Setiap pagi, keluarga Lancaster akan selalu sarapan bersama. Kami akan menceritakan rencana masing-masing. Saat sarapan, papa akan membuatkan roti manis sedangkan mama membuat jus. Sebisa mungkin untuk urusan sarapan, mama ingin mengurusnya sendiri.
"Ceritakan apa rencana kalian hari ini." Ujar papa sambil memotong roti manisnya.
Eli dengan bersemangat mengangkat tangannya dan mulai bercerita. "Hari ini aku akan mengunjungi rumah Viscount Hutger. Aku dan Vincent akan membeli perlengkapan untuk latihan nanti."
Papa mengangguk, artinya ia memberikan izin. "Oh, temui Tuan Felix dan tanyakan kapan ia akan mengisi ulang persediaan tentara."
"Akan kulakukan."
"Aku akan ke istana untuk menemui pangeran." Kali ini giliran Alec. "Pangeran ingin berdiskusi mengenai beberapa hal."
"Lakukan dengan baik." Pesan papa. "Bagaimana denganmu, Bel?"
"Aku akan belajar dengan Sir Reginald dan siangnya aku ingin pergi ke pusat kota." Ujarku sambil menatap papa.
Papa tampak berpikir sebentar sebelum mengangguk. "Apa yang akan kamu beli?"
"Kertas dan tinta, juga beberapa hal yang akan aku pikirkan nanti." Jawabku. Sejujurnya aku tak tahu apa yang ingin kubeli, namun aku membutuhkan kertas dan tinta untuk menulis.
"Baiklah. Berhati-hatilah saat di perjalanan." Mama akhirnya berbicara setelah mendengarkan rencana anak-anaknya. "Aku akan ikut bersama ayah kalian ke Gerhozi selama beberapa hari. Jaga diri dan saudara kalian."
Kami bertiga mengangguk. Setelah menyelesaikan makan dan memeluk keduanya, kami kembali ke kamar masing-masing untuk bersiap. "Bel, apa kamu ingin masuk ke dalam istana?" Pertanyaan Alec begitu tiba-tiba.
"Hm, aku hanya penasaran karena orang-orang bilang istana begitu indah. Aku hanya penasaran. Tak masalah jika hanya masuk dan melihat-lihat, hanya saja aku tak berencana untuk tinggal." Jawabku.
Di sisi kiriku Eli terkekeh, "Bel, kamu aneh. Aku kira para gadis berkompetisi untuk masuk istana, tetapi kamu tidak."
Aku tersenyum pada Eli. "Di sana belum tentu ada yang mencintaiku seperti kalian."
Aku melirik pada papa, mama, Alec, dan Eli yang kini tengah terdiam kemudian saling menatap. Dengan berat aku mendorong piring yang sudah kosong, "aku sudah memikirkan untuk hidup sebagai Amabel Rosemary Lancaster sampai aku mati."
Aku mendengar Eli yang tersedak, padahal tadi dia tak minum atau makan. Papa dan mama saling melirik bingung sedang Alec hanya diam. Aku tahu dengan pasti maksud ucapanku. Hidup sebagai seorang Lancaster sampai mati artinya tidak menikah. "Aku-"
Papa berdeham, membuatku berhenti bicara. Tatapan matanya teduh namun tajam. Seakan aku tengah di ruang persidangan. Tiba-tiba saja aku menciut. "Bel, pilihan itu terlalu terburu-buru. Kamu masih muda, jadi pikirkan lagi. Aku berangkat sekarang."
Aku mengangguk dan papa berjalan keluar ruang makan diikuti mama yang hanya bisa tersenyum padaku. "Nikmati waktumu, sayang."
Helaan napasku terdengar, membuat Alec menghampiri. "Bel, kadang aku tak tahu sebenarnya kamu berumur berapa. Jaga dirimu, Pangeran pasti sudah menunggu."
Kini tinggal aku dan Eli yang duduk bersebelahan tanpa bersuara. Eli masih menyelesaikan sarapannya. Dari ujung mataku Eli akhirnya membalik alat makannya, menandakan ia telah selesai. Eli kemudian minum dan menyandarkan tubuhnya pada bangku.
Matanya menerawang, membuatku ikut menatap ke arah potret keluarga kami. "Bel, aku akan senang hidup denganmu saja, kamu tahu? Tapi, akan ada satu masa saat kamu akan kesepian. Keputusanmu tadi cukup kamu simpan. Aku, bukan, kami akan menganggap kamu sedang mencari jati diri. Juga, jangan sampai orang lain tahu soal itu, oke?"
Mau tak mau aku mengangguk. Eli menoleh, mengusak puncak kepalaku dan tersenyum. "Nah, sekarang ayo bersiap. Aku akan menemanimu sampai perpustakaan."
Kami berjalan, melewati koridor dengan berbagai lukisan di sisi kanan dan kiri. Eli menggenggam tanganku erat tanpa berbicara. Saat sampai di depan ruang belajar, tangan Eli berada di bahuku. "Belajar yang baik, aku pergi dulu."
