Chapter 3 : Danse Éternelle

"Wolfgang..." Grand Duchess memegang tangan suaminya, diam-diam mengalirkan ilusi ketenangan dengan sihirnya tanpa diketahui siapa pun. "Aku akan bicara dengannya. Kau tunggulah di luar. Kau dan Elias terluka. Kalian harus segera diobati. Jangan membuat keributan lagi."

Wolfgang Winterthur menuruti perkataan istrinya. Sihir Lilithier bekerja dengan sempurna sehingga amarahnya mulai mereda. Jadi Sang Grand Duke dan putranya keluar dari kamar itu dengan tenang seolah terkena hipnotis.

Setelah semuanya keluar dan hanya tersisa Lilithier dan Eleanor di dalam kamar itu, Eleanor berlutut di hadapan ibunya. Sorot matanya penuh penyesalan yang tak terucap.

"Ibu... Maafkan aku." ucapnya lirih.

"Karena apa?" Tanya Lilithier dengan dingin. Dia tidak benar-benar marah, tapi dia ingin putrinya tahu bahwa apapun yang dilakukannya memang harus dipertanggungjawabkan.

"Karena aku telah mengecewakan kalian. Karena aku tidak bisa menjadi sosok Putri Mahkota yang sempurna. Karena Aku jatuh cinta—“

"Tidak." Potongnya langsung. "Kau boleh meminta maaf untuk hal lainnya. Tapi mencintai seseorang bukanlah suatu kesalahan. Kau tak perlu meminta maaf karena jatuh cinta."

"Apa?" Eleanor mendongak, melihat ke wajah ibunya yang berdiri di hadapannya. Ibunya adalah sosok wanita yang pandai mengontrol emosi. Tidak pernah sekalipun dalam hidupnya, Eleanor melihat ibunya meneteskan air mata. Tapi saat itu, saat dia melihat wajah Sang Grand Duchess, Eleanor akhirnya melihat air mata mengalir dari mata ibunya.

Grand Duchess memeluk putrinya dengan lembut. "Aku yang harus meminta maaf padamu, putriku yang malang." Grand Duchess melepaskan rasa sedih yang selama ini ditahannya. Semua air mata yang tidak dia tunjukkan di depan siapa pun, semua emosi yang dia bendung selama bertahun-tahun untuk menunjukkan sosok sempurna seorang Grand Duchess Winterthur, dia lepaskan semuanya. "Maafkan ibu, putriku."

"Aku yang salah, Ibu. Tolong jangan menangis seperti ini. Aku akan menerima hukuman apapun. Tapi aku ingin mempertahankan anakku. Aku tak ingin membunuhnya."

Grand Duchess menghapus air matanya sebelum menatap putri satu-satunya yang sangat dia sayangi itu. Putrinya yang selama ini dia bimbing untuk menjadi wanita yang sempurna. Putrinya yang harus mengalami semua kesulitan untuk menjadi Putri Mahkota yang sempurna di mata semua orang. Grand Duchess merasa perih saat melihat putrinya harus mengalami semua hal itu, tapi di saat yang sama, dia tidak memiliki pilihan lain.

"Putriku, apa kau tahu tentang Istana Utara?" Tanya Grand Duchess.

Eleanor mengangguk ragu. "Kudengar itu adalah tempat kita, para Grimoire akan menerima hukuman jika menyalahi isi perjanjian."

"Bukan. Itu adalah satu-satunya tempat dimana para Grimoire dapat hidup. Setelah pembebasan budak dan penyerangan Istana Utara yang dilakukan oleh Grand Duke Winterthur terdahulu, Kami tidak dapat hidup di luar Istana Utara karena Perjanjian Kuno. Jika kami keluar dari wilayah Istana Utara, maka kami akan kehilangan kekuatan sihir kami, dan perlahan-lahan mati."

"Tapi Ibu dan Bibi Lilacier—“

"Kami membuat perjanjian dengan keluarga Winterthur. Perjanjian Grimoire dengan Winterthur. Perjanjian yang dibuat oleh Ayahku, Pemimpin Klan Grimoire dengan Grand Duke Winterthur terdahulu. Nordhalbinsel tidak akan membinasakan seluruh Klan kami dan membiarkan aku dan saudari kembarku untuk hidup di luar Istana Utara apabila salah satu dari kami menikahi salah satu Putra Winterthur. Klan Grimoire yang menginginkan ampunan dari Nordhalbinsel, dan Klan Winterthur yang ingin menggenggam kekuatan para penyihir hebat dari Klan Grimoire, dua hal itu membuat keduanya menyetujui isi Perjanjian Grimoire."

