"Papa, boleh aku masuk?" Tanyaku setelah mengetuk pintu dan melongok ke dalam ruangannya.
"Masuklah," ujarnya sambil menutup dokumen di hadapannya. Aku melangkah menuju sofa dan menunggu hingga papa duduk di sampingku. "Apa yang membuat putriku datang ke ruang kerjaku? Kau menginginkan sesuatu?"
Aku tersenyum, memperlihatkan deretan gigi putihku. Papa selalu tahu alasanku datang. Yah, mungkin karena setiap aku datang ke ruang kerjanya aku akan selalu memohon atau bercerita. "Aku tak menginginkan apapun. Dalam bentuk barang maksudku. Aku ingin mendengar pendapat papa."
Papa mengangguk dan aku mulai mempersiapkan diru. Entah kenapa aku merasa gugup. Kusatukan kedua tanganku, mencoba agar tak terlalu gugup. "Ini tentang akademi yang akan aku masuki tahun depan." Aku mencuri pandang dan papa mengangguk sebagai jawaban agar aku melanjutkan cerita. Aku menghembuskan napas, "aku tak tahu apa yang ingin aku lakukan. Dan itu membuatku tak memiliki alasan untuk mengikuti ujian masuk."
"Kalau begitu tak usah." Aku melongo, jawaban papa benar-benar luar biasa.
"Duke! Anda tak boleh bicara seperti itu." Baron Cerland menegur. Ia adalah asisten sekaligus penasihat papa. Cerland bukan berasal dari keluarga bangsawan, dia meraihnya melalui kemampuan serta kesetiaannya pada papa. "Nona muda datang ke sini untuk berdiskusi tentang masa depannya. Akan bijak jika anda menjawab setelah mempelajari kemampuannya."
Ini satu dari sekian alasan kenapa Cerland diutus sebagai penasihat. Meski Cerland baru berumur dua puluh, tetapi dia cerdas dan berpikir dingin. Papa diam sebentar kemudian menghela napas. "Bel, kamu tak perlu pergi ke akademi jika akademi jika kamu tak menginginkannya atau tak merasa pantas untuk berada di sana. Aku bisa membuat para guru itu datang ke sini dan kamu bisa mempelajari hal yang kamu sukai."
Aku menatap papa, "bagaimana jika aku tak memiliki hal yang aku sukai?"
Papa menyandarkan pipinya pada tangan. "Kamu cukup menjadi putriku kalau begitu."
Aku tak paham. Apa hubungannya? Aku melirik ke arah Cerland tetapi lelaki tengah menatap papa. "Aku tak paham, papa."
Papa menepuk pahanya, itu tanda aku harus duduk di pangkuannya. Aku menurut karena sejak dulu jika itu adalah sesuatu yang penting, papa akan membuatku duduk di pangkuannya dan menatap mataku seperti saat ini. "Papa tak memaksamu untuk menjadi pintar di akademi. Papa tak memintaku untuk membanggakan keluarga dengan hal yang kamu sukai. Papa hanya ingin Bel hidup bahagia. Hanya itu."
Mataku terasa berembun dan pada akhirnya aku memeluk papa erat. "Bel selalu bahagia. Bel bahagia menjadi putri papa."
Aku mengucek mata beberapa kali, mataku perih karena menangis. "Terima-"
Dekapan dari papa terasa hangat. "Oui! Papa! Kenapa Bel menangis?" Seruan itu datang bersamaan dengan pintu yang terbuka.
Eli masuk dengan membawa pedang di tangannya. Aku rasa ia baru menyelesaikan latihannya. "Bel! Kenapa menangis? Siapa yang melukaimu? Katakan padaku!"
Eli benar-benar berlebihan karena kini dia mengeluarkan pedangnya. "Katakan dan aku akan menghajarnya."
"Bukan begitu, kakak. Aku sudah baik-baik saja sekarang. Aku baru bercerita soal rencanaku pada papa." Jelasku menenangkan. Eli menghela napasnya kemudian memasukkan pedangnya kembali.
"Lagipula kau pikir orang yang membuat Bel menangis akan hidup jika ayahmu ini tahu?" Tanya papa dengan nada datar.
Eli mendengus. "Ah, aku hampir lupa! Duke Hamilton sudah menunggu ayah di ruang tamu."
Aku bisa mendengar helaan napas dari papa. Pasti papa lelah. Aku memeluknya sekilas dan mencium pipinya sebelum turun dari pangkuan papa. "Kalau begitu aku pamit, papa selamat bekerja."
"Selamat bekerja ayah, Cerland." Pamit Eli.
"Ya." Aku tersenyum ketika melihat ujung bibir papa terangkat.
Eli mengulurkan tangannya dan dengan senang hati aku menyambutnya. "Bel, cium pipiku juga."
"Hah?"
Eli menunjuk pipinya dengan gagang pedang. "Cium aku di sini."
Aku langsung menggeleng, "kamu kotor."
Eli langsung cemberut. Hanya beberapa detik hingga dia menatapku dengan mata berbinar. "Kalau aku sudah mandi dan bersih, kamu akan menciumku?"
Mau tak mau aku mengangguk. Setelah sampai di depan pintu kamarku Eli langsung pamit dan berlari menuju kamarnya. Aku sudah mulai terbiasa dengan sikap Eli ini. Ah, saat papa memelukku tadi aku jadi ingat kejadian itu.
Kejadian yang membuat papa dan kedua kakakku marah. Kejadian yang membuatku sadar bahwa aku begitu dicintai.
Saat itu aku berumur enam tahun. Aku masih ingat bahwa hari itu merupakan hari pertama aku melihat pantulan diriku di kaca. Amabel Lancaster adalah sosok yang sempurna. Rambut berwarna perak dan mata berwarna abu-abu, bahkan mendekati putih. Sosok yang begitu anggun, namun begitu jauh dari kedua orangtuaku.
Saat melihat pantulan cermin itu tentu aku merasa bahagia karena penampilanku yang begitu cantik. Akan tetapi, aku jadi berpikir, apakah aku benar-benar anak dari orangtuaku? Rambut dan mataku tak memperlihatkan bahwa aku adalah seorang Lancaster.
Hari itu aku merasa begitu sedih. Terlebih ketika berjalan di koridor dan mendengar percakapan para pelayan. "Nona Amabel sangat cantik, namun tak terlihat seperti seorang Lancaster."
"Ya, rambut dan matanya sangat berbeda." Jawab pelayan yang lain. "Ada yang mengatakan jika nona muda adalah bayi yang ditelantarkan."
"Apa mungkin nyonya-"
"Jangan gila! Tutup mulut kalian jika masih ingin hidup!" Hardik yang lain.
Mendengar itu, aku kembali ke kamarku dan menatap pantulan diriku. Kau begitu mempesona juga meragukan. Aku menangis. Apa aku ini anak haram? Atau aku ini hanya anak tanpa orang tua? Apa dalam kehidupan ini pun aku tak memiliki keluarga?
"Nona~ saya bawakan teh." Elena masuk saat aku masih menangis tersedu. Elena langsung menghampiri dan memelukku. "Ada apa? Kenapa nona menangis?"
Aku tak menjawab. Aku malah memeluknya semakin erat. "Elena, Elena."
Elena hanya memeluk dan menepuk pundakku. "Iya, nona ini saya. Tolong jangan menangis lagi."
"Bel! Ayo ma- Bel! Kenapa menangis?" Eli datang dengan tergesa dan langsung berlutut di depanku.
Aku hanya menggeleng. Apa yang harus aku katakan? Bertanya apa aku ini adik kandungnya? Aku tak tahu.
"Bel," Eli kembali memanggil dan aku hanya menggeleng.
Hari itu aku hanya menangis dan besoknya aku demam. Tubuhku sangat lemah. Bahkan ledakan emosi seperti ini bisa membuatku demam. Mama datang bersama Alec, wajah keduanya terlihat begitu cemas. "Bel, kenapa sampai seperti ini? Apa ada yang menyakitimu?"
Aku tak bisa menjawab. Aku tak ingin menyakiti mama. Alec mengusap pundak mama. Mungkin dia meminta mama untuk tenang dan menunggu di luar karena setelah itu mama keluar. Aku bisa melihat mama menghapus air matanya. Maafkan aku.
Alec tak mengucapkan apapun, hanya memperbaiki posisi handuk di dahiku. "Alec, apa aku ini adikmu?"
Gerakan Alec terhenti saat pertanyaanku keluar. "Bel, meski rambut dan mata kita berbeda bukan berarti kamu adalah orang asing. Bel, kamu adikku."
Jawaban Alec begitu ambigu. "Adik kandungmu?"
Alec mengangguk, "itu yang kamu khawatirkan?" Melihat anggukan dariku membuat Alec mengusap pipiku. "Bel, aku melihatmu tumbuh sejak kamu ada di dalam perut ibu. Orang-orang beranggapan kamu berbeda hanya karena mata dan rambut kita berbeda. Kamu adalah adikku, adik kandungku, dan keluarga Lancaster."
Aku kembali terisak dan Alec memelukku erat. "Jangan meragukan darah yang mengalir dalam dirimu, Bel."
Dengan itu aku tertidur dan saat aku membuka mata, Alec dan Eli mewarnai rambut mereka. Perak, seperti warna rambutku. Mama membawa foto keluarga yang memperlihatkan Lancaster berambut putih dan bermata abu-abu. Papa tak mengetahui alasan aku demam, aku rasa akan lebih baik begitu.
Hingga sekarang rambut Alec dan Eli masih berwarna perak. Mereka melakukan itu untuk melindungiku. Sejak hari itu aku tahu bahwa aku dicintai oleh keluargaku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments
anca
knp amabel lemah hu,,hu,,hu,,
2021-06-22
0
Lisha_10
gak ad angin gak ad ribut kok air mata ngalir gitu aj
efek trllu mnghayati atau mmg hti ini yg lmah dg crita melow"
2021-03-17
0
🍫 Hiat^٥MayΤυΙρa🍥╏ 🍨
Aku terharu
lebay ya..
2020-11-20
4