Betapa terkejutnya mereka karena melihat isi dari flashdisk tersebut. Mereka mendelik, saking tidak percaya dengan apa yang mereka lihat.
“Apa-apaan ini?” pekik Barra, yang tak menyangka karena isi dari flashdisk ini adalah sebuah gambar Rania yang memang sedang bersama dengan para berandal tersebut.
Mereka melihat dengan mulut yang menganga, tercengang melihat Rania yang saat ini makan dengan lahapnya, dengan masih menggunakan gaun pengantin bernuansa serba putih itu. Barra melihat seluruh isi foto tersebut, membuatnya tidak menyangka dengan apa yang terjadi.
“Rania ... kenapa dia malah asyik makan setelah kejadian ini? Bagaimana bisa dia begitu, sementara aku mati-matian menjaga dia, sampai meminta dia melarikan diri karena khawatir dengan keselamatannya?” gumam Barra tak percaya, Narra memandangnya dengan tatapan yang sangat tajam.
Narra juga tidak habis pikir dengan yang Rania lakukan. Benar apa kata Barra, mereka sudah mempertaruhkan nyawa mereka untuk menghadapi para berandal itu, tetapi Rania dengan asyiknya berada di meja makan dan melahap makanan yang ada di hadapannya.
Namun, Narra tidak berpikir dari satu sudut pandang saja seperti halnya Barra. Ia berpikir dari beberapa sisi, karena mungkin saja yang ada di dalam foto ini, sebenarnya tidak seperti kenyataan yang Barra pikirkan.
“Jangan terlalu berasumsi dulu, Barra. Lihat, ini hanya beberapa foto candid yang terambil. Mungkin saja kenyataannya tidak seperti yang kau pikirkan,” ujar Narra, berusaha untuk membuat Barra tenang dengan keadaan.
Barra yang sudah terlanjur termakan rasa kesalnya, hanya bisa memandang sinis ke arah Narra yang berada di kursi sebelah kemudi.
“Bagaimana bisa aku tidak berasumsi? Kau lihat sendiri, bukan? Dia makan dengan lahapnya, di saat kita sedang bertarung mempertaruhkan nyawa di hadapan para berandal itu. Kenapa dia bisa melakukan hal keji seperti itu?” ujar Barra, yang malah menjadi hilang respect dengan Rania saat ini.
Narra menghela napasnya dengan panjang, “Ini bukan saatnya kau berpikir seperti itu. Sekarang, ayo kita temukan Rania dan membawanya kembali ke kastil Radeya!” ujarnya menyadarkan Barra tentang apa yang terjadi.
“Baiklah, kita temukan Rania lebih dulu!” gumam Barra, sembari tetap melihat-lihat foto yang masih tersisa.
Barra menemukan sebuah foto yang terakhir, dan melihat sebuah pesan yang ditulis menggunakan tangan. Isi dari tulisan tersebut adalah, “Gedung putih nomor 52.”
Hal itu membuat mereka terkejut, karena mungkin saja Rania sedang berada di gedung putih tersebut. Mereka saling melempar pandangannya, dan memandang satu sama lain.
“Ke gedung putih itu!” pekik mereka bersamaan.
Mereka pun segera menuju ke arah gedung putih yang dimaksud. Perjalanan ke sana cukup memakan waktu, membuat mereka sangat cemas dengan segala kemungkinan yang akan terjadi pada Rania.
Sementara itu di sana, Rania sudah selesai makan sejak setengah jam lalu. Ludwig menghampirinya, dengan senyuman yang menyungging tipis.
“Bagaimana makanannya, Rania?” tanya Ludwig, Rania menoleh ke arahnya dengan gesture tubuh yang sepertinya terlihat tidak nyaman.
“Makanannya ... enak,” jawab Rania, sebisa mungkin menahan perasaan yang terasa sangat aneh.
Ludwig tersenyum, karena ia sudah tahu bahwa Rania pasti merasakan perasaan yang aneh, yang ditimbulkan oleh obat perangsang yang ia campurkan ke dalam minumannya.
Perasaan puas di hati Ludwig membludak, ia merasa sangat senang melihat ekspresi aneh Rania saat ini.
‘Ya, bekerjalah dan pengaruhi Rania secepat mungkin. Barra pasti akan sampai dalam satu jam,’ batin Ludwig, yang masih menunggu efek dari obat perangsang tersebut.
Napas Rania tercekat, ia merasa dadanya sangat sesak, dengan tenggorokan yang selalu kering. Minumannya habis, membuatnya tidak bisa menghilangkan rasa dahaga yang ia rasakan itu.