"Jadi Ayah dan Ibu juga—“

"Kami melakukan pernikahan politik karena isi perjanjian itu. Lilacier, saudari kembarku, jatuh cinta pada seorang pangeran dari Schiereiland hingga dirinya tak tahu bahwa dia sedang ditipu. Dia dihukum mati karena membiarkan Jam Pasir Grimoire dicuri darinya. Jadi harapan Klan Grimoire hanya tinggal diriku saja. Dan aku memilih Ayahmu, satu-satunya Putra Winterthur yang tidak memiliki ambisi apa pun. Dia adalah keponakan dari Grand Duke Winterthur sebelumnya dan berada di urutan terakhir calon penerus pemimpin keluarga Winterthur. Jadi semua yang diinginkan Wolfgang hanyalah kehidupan yang stabil meski dia memiliki kemampuan berpedang yang luar biasa sehingga diangkat menjadi Jenderal penjaga wilayah perbatasan Utara. Tapi saat seluruh anggota keluarga Winterthur akhirnya dihukum mati setelah kematian Ratu Irene, Ayahmu diangkat menjadi Grand Duke dan sejak itu dia mulai berubah. Satu-satunya harapan Klannya hanya dia. Dia adalah Winterthur terakhir yang masih hidup. Itulah sebabnya dia mendidik kalian dengan keras."

"Dan Ibu membuat perjanjian Grimoire dengan Ratu Irene..."

"Benar. Itu kulakukan untuk melindungi keluarga Winterthur, untuk Ayahmu dan untuk kau juga saudara kembarmu. Sejak awal aku sudah tahu bahwa Klan Winterthur telah melakukan banyak hal yang menyimpang. Mereka sangat ambisius dan serakah. Mereka membuang bayi yang baru lahir ke Kerajaan lain karena tidak mau ada aib dalam keluarga mereka. Jadi untuk berjaga-jaga jika Raja akhirnya mengetahui kebusukan Klan Winterthur dan menghukum mereka semua, aku membuat perjanjian Grimoire dengan Ratu Irene. Dengan membuat salah satu anakku menikahi keluarga kerajaan, maka keluargaku akan selamat dari hukuman mati. Tadinya kupikir begitu."

"Ibu..."

"Aku begitu egois. Aku telah merebut masa kecilmu dan Elias. Kau pasti kesulitan selama ini karena merasa harus menjadi Putri Mahkota yang sempurna. Aku pikir Kau mungkin pada akhirnya akan menerima Putra Mahkota dan benar-benar mencintainya seperti aku yang pada akhirnya benar-benar menerima takdirku dan mencintai Ayahmu dengan sepenuh hati."

"Ibu... Putra Mahkota sangat baik padaku. Dia memperlakukan Elias dan aku seperti saudara dan saudari kandungnya sendiri. Dia bahkan menjanjikanku posisi Ratu dan tidak mendekati gadis lain demi menghormatiku sebagai tunangannya. Hubungan kami sangat baik selama ini sebagai teman dan partner. Tapi dia tidak mencintaiku dan aku tidak mencintainya. Aku hanya mencintai Dylan..."

"Lalu apa yang akan kau lakukan sekarang? Ibu akan mendukung apa pun rencanamu jika kau pikir ada jalan keluar yang baik untuk semuanya."

"Ibu, aku punya rencana. Kumohon percayakan ini padaku. Aku akan membuat semua petinggi negara untuk memihakku dan menjadikan anak ini sebagai Putra Mahkota selanjutnya. Aku akan menjadi Ratu Nordhalbinsel dan memastikan nama baik keluarga Winterthur tetap terjaga."

...****************...

Anna tahu dia sedang bermimpi.

Belakangan ini, semenjak apa yang terjadi di taman rumah kaca Istana Nordhalbinsel, dia sering bermimpi aneh. Dan mimpi itu semakin terasa jelas sehingga terasa nyata seolah itu bukan mimpi.

Anna berada di balkon sebuah kamar di Istana Nordhalbinsel. Anna tahu itu pasti terletak di Istana Nordhalbinsel karena Istana Schiereiland tidak punya balkon kamar seluas itu. Balkonnya sangat luas sehingga dia bisa mengadakan pesta dansa di sana. Tapi tidak ada pesta dansa meski saat itu dirinya sedang berdansa. Gerakan dansanya sedikit berbeda dari apa yang biasa dia pelajari. Gerakannya lebih rumit namun anggun. Anna tidak tahu dirinya bisa berdansa seanggun itu. Pasangan dansanya juga bergerak dengan sempurna. Mereka berdua berdansa seolah telah berdansa bersama selama bertahun-tahun. Gerakan mereka sangat selaras meski saat itu tidak ada musik. Hanya terdengar suara kicauan burung di pagi hari meski sebenarnya Anna yakin saat mereka mulai berdansa langit masih dipenuhi bintang.

Mereka tidak mengatakan apa pun dan hanya terus berdansa. Tapi Anna tidak merasa lelah sama sekali. Meski Anna tahu itu pasti hanya mimpi, tapi Anna dapat merasakan dirinya sangat bahagia saat itu sehingga tidak merasa lelah meski telah berdansa cukup lama. Anna sendiri tidak yakin sudah berapa lama mereka berdansa. Hingga suara kicauan burung pagi sudah tidak terdengar lagi dan digantikan dengan suara burung hantu. Langit cerah dengan matahari yang bersinar terang digantikan dengan langit gelap dipenuhi bintang dan cahaya rembulan. Anna begitu terlarut dalam dansanya sehingga tidak menyadari waktu yang berlalu.

Barulah saat langit kembali terang dan matahari kembali terbit, Anna menyadari dirinya mengenakan gaun yang tidak pernah dia kenakan. Gaun itu sudah tidak dibuat lagi di Negara mana pun karena sudah sangat ketinggalan jaman. Bahannya tidak selembut gaun jaman sekarang dan dari desainnya Anna tahu gaun yang dia kenakan saat itu berasal dari masa ratusan bahkan mungkin seribu tahun yang lalu. Masa di mana alat jahit belum ditemukan dan gaun-gaun masih dibuat dengan dijahit secara manual oleh tangan para penjahit kerajaan.

Lalu saat matahari naik semakin tinggi sehingga dia dapat melihat jelas ke wajah pasangan dansanya, Anna mengenali sepasang mata Emerald yang sedang menatapnya itu. Wajahnya sangat tampan seperti yang selalu Anna ingat dan pria itu tersenyum lembut padanya. Sorot matanya memancarkan rasa cintanya. Pria itu tidak berhenti menatap Anna. Tidak. Sebenarnya sejak awal mereka memang tidak pernah berhenti saling menatap satu sama lain dan tidak memedulikan hal lainnya. Hanya ada mereka berdua menikmati waktu bersama dalam dansa tanpa henti.

"Xavier, sudah berapa lama kita berdansa?" Tanya Anna akhirnya. Anna sendiri terkejut karena dirinya memanggil Xavier dengan namanya. Tapi Anna tidak terlalu memikirkannya karena dia yakin ini hanya mimpi. Pria itu juga tampak tidak protes mendengar Anna memanggilnya dengan namanya.

Pria itu, Xavier, tersenyum mendengar pertanyaan Anna. "Kita baru saja mulai. Tumben sekali kau bertanya. Apa kau mulai merasa lelah?"

Anna menggeleng. "Aku tidak merasa lelah sama sekali." Kata Anna. Dia mengatakan yang sesungguhnya, bukan karena kesopanannya pada pasangan dansanya. Padahal saat itu dia mengenakan sepatu hak tinggi dan gaun yang berat, tapi Anna tidak merasa lelah sama sekali. "Tapi sepertinya aku sudah melihat pergantian malam menjadi siang dan siang menjadi malam. Atau itu hanya ilusi saja?"

"Itu bukan ilusi.” Kata Xavier dengan tenang. Suaranya semanis madu. Entah mengapa Anna merasa ingin menanyakan banyak hal, apa saja agar dapat mendengarnya bicara terus. Anna bertanya-tanya apakah suara Xavier memang selalu semanis itu atau dia yang baru saja menyadarinya. “Kita memang sudah berdansa selama kurang lebih tiga hari."

