Naren menjatuhkan diri di atas sofa sambil memijit pelipis yang terasa berdenyut nyeri. Berkali-kali membuang napas panjang demi menangkan pikiran, tapi bayang kemarahan terhadap wanita itu justru semakin nyata.
"Sialan!" Makinya. Ia semakin gamang memikirkan nasib kakaknya yang entah berada dimana. Ziat pasti menyekap kakaknya seperti ia menyekap gadis itu.
"Benar-benar sialan! Sama sekali tidak mau membuka mulut. Dia terlalu setia dengan baj*ngan itu!" gumam Naren.
Tiba-tiba ponsel Naren yang tersimpan di saku celana berdering. Ia mengerut melihat nomor baru yang jelas asing baginya. Tapi demi rasa penasaran, akhirnya ia mengangkat telepon itu.
"Halo ...."
[Halo keponakanku tersayang.]
Naren mendesis geram mengetahui siapa pemilik suara itu.
[Kamu tidak membalas sapaan uncle mu ini?] Seseorang diseberang terkekeh.
[Uncle menunggu aparat hukum datang dan menangkap uncle. Tapi sampai detik ini tidak ada yang datang. Apa karna kamu tidak jadi melaporkan uncle ke polisi?]
"Bedebah! Kamu benar-benar picik! Kamu menyuruh mata-matamu untuk mencuri semua bukti itu," seru Naren.
[Ha ha ... karna bukti yang kamu simpan telah hilang, kamu tidak bisa memenjarakan uncle.]
"Tapi apa kamu lupa dengan mata-mata yang kamu kirim kemari? Aku akan menyiksanya sampai dia mau buka mulut!" ancam Naren.
[Dia pengikut setia, tidak mungkin dengan mudah membuka mulut.] Nada Ziat terdengar mengejek.
Nut ... nut ....
Sambungan telepon diakhiri oleh Ziat, dan ketika Naren ingin menghubungi kembali tapi nomornya sudah tidak aktif. Sialan!
Di gudang.
Valey baru saja sadar dari pingsan. Wanita itu mendesis-desis sambil memegangi kepala yang terasa berat dan sangat sakit.
"Ibu," gumamnya. Sejurus dengan air mata yang melesak tak tertahankan.
"Ibu, kenapa nasib Valey menjadi seperti ini? Apa salah Valey?"
"Ibu, Valey ingin bersama Ibu. Ajak Valey bersamamu, Bu. Di dunia ini hanya ada orang-orang jahat, Valey takut."
Valey menghentikan tangisan begitu mendengar ada yang mengetuk jendela.
"Nona, Non ... saya bawakan makanan."
Dengan tertatih, Valey mendekat ke jendela. Ia membuka jendela dari dalam namun tetap terhalang teralis besi.
"Non, saya bawakan roti untuk mengganjal perut Nona." Wanita tua itu menatapnya iba.
"Terima kasih, Nyonya."
"Jangan panggil saya Nyonya. Panggil saja Nanny."
Valey mengangguk. "Terima kasih Nanny."
"Nona, tolong simpan makanannya, jangan sampai tuan tau karena Tuan melarang kami memberi Nona makanan."
Valey mengangguk dengan mata berkaca-kaca. Ternyata masih ada orang baik yang mau peduli dengannya.
"Terima kasih, Nanny. Terima kasih," ucapnya.
Setelah wanita yang dipanggil nanny itu pergi, Valey segera memakan roti dengan lahap. Dari kemarin dia sama sekali tidak memakan apapun, hanya meneguk sebotol air yang diberikan oleh penjaga.
Begitu perutnya sudah kenyang, ia kembali melamun di dekat jendela. Sembari menatap langit cerah namun tak secerah masa depannya. Yang kini kebebasannya justru terenggut dengan kesalahpahaman.
"Sampai kapan aku terkurung disini? Aku harus bisa kabur," gumam Valey yang seketika menemukan ide.
Ia akan menunggu nanny baik hati itu datang, bertanya tentang keadaan sekitar dan ketika Tuan Narendra sedang tidak ada, ia akan menyempatkan waktu sebaik mungkin untuk kabur sejauh mungkin. Hingga tak pernah kembali.
Ya, itu rencana yang perfect.
Dan ketika malam hari nanny baik hati datang membawakan makanan, ia menggunakan waktu sebaik mungkin untuk bertanya tentang kegiatan Naren.
"Tuan pergi ke kantor jam tujuh pagi dan akan kembali petang," ujar nanny menjawab pertanyaannya.
"Em, apa di belakang ada pintu lain?"
"Nona jangan coba-coba kabur. Tuan Naren tidak akan mengampuni Anda jika berani kabur dari sini. Saya juga tak ingin mendapat masalah." Nanny itu berkata penuh permohonan.
Valey diam dan mencoba mempertimbangkan. Akan tetapi, jika ia tetap disini, Naren akan terus menyiksanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments
Sumi Sumi
Untung masih ada nany baik yang ngasih makan
2023-03-12
0