Rania memandang Ludwig dengan sendu. “Tolong isi gelasku dengan air,” pintanya, dengan napas yang berusaha ia hela.
“Kenapa kau tidak mengisinya sendiri? Aku akan mengantarkanmu, agar kau bisa dengan leluasa mengisi gelas minummu,” ujar Ludwig, Rania berpikir bahwa itu adalah ide yang bagus.
“Baiklah, tolong antarkan aku ke dapur. Aku ingin mengisi gelasku hingga penuh,” ujar Rania, Ludwig semakin tersenyum lebar mendengarnya.
“Baiklah Sayang ... maksudku, Rania. Lewat sini,” ujar Ludwig, yang sudah tidak tahan ingin menghabiskan waktu bersama dengan Rania.
Rania bangkit dari tempat duduknya, berusaha untuk melangkahkan kakinya dengan benar. Namun, perasaan aneh itu membuatnya merasa tidak fokus, hanya untuk berjalan ke arah dapur saja.
Rumah yang sangat luas ini, membuat langkah Rania semakin tidak keruan. Ia tidak bisa melangkah dengan benar, dengan pikiran yang sudah melayang-layang itu.
Ludwig menuntun Rania, khawatir jika Rania sampai jatuh ke lantai.
“Hati-hati, Rania. Mari, aku bantu kau berjalan,” ujar Ludwig dengan sangat hati-hati, tetapi Rania masih saja bersikap waspada, dengan tidak mau disentuh oleh Ludwig.
“Aku bisa berjalan sendiri,” tepis Rania, yang mulai melangkah menuju ke arah dapur.
Ludwig menghela napasnya, dan kembali menuntun bahu Rania. “Tapi arah dapurnya ke arah sini,” ujarnya, yang malah mengalihkan Rania ke arah sebuah kamar yang sudah ia persiapkan.
Merasa kepalanya yang sangat sakit, Rania sampai menepuk keningnya karena merasa salah melangkah.
“Oh, apa aku salah?” tanya Rania.
Padahal, Rania melangkah ke arah yang benar. Namun, Ludwig malah mengalihkannya ke arah ruangan yang akan ia pakai untuk melakukan hal buruk pada Rania.
“Tidak apa-apa, Rania. Mungkin kau hanya lelah. Aku akan menuntunmu menuju dapur,” ujar Ludwig, yang lalu segera membawa Rania masuk ke dalam kamar tersebut.
Setelah Rania masuk ke dalam kamar tersebut, Ludwig pun perlahan mengunci pintu ruangan kamar itu. Rania menyadari, bahwa ini adalah ruangan kamar dan bukan arah menuju ke dapur. Ia membalikkan tubuhnya ke arah Ludwig yang berada di belakangnya, dan terlihat Ludwig yang baru saja mengunci pintu ruangan kamar ini.
Rania mendelik, “Kenapa kau membawaku ke kamar? Kenapa kau mengunci kamar ini?” tanya Rania, Ludwig menyeringai kecil mendengarnya.
“Tidak ada lagi yang bisa kau lakukan, Rania. Teriaklah sepuasmu, aku tidak akan melepaskanmu kali ini,” ujar Ludwig, Rania yang sudah setengah tidak sadar tidak bisa melakukan apa pun.
Rania menghela napasnya berulangkali. Nampaknya, pengaruh obat itu sudah menyebar ke seluruh bagian tubuhnya. Ia merasa kesulitan bernapas, dengan tenggorokan yang sangat sakit dan kering.
Ludwig melangkah ke hadapan Rania, dengan senyumannya yang tidak pernah luntur dari wajahnya. Ia menyentuh sedikit bahu Rania, membuat Rania terkejut dan memejamkan matanya.
“Biar aku bantu melepaskan gaunmu. Kau pasti merasakan panas dan gerah, bukan?” ujar Ludwig, dengan tangan nakal yang sudah menggerayangi bagian dada Rania.
Rania masih memiliki sedikit kesadaran. Ia menjerit dengan kencang, tetapi tidak bisa mengatakan apa pun. Lidahnya terasa kelu, dengan pikiran yang sudah tidak sinkron dengan perasaannya.
“Emmhh ....”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments
terlalu kejam kelakuan dendam mu ludwig,sampai hati meletakkn ubat dlm mknan rania seperti itu,hnya cinta mu di tolak aja...itu bukan syang nama nya....ludwig itu nama gila bayang.......apa lh ludwig buat sekepas itu...loh
2023-03-05
1