sengaja ia membuka layar handphone nya dan menekan nama Nathan karena memang namanya paling atas.
[....]
"Tolong saya." Sambungan langsung terputus
Dengan langkah cepat, Nathan segera mengemudi ke apartemen Naya yang berlantai dua belas. Segera ia membuka pintunya, beruntung ia memiliki akses karena apartemen tersebut memang di fasilitasi dari perusahaan Alexander Group dimana setiap karyawannya yang memang berdomisili dari luar kota diberikan fasilitas tinggal di apartemen, guna memudahkan mereka untuk berangkat kerja agar tidak terlalu jauh dari perusahaan.
"Astagah Naya, susah banget dibilangin." Nathan syok melihat Naya yang tergeletak di lantai
"Nay, bangun. Jangan nyusahin saya!"
Naya tak bergeming sedikit pun
"Nay, kita ke rumah sakit. Bertahanlah!." Pintanya sambil menggendong Naya menuju rumah sakit terdekat.
Sesampainya di rumah sakit, Nathan langsung menuju IGD untuk di periksa oleh dokter. Nathan terlihat sangat khawatir melihat Naya yang sedang terkulai lemas tak berdaya.
"Lebih baik kamu sehat Nay, tidak masalah jika kita terus bertengkar." Nathan bergumam dalam hatinya.
"Maaf bapak, bisakah ikut saya sebentar untuk mengurus administrasi dari pasien." Pinta seorang suster
"Baik sus." Nathan pun mengikuti perginya suster untuk mengurus administrasinya.
"Maaf bapak siapanya pasien?" Tanya petugas administrasi ketika menginput data pasien dan penanggung jawab.
"Saya, atasan nya di kantor." Jawabnya singkat
"Baiklah, silahkan bapak bisa langsung ke kasir untuk menyelesaikan administrasi.
Setelah selesai proses administrasi, Nathan kembali ke IGD memastikan keadaan Naya. Info dari dokter yang memeriksa, Naya hanya demam biasa yang disebabkan karena faktor kelelahan dan stress, serta pola makan yang kurang teratur yang membuatnya memperburuk kondisinya. Cairan infus yang tergantung di tiang sebelah bed Naya terbaring. dipandangnya wajah pucat Naya yang tak kunjung sadarkan diri.
Dering telepon terdengar pelan, ternyata berasal dari milik Nathan. Dilihatnya pak Bramantyo menelepon, dan segeralah ia menarik tombol hijau ke atas untuk menerima panggilan dari sayang ayah.
"Iya pa?" Jawab Nathan
"Lagi dimna?"
"Rumah sakit."
"Jangan bercanda."
"Benar."
"Kamu sakit kah?."
"Naya yang sakit."
"Sakit apa? Di rawat dimana?." Pak Bramantyo mulai khawatir.
"Biasa kurang gizi."
" yang benar?."
"Buktinya dia pingsan."
"Dirawat di rumah sakit mana."
"Jakarta hospital."
"Papa segera kesana." Sambungan langsung terputus.
Tanpa Nathan sadari, obrolan ia dengan pak Bramantyo terdengar jelas di telinga Naya.
"Jahat!" Ucap Naya sembari membuka mata perlahan
"Akhirnya sadar juga, Nay. Bikin orang jantungan saja." Yang keluar dari mulut Nathan berbeda dengan yang di hati [syukurlah kamu sudah siuman]
"Kenapa harus kurang gizi, sih pak?." Naya kesal seakan selama ini ia kekurangan makan
"Terus apa? Buktinya aja dokter bilang akibat karena pola makan yang gak teratur. Jadi apa kalau bukan kekurangan gizi?."
"Terus kenapa bapak kesini? Gak ada kerjaan ya pak?." Naya tidak ingat bahwa ia sebelumya yang telah memanggil Nathan untuk meminta tolong.
"Sudah saya mau pulang, kata dokter kamu gak perlu dirawat cukup di infus habis itu bisa pulang."
"Terimakasih." Ucapnya singkat
"Kalau ada apa - apa kabari, sebentar lagi papa datang." Pesannya sebelum pergi.
Ketika berada di parkiran Nathan bertemu dengan pak Bramantyo, ayahnya yang kebetulan bersama istri tercintanya. Sedikit adanya perbincangan soal pekerjaan namun tidak lama, karena istrinya bernama Yunna khawatir dengan kondisi Naya. Tidak heran orangtua Nathan terlihat begitu dekat dengan Naya, karena sudah dianggapnya sebagai anak. Dari awal mereka kenal Naya, entah seperti terpikat akan daya tarik dari sisi baik Naya.
"Dimana Naya, sekarang Nat? Bagaimana kondisinya." Tanya pak Bramantyo
"Dokter bilang ia kecapean, kurang istirahat dan makan yang tidak teratur." Jelas Nathan menyatakan kebenaran yang ia sampaikan
"Ayo pa, buruan! Mama khawatir nih." Ucap mama Yunna yang sudah tidak sabar menemui Naya.
"Ma, Pa.. Nathan nitip Naya, walaupun ngeselin tapi tetap ia karyawan saya." Pintanya sebelum melanjutkan langkahnya menuju mobil.
Di dalam IGD, Naya masih terbaring lemah. Namun ia sudah lebih baik, tidak lama setelah itu pak Bramantyo beserta istri tiba di IGD dan melihat sosok yang mereka cari.
"Naya, kamu sakit apa sayang?." Pelukan mama Yunna membuatnya merasa lebih hangat.
"Saya tidak kenapa - napa kok bu, sebentar lagi saya juga pulang." Naya meyakinkan agar tidak membuat mama Yunna khawatir
"Tidak Naya, lihat wajah mu pucat sekali. Iya kan pa?" Tanyanya penuh kekhawatiran.
"Nanti kamu pulang sama kami, untuk sementara tinggal dirumah kami ya." Ujar pak Bramantyo
"Tidak usah pak, saya sudah lebih baik. Jadi nanti saya pulang ke apartemen saja. Nanti ada Laura yang akan menemani saya. "
"Naya, please ya mau tinggal sementara bersama kami. Sampai kamu benar- benar pulih." Pintanya dengan memelas pada Naya.
Sebenarnya Naya tidak mau, karena ia merasa tidak enak. Mereka adalah orang yang baik, memperlakukan Naya dengan sangat lembut selayaknya anak sendiri. Dan ia seakan mendapatkan kebahagiaan tersendiri di keluarga Alexander. Selain hal itu, ia juga berpikiran jika ia tinggal sementara satu atap dengan Nathan CEO yang arogan itu tentu akan membuatnya bukannya sehat justru semakin sakit.
"Gimana Nay, mau ya?" Mama Yunna sangat berharap Naya menyetujui.
"Baiklah." Ucapnya singkat.
"Urusan dengan serigala itu nanti saja aku pikirkan, yang penting aku harus sehat dulu. Biar kuat menghadapi serigala ngeselin itu." Umpat Naya dalam hati
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments