NovelToon NovelToon

Menikahi Ayah Anak Asuhku

Permintaan Aurora (REVISI)

Di sebuah sekolah taman kanak-kanak, seorang anak perempuan berwajah cantik sedang murung di sudut kelas. Aurora, nama anak kecil itu, duduk sambil menopang dagunya dengan muka muram. Dari tadi ia terus diledek oleh teman-temannya.

"Aurora enggak punya Mama," ucap salah satu anak laki-laki berbadan gembul.

"Mamanya udah meninggal ketabrak mobil!" teriak teman yang lainnya.

"Aurora bukan lahir dari Mama, tapi dari batu," ledek temannya yang berkacamata.

Beberapa bocah kecil berusia empat tahun tampak begitu bersemangat meledek si cantik Aurora. Riuh tepuk tangan serta gelak tawa mengiringi candaan mereka. Entah sudah berapa kali Aurora menjadi bahan candaan teman-temannya itu.

Hati Aurora tentu saja sedih karena sejak dulu dia tidak pernah tahu di mana sang mama berada. Setiap kali ia bertanya kepada papanya, laki-laki itu hanya mengatakan mamanya sedang pergi bekerja. Entah sampai kapan sang mama pergi, Aurora pun tidak tahu. Papanya hanya bilang supaya Aurora bersabar.

Sepulang sekolah, Aurora tampak murung. Gadis kecil itu sama sekali tidak mau makan dan minum. Dia hanya berdiam diri saja di ruang tengah, tempatnya biasa bermain.

Ghani, papanya Aurora yang seorang dokter, baru saja pulang dari rumah sakit. Melihat putri kesayangannya murung, ia pun turut bersedih. Pria itu langsung mendekati Aurora dan bertanya dengan lembut.

"Princess-nya Papa, kenapa? Kok, wajahmu cemberut, gitu?" tanya Ghani. Ia belai puncak kepala Aurora yang sedang termenung, duduk di karpet berbulu tebal terbuat dari bahan berkualitas nomor satu.

"Tadi di sekolah Aurora diledekin sama teman-teman," jawab Aurora pendek tanpa menoleh ke arah Ghani.

Ghani mengerutkan kedua alis petanda bingung. "Diledekin kenapa?" tanyanya penasaran sebab selama ini tidak pernah mendengar jika ada teman sebaya Aurora meledeki putrinya itu.

"Karena Aurora enggak punya Mama." Saat mengucap kalimat tersebut, Ghani merasa ada sebuah anak panah yang melesak begitu saja, menancap di jantung hingga membuat jantungnya berhenti berdetak. Pria itu terdiam, tak mengerti harus berkata apa.

Si kecil Aurora membalikan badan saat menyadari telapak tangan Ghani tak lagi mengelus puncak kepalanya. "Papa, bisa enggak Aurora punya Mama? Kenapa Mama enggak pulang-pulang? Kenapa kerjanya lama, Pa? Aurora pengen punya Mama kayak temen-temen yang lain," rajuk Aurora. Bola matanya yang indah mengerjap perlahan.

Ghani menarik napas panjang. Sungguh permintaan Aurora tidak berlebihan, tetapi sangat sulit ia wujudkan.

"Papa, kenapa diam? Aurora cuma mau Mama saja. Bilang sama Mama supaya lekas pulang. Jadi nanti saat berangkat ke sekolah Aurora diantar Mama kayak teman-teman yang lain," ucap Aurora sambil menarik-narik tangan Ghani.

Pria itu tak tahu harus menjawab apa karena cerita yang ia karang tentang mama Aurora adalah sebuah kebohongan belaka. Aurora adalah putri yang ia adopsi saat sedang bertugas di sebuah rumah sakit di daerah Sukabumi, lima tahun lalu. Papa kandung Aurora tewas sesaat setelah kecelakaan terjadi, sedangkan mamanya meninggal dunia beberapa menit setelah melahirkan Aurora.

Ghani mengusap kedua pipi Aurora dengan lembut. Pria dingin yang terkesan cuek tampak begitu hangat apabila di dekat anak kecil, terlebih itu adalah putrinya sendiri.

"Baiklah, nanti Papa akan kasih tahu Mama supaya lekas pulang. Mama kerjanya jauh, Sayang. Ada di luar negeri dan enggak bisa pulang sewaktu-waktu," jawab Ghani. Hatinya seakan diremas tatkala mengucap kalimat tersebut. Ada perasaan berdosa karena lagi dan lagi ia membohongi Aurora. Namun, untuk mengatakan yang sejujurnya, ia tak sanggup.

"Jadi, Mama kerja di luar negeri? Kalau pulang harus naik pesawat, ya, Pa?" Ghani mengangguk mendengar pertanyaan polos putrinya.

"Kalau gitu, kita aja yang jemput Mama ke luar negeri. Aurora juga pingin naik pesawat, Pa, ingin melihat awan-awan dari dekat. Sepertinya indah. Pasti menyenangkan," jawab Aurora dengan antusias.

"Iya, Sayang, nanti Papa akan usahakan supaya kita bisa naik pesawat untuk menjemput Mama Aurora. Berdoa supaya Papa kerjaannya lancar. Jadi bisa menabung untuk pergi ke luar negeri, Sayang."

Sebenarnya Ghani bisa saja pergi ke luar negeri detik itu juga tanpa perlu menunggu tabungannya terisi penuh. Kedua orang tuanya kaya raya, rumah sakit tempatnya bekerja merupakan warisan turun menurun dari mendiang sang nenek. Jadi, sudah bisa ditebak berapa banyak pundi-pundi rupiah yang diperoleh dari rumah sakit. Hanya mengeluarkan uang sekitar 50 juta, bukanlah perkara sulit.

Mata indah yang berubah sendu menatap Ghani dengan lekat. "Emangnya kalau mau ke luar negeri harus punya uang banyak, ya, Pa?"

Ghani tertawa terbahak-bahak mendengar pertanyaan Aurora. Putri kecilnya itu memang selalu mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang terkadang ia sendiri sulit untuk menjawabnya.

Pria itu merangkul Aurora dan membawa tubuh mungil putrinya dalam dekapan. "Iya, dong, kalau naik pesawat itu biayanya mahal. Makanya kita harus rajin menabung. Aurora juga rajin menabung 'kan?" Aurora menjawab dengan anggukan kepala.

Lalu, sesuatu tak terduga terjadi. Aurora melepaskan diri dari pelukan sang papa kemudian berlari ke kamarnya dan keluar lagi dengan membawa sebuah celengan berbentuk ayam.

Gadis kecil itu menyodorkan celengan tersebut kepada Ghani. Dengan polos ia berkata, "Ini, Pa, tabungan Rara diambil saja untuk menjemput Mama biar Mama bisa pulang dan bareng-bareng sama kita."

Ghani sungguh terharu mendengar ucapan putrinya. Dia memang mengajarkan Aurora untuk rajin menabung, tetapi justru dari obrolan mereka Aurora berinisiatif memecah celengannya. Lagi-lagi hal itu dilakukan agar bisa bertemu dengan mamanya.

Dalam hati Ghani menyesali karena cerita yang ia karang menjadi imajinasi tersendiri di benak putrinya. Akan tetapi, jika tidak seperti itu dia sendiri pun kesulitan untuk menjawab pertanyaan Aurora.

"Ya udah, biar penuh dulu celengannya, baru nanti kita buka. Kalau sekarang belum cukup, Sayang. Aurora makan dulu, ya, biar cepat gede. Kalau cepat gede dan sehat, nanti Mama pasti senang ketemu Aurora. Apalagi putri Papa ini sangat cantik." Jari telunjuk Ghani menoel ujung hidung si cantik.

Ghani tidak tahu lagi caranya untuk meredam keinginan Aurora yang ingin segera bertemu dengan mamanya. Memberitahu yang sebenarnya? Rasanya Ghani tak sanggup. Bagaimana ia tega memberitahu jika sebenarnya kedua orang tua Aurora sudah meninggal dunia.

Untuk menikah dengan seorang wanita lalu mengatakan bahwa wanita itu adalah mamanya Aurora, tentu saja Ghani tidak mau sebab ia berjanji pada dirinya sendiri tidak akan menikahi siapa pun selain wanita yang pernah ia renggut kesuciannya.

Andai saja, aku bisa bertemu dengan gadis itu, aku pasti akan bersimpuh dan meminta maaf kepadanya, batin Ghani.

Ghani bukan pria brengsek yang suka mencuri-curi kesempatan. Apalagi sampai meniduri perempuan yang tidak ia kenal sebelumnya. Ghani sendiri tidak mengerti kenapa malam itu dia menjadi sangat bernapsu. Yang ia ingat hanya berada di atas tubuh seorang perempuan yang terus menangis dan memohon-mohon agar menghentikan aksinya. Mendengar suara rintihan kesakitan justru membangkitkan gairahnya yang semakin tak terbendung.

"Papa, aku mau makan, tapi Papa yang suapin," ucap Aurora, membuyarkan lamunan Ghani.

Ghani mengerjapkan mata beberapa kali lalu tersenyum lebar kepada anak tercinta. "Iya, Sayang. Ya udah yuk, kita ke ruang makan. Mbak Tina udah masak makanan kesukaanmu, tuh." Pria itu mengulurkan tangan, lalu jemari mungil Aurora menyambutnya. Lantas mereka berjalan beriringan menuju meja makan.

"Kayaknya enak kalau kita makan masakannya Mama ya, Pa?" Aurora berceloteh sepanjang jalan. Pembahasannya masih seputar ... mama.

Ghani hanya terdiam mendengar ucapan putrinya. Sepertinya memang Aurora saat ini sedang membutuhkan kehadiran sosok ibu. Jika memikirkan hal itu Ghani jadi merasa frustrasi sendiri.

Apakah aku harus mempekerjakan seorang babysitter untuk menemani  Aurora? Agar putriku tidak merasa kesepian karena tak ada sosok ibu di dekatnya? tanya Ghani di dalam hati.

