Pagi ini Shaka direpotkan dengan keinginan sang anak yang ingin ikut kerja. Tidak pernah anaknya itu meminta ikut kerja padanya, selama ini sang anak cukup bermain bersama sang pengasuh. Anehnya, bocah usia tiga tahun itu sejak semalam selalu menempel padanya.
"Ayah tidak bisa mengawasi kamu di sana nanti, Azka. Ayah kerja bukan mau main-main," ucap Arshaka menekan emosinya.
Bocah umur tiga tahun itu tidak tahu dan tidak mau tahu, dia hanya ingin bersama sang ayah tanpa penolakan. Azka tetap memaksa ikut. Begitu ditolak sang ayah, bocah itu langsung nangis berguling-guling di lantai.
Melihat sang anak yang tiba-tiba tantrum sejak kemarin merasa heran. Tidak biasanya Azka seperti ini. Akhirnya, Arshaka memilih mengalah dengan membawa sang anak ke kampus.
Sesampainya di kampus, Arshaka berpesan pada sang anak untuk tetap menunggu di depan kelas dimana dia mengajar. Ayah muda itu memberikan anaknya mainan agar tidak menganggu aktivitasnya selama mengajar. Tak lupa aneka cemilan dan satu botol air minum disediakan dosen itu agar sang anak tidak kelaparan dan kehausan.
Arshaka mulai mengajar dengan sesekali melihat arah luar, memastikan sang anak tetap berada di lorong depan kelas. Fokus dosen muda itu terpecah antara kelas dengan anaknya, keduanya sama-sama penting dan tidak bisa ditinggalkan.
Jagoan kecil keluarga Wibisono itu mulai melangkahkan kakinya, tidak sadar jika dia sudah jauh berjalan meninggalkan lorong. Warna pintu dan dinding yang sama antara satu dengan lainnya, serta bentuk bangunan yang sama, membuat bocah kecil itu tidak bisa menemukan dimana sang ayah mengajar.
Arshaka tiba-tiba tersadar jika sang anak tidak ada di depan kelas itu. Mainan serta makanan yang tadi dia letakkan di dekat pilar di depan kelas masih ada dan belum tersentuh. Ayah satu anak itu langsung keluar dari kelas mencari keberadaan sang anak.
Setelah beberapa saat tidak kunjung melihat keberadaan sang anak, dosen muda itu kembali ke kelas untuk memberikan tugas pada para mahasiswa, sebelum membubarkan kelas. Arshaka membereskan buku yang tadi digunakannya untuk mengisi materi kuliah. Selesai itu, dia pun membereskan mainan dan makanan Azka.
Arshaka berharap anaknya masih berada di lingkungan kampus sehingga memudahkan dirinya mencari sang anak. Laki-laki itu mencoba untuk tenang sembari meminta bantuan pada petugas administrasi dan satpam kampus. Tak lupa dia juga melihat rekaman CCTV beberapa menit terakhir.
Tak butuh waktu lama untuk mengetahui keberadaan bocah kecil yang selalu ingin tahu itu. Bocah itu saat ini bersama dua orang mahasiswi cantik di kantin. Ketiga orang itu sedang asik menikmati bakso sambil bercerita, lebih tepatnya Azka yang bercerita sedang dua mahasiswa cantik itu menjadi pendengar.
Arshaka bergegas menuju kantin begitu tahu keberadaan sang anak saat ini. Pikirannya mulai tenang, begitu juga dengan napasnya yang tadi memburu kini sudah teratur. Rasa panik Arshaka langsung menghilang begitu melihat sendiri anaknya bernama orang-orang yang dapat dipercaya.
"Kenapa kamu suka sekali membuat ayah senam jantung? Setelah habis makanan kamu, ikut ayah!" tanya Arshaka begitu berdiri di samping sang anak.
"Ayah! Ayo makan bakso, yah. Bakso di sini rasanya enak," teriak Azka tanpa rasa bersalah sama sekali telah membuat sang ayah panik.
"No! Habiskan makanmu, setelah itu kamu ikut ayah! Paham?"
Bocah kecil itu mengangguk tanda mengerti sekaligus takut karena melihat wajah sang ayah yang seperti orang marah. Dia tidak menyangka ayahnya akan semarah ini. Anak itu merasa bersalah pergi tidak meminta izin terlebih dulu pada sang ayah.
Arshaka duduk di samping Azka tanpa bersuara, sehingga mahasiswa cantik yang menemani bocah kecil itu memilih diam tak bersuara sampai bakso di mangkuk mereka habis. Begitu bakso di mangkuk anaknya habis, Arshaka langsung berdiri diikuti oleh sang anak.
Sepeninggal ayah dan anak itu, para pengunjung yang isinya mayoritas kaum hawa langsung berbisik-bisik membicarakan sang dosen dan anaknya.
"Hiii, ngeri! Ternyata gak ke kita aja dia killer, sama anak kecil saja dia tega, padahal anaknya sendiri."
"Seram ya, kalau marah? Ganteng-ganteng kok galak."
"Iya, nggak nyangka gue. Orang ganteng kek gitu galak banget."
Masih banyak lagi kata-kata lainnya yang ditujukan pada dosen muda berstatus duda anak satu di kampus tersebut.
Arshaka tidak jadi membawa anaknya ke ruangan. Dia memutuskan untuk langsung pulang saja. Dosen itu sudah menghubungi bagian administrasi untuk memasang pengumuman bahwa jam kuliahnya nanti dimundurkan setengah jam dari jadwal biasanya.
Kepala Azka tertunduk sepanjang perjalanan menuju rumah. Bocah kecil itu ternyata merasa bersalah karena kabur dari pengawasan sang ayah.
"Kalau kamu sudah bosan dalam pengawasan ayah, kamu boleh pilih ikut mama, eyang atau oma kamu. Kamu tinggal mengatakannya, ayah akan dengan senang hati mengantarkan. Bukan ayah tidak sayang kamu, tetapi kebahagiaan kamu yang utama," ucap Arshaka pada sang anak begitu mereka duduk di ruang keluarga. Ayah satu anak itu memperlakukan sang anak seperti pada temannya.
Arshaka memang mendidik anaknya dengan tingkat disiplin yang tinggi tetapi dia tidak pernah bersuara keras pada sang anak. Dia tidak ingin anaknya mengulang kesalahan yang sama di masa mudanya. Hidup bersenang-senang tanpa memikirkan perasaan orang tuanya.
"Azka ingin tinggal sama ayah. Azka tidak mau tinggal sama mama atau oma, mereka jarang di rumah. Azka hanya sama nanny di rumah itu," ucap anak itu terbata dengan air mata menetes di pipinya.
"Kalau begitu jangan buat ayah panik karena kamu tiba-tiba menghilang begitu saja. Untung tadi di kampus aman, kalau kamu di mall sudah dibawa kabur orang."
"Maaf, ayah. Azka janji tidak mengulangi lagi."
Arshaka merentangkan kedua tangannya tanda dia sudah memaafkan sang anak. Anak itu pun langsung berlari ke pelukan sang ayah. Azka memeluk ayahnya dengan erat sambil menangis tergugu.
Sementara itu, Shaila sedang sibuk mengerjakan tugasnya di perpustakaan kampus bersama Adiba. Keduanya tampak begitu serius menatap buku diktat setebal lima centimeter. Tugas itu harus dikumpulkan nanti sore.
Beberapa menit kemudian, Shaila berdiri lalu berjalan menuju mesin fotokopi yang terletak di sudut bangunan. Gadis itu hendak mencetak tugas yang harus dikumpulkan nanti sore. Tak butuh waktu lama, lima belas menit kemudian dia kembali ke mejanya dengan membawa makalah yang siap untuk dijilid.
"Enak ya lo, sudah kelar. Gue masih kurang dikit lagi. Bagaimana dong" curhat Adiba dengan wajah cemberut.
"Nggak usah cemberut kek gitu! Sini gue bantuin lo! Mana yang lo gak paham?"
Wajah cemberut Adiba seketika ilang begitu mendengar akan dibantu sang sahabat. Gadis itu langsung menghambur ke tubuh Shaila. Namun, gerakannya ditahan oleh perempuan itu.
"Eits, ada syaratnya!"
*
*
*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments
Qaisaa Nazarudin
Gen Bapaknya menurun ke anaknya..🤣
2024-12-27
0
☠ᵏᵋᶜᶟ 🔵🍾⃝ͩ⏤͟͟͞RᴇᷞᴛͧɴᷠᴏͣW⃠🦈
waaduuuuh Shaila....mau bantu ada syaratnya tuuuuh 😎😎😎
2023-04-07
0
☠ᵏᵋᶜᶟ 🔵🍾⃝ͩ⏤͟͟͞RᴇᷞᴛͧɴᷠᴏͣW⃠🦈
betul tuuh cara mendidik anaknya, karena Azka masih dalam masa pertumbuhan dan jika sering mendengar suara keras/teriakan maka kecerdasannya akan berkurang alias gak bisa berkembang otaknya
2023-04-07
0