Anna terkejut mendengarnya. Meski demikian tak terpikirkan sekalipun di benaknya untuk menghentikan dansa mereka. “Tiga hari? Bukan tiga jam tapi tiga hari?"

"Kenapa kau terkejut? Bukankah kita biasa berdansa tanpa henti selama seminggu penuh?”

“Biasa? Kita?”

Xavier merendahkan suaranya sehingga terdengar seperti bisikan meski tak ada siapa pun selain mereka berdua di balkon itu. “Kita bahkan pernah berdansa sangat lama sehingga saat sadar sebulan telah berlalu. Itu saat pesta perayaan pernikahan kita lima bulan yang lalu.”

"Pernikahan?” Anna semakin tidak mengerti satu pun perkataan Xavier. Meski begitu, Anna ingin terus mendengarnya bicara. Suara Xavier seperti candu baginya. Membuatnya bertahan hidup, dan jika berhenti mendengarnya, dia merasa bisa hancur berantakan.

"Ada apa denganmu hari ini? Apa kau mengkhawatirkan urusan kerajaan? Jangan khawatirkan itu. Kau telah menjadi Ratu yang sangat baik sehingga tidak ada masalah apa pun di Kerajaan kita. Para Naga juga akan mengurus semuanya dan memintamu untuk mengambil libur panjang dan bersenang-senang."

Anna terdiam. Dia mencoba mencerna semua yang dikatakan Xavier dalam pikirannya. Tapi otaknya menolak untuk berpikir dan meski menyadari bahwa dia sudah berdansa selama tiga hari tanpa istirahat, dia tidak ingin berhenti dan terus berdansa bersama Xavier.

Anna tidak yakin berapa lama waktu sudah berlalu, tapi dia masih belum merasa lelah sama sekali. Justru semakin lama, Anna semakin tidak ingin berhenti berdansa. Langit telah berubah menjadi gelap malam. Kemudian malam menjadi siang dalam beberapa kali. Entah sudah berapa hari terlewat, tapi saat mereka berdansa bersama, hukum waktu seolah tak berlaku untuk mereka.

"Kau sedang memikirkan sesuatu, Ratuku?" Tanya Xavier akhirnya.

"Tidak ada. Aku tidak memikirkan apa pun. Lagi pula ini hanya mimpi."

"Mimpi?" Xavier berhenti. Mereka berhenti berdansa dan hanya berdiri diam saling berhadapan. Sementara itu, matahari mulai terbenam dan langit berwarna jingga. Anna akhirnya dapat merasakan kembali waktu yang berjalan.

"Iya, ini mimpi." Jawab Anna dengan yakin.

"Apa maksudmu, Ratuku? Kenapa kau pikir ini hanya mimpi?" Xavier menatap Anna dengan cemas seolah dia sedang sakit. Seolah ada yang tidak beres dengan otaknya. Meski Anna juga tidak sepenuhnya akan mengelak. Mungkin memang ada yang salah dengannya.

Anna terdiam, tidak dapat memikirkan jawaban yang tepat. Sebagian dari dirinya mulai mengakui bahwa ini tidak tampak seperti mimpi sama sekali. Semuanya terlalu nyata untuk menjadi mimpi. Tapi jika ini bukan mimpi, mustahil Anna dapat berdansa selama berhari-hari tanpa lelah sama sekali. Mustahil Anna berdansa dengan Xavier di balkon kamar yang belum pernah Anna lihat sebelumnya. Dan mustahil Xavier memanggilnya sebagai Ratu.

Lalu Anna teringat sesuatu. Sekelebatan ingatan menyerbunya dan menghantamnya, membuat kepalanya terasa sakit. Anna merintih kesakitan.

“Ratuku, ada apa? Kau sakit?” Xavier tampak cemas.

"Xavier, bukankah kita seharusnya sudah mati? Kita jatuh dari tebing. Orang-orang itu... Mereka membunuh kita."

Xavier menatapnya terkejut, tapi kemudian tersenyum dengan lembut. Senyumannya membawa ketenangan bagi Anna. Rasa tenang yang tidak dapat Anna jelaskan dari mana asalnya. Sejenak Anna tidak merasakan apa pun selain perasaan tenang dan damai.

"Kau habis bermimpi buruk rupanya. Kenapa baru menceritakannya sekarang? Itu hanya mimpi buruk, Ratuku." Kata Xavier sambil memeluk Anna dan mengecup keningnya. Anna sendiri terkejut saat dirinya membiarkan Xavier melakukan semua itu. Tidak terpikirkan sedikit pun untuk menolaknya. “Tidak akan ada yang bisa melukaimu selama aku masih hidup. Dan aku akan terus hidup selama kau masih hidup. Jadi kau bisa tenang."

"Jadi itu semua hanya mimpi? Dan saat ini adalah kenyataan?"

"Iya. Itu hanya mimpi buruk.” Kata Xavier, masih mendekap Anna dan membelai lembut rambut merahnya yang panjang. Sekarang setelah menyadarinya, rambut Anna sudah panjang kembali. Persis seperti saat sebelum dia memotong rambutnya. Tidak. Rambutnya saat ini jauh lebih panjang dari rambut panjangnya sebelumnya.

“Kalau itu hanya mimpi buruk, aku tidak mau tidur lagi. Itu semua terlalu mengerikan dan terlalu nyata. Terlalu menakutkan.”

“Belakangan ini kau sedang banyak pekerjaan. Aku mengerti ada banyak hal yang harus kau urus, tapi kau tidak boleh stres. Stres tidak baik untuk kesehatanmu dan kesehatan bayi kita. Zuidlijk akan menangis jika tahu adiknya yang belum lahir kesakitan karena ibunya sedang banyak pikiran.”

“Apa? Apa maksudmu? Kenapa kau menyebut nama Raja Pertama?”

Semakin banyak hal yang dibicarakan Xavier, Anna semakin tidak bisa memahaminya. Kini Anna tidak tahu mana yang mimpi dan mana yang kenyataan. Mimpinya adalah kenyataan dan apa yang selama ini dia anggap kenyataan ternyata hanya mimpi. Seolah keduanya menyatu dan melebur sehingga konsep mengenai mimpi dan kenyataan tidak dibatasi oleh garis yang nyata.

“Raja Pertama? Jadi kau sudah menentukan pewaris takhta? Memang secara hukum Zuidlijk yang paling berhak menjadi pewaris, tapi apa tidak sebaiknya kau menunggu anak kita lahir dan membiarkan mereka bersaing secara sehat dan adil untuk menentukan siapa yang akan menjadi Raja Schiereiland selanjutnya? Lagi pula Zuidlijk masih berusia 3 tahun. Biarkan dia bersenang-senang dulu sebagai anak-anak. Jangan bebani dia dengan tanggung jawab apa pun.”

Anna semakin bingung. Dia menghela napas. Semakin Anna meyakinkan Xavier bahwa itu hanya mimpi, semakin kuat argumen Xavier yang menyatakan bahwa ini semua adalah kenyataan. Dan semakin banyak hal tidak masuk akal yang dia katakan.

“Kau benar. Sepertinya aku sedang sakit.” Kata Anna sambil memegangi kepalanya. Bukan karena sakit, tapi karena terlalu bingung akan apa yang sebenarnya sedang terjadi.

Xavier tampak sedih. Dia menatap Anna yang sedang bingung. Lalu terlintas ide di benaknya. “Kau mau aku menyembuhkanmu?"

"Menyembuhkanku? Bagaimana caranya?"

Xavier tersenyum, membawakan rasa tenang yang sempat hilang sebelumnya. "Semua rasa sakit, semua luka, semua kenangan pahit, semua mimpi buruk. Semuanya dapat kuhilangkan jika kau menginginkannya, Zhera." Kata Xavier yang kemudian mencium Anna cukup lama hingga Anna terbangun dari mimpi panjangnya.

Jika itu memang hanya mimpi.

...****************...