Aku mengangguk dan menatap Eli yang berlari sambil melambaikan tangannya padaku. Aku menarik napas sebelum membuka pintu, "selamat pagi Sir Reginald."
Sir Reginald, guruku yang berasal dari orang biasa. Sama seperti Cerland, ia mendapatkan gelar kebangsawanan karena kerja keras. Sir Reginald merupakan guru di akademi Hugsun, akademi yang berfokus pada ilmu pengetahuan. Sir Reginald mengajar di Hugsun setelah selesai memberikan pengetahuan umum padaku.
"Selamat pagi, Lady. Jika sudah siap, aku ingin mendengarkan ulang apa yang anda dapat pada pertemuan sebelumnya." Pembukaan yang sudah kuhafal.
Sesuai permintaan Sir Reginald, aku mengulang materi pertemuan sebelumnya. Sebuah sejarah tentang Yerkink. "Tapi, Sir, bagaimana bisa kekuatan iblis menguasai tanah ini sebelumnya? Juga, bagaimana bisa para bangsawan di masa lalu mengalahkan raja iblis itu?"
Sir Reginald mengangguk, kemudian menunjukkan sebuah buku dengan halaman depan yang terbuat dari beludru merah. Judulnya dijahit dengan benang emas, Yerkink: Tanah Surga yang Dikuasai Iblis.
"Belum ada yang dapat memastikan apakah ini hanya fiksi atau fakta. Akan tetapi, tiap poin yang berada di dalam buku ini berkaitan dengan sejarah yang diceritakan dan dipercayai masyarakat." Sir Reginald menunjukkan buku tersebut. "Sebelum Yerkink terbentuk, tanah ini dikuasa oleh iblis. Manusia dijadikan sebagai budak untuk melayani mereka. Hingga akhirnya Arnaka Hamilton, Yasreen Lancaster, Theo Walcote, dan Lalisa Celine menyatakan perang pada kerajaan iblis. Katakanlah, sebuah reformasi. Keempat pilar tersebut memiliki kemampuan sihir dan dengan kemampuan itu mereka merebut tanah ini."
Aku mengangguk, "Sir, Lalisa Celine itu siapa? Aku tak pernah tahu ada bangsawan dengan nama keluarga Celine."
Sir Reginald membuka buku yang dipegangnya kemudian menunjukkan gambar seorang wanita di depanku. Aku terhenyak, wajah itu bukan seseorang yang asing. Aku pernah melihatnya. Tunggu, aku meraih buku tersebut dan mendekatkannya. Itu ... aku.
Bukan. Maksudku, itu adalah diriku sebelum berenkarnasi sebagai Amabel. Juga namanya adalah Lalisa. Itu, namaku saat berada di bumi.
Sir Reginald nampak menganggap kelakuanku sebagai sebuah rasa penasaran seorang murid. "Tak ada yang tahu asal usul Lalisa Celine. Akan tetapi, satu yang pasti adalah beliau seorang penyihir terhebat. Dia bukan hanya dapat melawan iblis, tetapi juga mengendalikan waktu."
Tunggu. Terlalu banyak informasi. Sir Reginald menyodorkan buku tersebut kepadaku. "Ini hadiah untukmu. Selesaikan buku itu dan berikan laporan pada pertemuan selanjutnya."
Aku mengangguk kemudian memberi salam pada Sir Reginald yang berjalan keluar dari ruang belajar. Lalisa Celine, Lalisa, dan Amabel Lancaster. Apa sebenarnya ini semuanya?
Aku menatap keluar jendela. Daun-daun mulai berguguran. Sudah akan memasuki musim gugur dan aku mulai melupakan jati diriku sebelumnya. Seandainya saat itu aku tak tertabrak, siapakah Amabel Lancaster sebenarnya?
Mataku terpejam. Sebuah perasaan bersalah yang mencekik muncul. Apa aku baru saja merampas kehidupan orang lain?
"Nona, keretanya sudah siap." Pita menarik kesadaranku membuatku menoleh dan mengangguk.
Entah aku ini Lalisa atau Amabel, satu yang aku tahu adalah apa yang saat ini aku miliki harus aku jaga. Keluarga ini, harus aku jaga.
"Nona, apa anda baik-baik saja? Anda terlihat pucat."
Dengan cepat aku menggeleng pada kekhawatiran Pita. "Aku baik. Ayo, kita pergi ke pusat kota."
Bukan hanya kertas dan tinta yang akan aku beli. Aku butuh buku yang hanya ditemukan di pasar gelap.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments
People
Sir Reginald mengingatkan ku akan rengginang:v
2020-11-27
5
Ritasilviya
lanjut Thor
2020-11-03
0
Putri Bakrie
Lalisa celine ya thor...ada jennie chanel, jisoo dior atau rose ysl gak?
Maap otakku nyambungnya ke situ. Suka ceritanya ❤
2020-11-02
14