Terpopuler

Comments

Sri Astuti

Sri Astuti

pebasaran.. mimpi di dlm mimpi

2025-03-15

0

Ina Herlina

Ina Herlina

ayoo lanjut kak😁 yang banyak yaa hehe

2023-03-03

2

lihat semua
Episodes
1 Prologue
2 Chapter 1 : Le Début d'une Fin
3 Chapter 2 : L'eau et Le Vent de L'est
4 Chapter 3 : Danse Éternelle
5 Chapter 4 : L'éveil
6 Chapter 5 : À L'intersection
7 Chapter 6 : Nouvelles Choquantes
8 Chapter 7 : Istoriya Proiskhozhdeniya Drakonov
9 Chapter 8 : La Reine en Deuil
10 Chapter 9 : Une Promesse
11 Chapter 10 : Arc et Des Flèches
12 Chapter 11 : L'amour est un Sacrifice
13 Chapter 12 : Larme de Déesse
14 Chapter 13 : Ray'na Zemle
15 Chapter 14 : Earithear
16 Chapter 15 : Soupçon
17 Chapter 16 : Honnêteté
18 Chapter 17 : Danse de L'épée
19 Chapter 18 : Flamme éternelle
20 Chapter 19 : Le Dragon Jumeau
21 Chapter 20 : La Reine des Glaces
22 Chapter 21 : Le Duc François et sa Duchesse
23 Chapter 22 : L'anneau du Coeur de Dragon
24 Chapter 23 : Yeux d'Aletheia
25 Chapter 24 : La Reine Rouge
26 Chapter 25 : Les Elphènes et Les Esthers
27 Chapter 26 : Premier Rendez-vous
28 Chapter 27 : Le Fantôme dans Le Château
29 Chapter 28 : Poison Mortel
30 Chapter 29 : Morta
31 Chapter 30 : Disciple du Sorcier
32 Chapter 31 : A Toi Je Jure et Promets
33 Chapter 32 : Bloody Rose
34 Chapter 33 : Le Lourd de La Couronne
35 Chapter 34 : Tour de La Sorcière
36 Chapter 35 : Le Donjon
37 Chapter 36 : Le Prince de Glace Sans Cœur
38 Chapter 37 : Âme Soeur
39 Chapter 38 : Mère
40 Chapter 39 : Le Roi et La Reine
41 Epilogue : The King of South
42 Epilogue : The Queen of West
43 Epilogue : The Empress of East
44 Epilogue : The King of North
45 Pengumuman
46 Bonus Chapter : The Queen of Dragons
Episodes

Updated 46 Episodes

1
Prologue
2
Chapter 1 : Le Début d'une Fin
3
Chapter 2 : L'eau et Le Vent de L'est
4
Chapter 3 : Danse Éternelle
5
Chapter 4 : L'éveil
6
Chapter 5 : À L'intersection
7
Chapter 6 : Nouvelles Choquantes
8
Chapter 7 : Istoriya Proiskhozhdeniya Drakonov
9
Chapter 8 : La Reine en Deuil
10
Chapter 9 : Une Promesse
11
Chapter 10 : Arc et Des Flèches
12
Chapter 11 : L'amour est un Sacrifice
13
Chapter 12 : Larme de Déesse
14
Chapter 13 : Ray'na Zemle
15
Chapter 14 : Earithear
16
Chapter 15 : Soupçon
17
Chapter 16 : Honnêteté
18
Chapter 17 : Danse de L'épée
19
Chapter 18 : Flamme éternelle
20
Chapter 19 : Le Dragon Jumeau
21
Chapter 20 : La Reine des Glaces
22
Chapter 21 : Le Duc François et sa Duchesse
23
Chapter 22 : L'anneau du Coeur de Dragon
24
Chapter 23 : Yeux d'Aletheia
25
Chapter 24 : La Reine Rouge
26
Chapter 25 : Les Elphènes et Les Esthers
27
Chapter 26 : Premier Rendez-vous
28
Chapter 27 : Le Fantôme dans Le Château
29
Chapter 28 : Poison Mortel
30
Chapter 29 : Morta
31
Chapter 30 : Disciple du Sorcier
32
Chapter 31 : A Toi Je Jure et Promets
33
Chapter 32 : Bloody Rose
34
Chapter 33 : Le Lourd de La Couronne
35
Chapter 34 : Tour de La Sorcière
36
Chapter 35 : Le Donjon
37
Chapter 36 : Le Prince de Glace Sans Cœur
38
Chapter 37 : Âme Soeur
39
Chapter 38 : Mère
40
Chapter 39 : Le Roi et La Reine
41
Epilogue : The King of South
42
Epilogue : The Queen of West
43
Epilogue : The Empress of East
44
Epilogue : The King of North
45
Pengumuman
46
Bonus Chapter : The Queen of Dragons

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!