Memang dulu ada seorang babysitter yang membantu merawat Aurora sejak masih bayi, tetapi sudah beberapa bulan ini babysitter itu pulang kampung karena harus menikah. Sejak saat itu Ghani belum berniat untuk mencari babysitter pengganti karena menurutnya Aurora sudah mulai sekolah dan lebih banyak menghabiskan waktu di sekolah.

"Papa, kenapa diam aja? Ayo, makan. Aku udah lapar." Suara lembut Aurora membuat Ghani kembali tersadar dari lamunannya.

Kini Ghani baru menyadari bahwa ia benar-benar membutuhkan seorang pengasuh untuk Aurora. Meskipun waktunya lebih banyak dihabiskan di sekolah, tetapi dengan jadwal Ghani yang padat di rumah sakit, ia juga tidak bisa setiap saat menemani putrinya itu.

"Aah ... Papa lama deh. Perut aku 'kan udah laper banget, pingin makan ayam goreng. Ayo, aku bantu Papa jalan. Papa pasti capek, 'kan habis kerja?" Lantas, Aurora menggamit lengan Ghani. Laki-laki itu dipenuhi rasa haru karena Aurora telah tumbuh menjadi anak kecil yang peduli dengan sekitar dan juga mempunyai rasa empati yang besar.

"Sabar ya, Sayang, nanti pasti kita akan ketemu Mama. Aurora anak yang baik dan pintar pasti bisa menunggu Mama pulang." Entah kenapa ucapan itu meluncur begitu saja dari bibir Ghani. Tidakkah dia sadar bahwa apa yang baru saja diucapkan justru membuat harapan Aurora akan sosok seorang ibu semakin membumbung tinggi?

"Aurora pasti mau menunggu Mama pulang, Pa." Gadis kecil itu mendongakan kepala hingga mempertemukan dua netra. Aurora pun mencoba tersenyum manis supaya Ghani tidak merasa sedih.

...***...

Tawaran Pekerjaan Baru (REVISI)

"Sha, lo kok diam aja sih. Kenapa? Ada masalah sama ibu dan adik tiri lo, hem?" Lulu, salah satu rekan kerja Queensha menepuk pundak temannya itu.

Queensha yang saat itu sedang termenung, cukup tersentak beberapa saat ketika ada seseorang menepuk pundaknya. "Kamu? Kirain siapa," jawabnya setelah melihat Lulu berdiri dengan tatapan penuh tanda tanya.

Lulu menarik kursi yang jaraknya tak jauh dari mereka, kemudian duduk di bangku tersebut. "Lo pikir siapa? Mbak Puji? Manager kita enggak mungkin datang ke sini kali. Dia 'kan anti banget sama tempat-tempat kotor dan kumuh modelan begini," sahut gadis itu.

Sejak Lulu dipindahtugaskan ke restoran tempatnya bekerja saat ini, ia memang tidak begitu menyukai Puji sebab menurutnya manager mereka adalah seorang penjilat dan bermulut besar. Oleh karena itu, ia tak begitu menyukai Puji. Terlebih mereka sempat adu mulut beberapa bulan lalu hingga menyebabkan keretakan di antara keduanya.

Refleks, Queensha menepuk bahu Lulu dengan pelan. "Jangan sembarangan bicara. Ketahuan Mbak Puji, bisa kena teguran loh!" pungkas wanita itu menasihati rekan kerjanya.

Queensha menarik napas panjang sebelum menjawab pertanyaan Lulu. "Aku bingung banget, Lu, gimana caranya lepas dari dua benalu yang enggak tahu diri macam ibu dan adik tiriku. Sejak dulu, mereka tak pernah sekalipun membiarkan hidupku tenang. Mereka selalu mengusik dan mengancamku dengan ancaman yang sama. Lama-lama, aku capek terus menerus berurusan dengan mereka," keluh wanita itu. Ia tampak begitu frustasi ketika menceritakan Mia dan Lita kepada Lulu.

Mendengar masalah yang sama, Lulu mendengkus kesal. "Gue udah pernah bilang sama lo, jangan dikasih duit mulu, lama-lama mereka ngelunjak. Sesekali lo harus bersikap tegas kalau Nenek Lampir itu minta duit ke lo, bukan malah diam aja dan nurutin kemauan mereka. Kalau lo lemah, mereka semakin semena-mena sama lo. Ngerti?"

Queensha menyenderkan punggung di sandaran bangku. "Aku udah menolaknya, tapi mereka mengancam akan membuang dan menjual rumah peninggalan kedua orang tuaku. Kamu tahu sendiri, cuma rumah itu satu-satunya kenang-kenangan Papa dan Mama. Di rumah itu juga banyak kenanganku dengan mereka saat masih kecil."

"Kenapa enggak lo ambil aja sertifikat rumah itu? Sha, lo adalah ahli waris yang sah atas semua harta peninggalan kedua orang tua lo, bukan Nenek Lampir dan si Ganjen itu. Tante Mia dan Lita cuma orang asing yang kebetulan aja dipungut oleh mendiang Papa lo dari jalanan hingga derajatnya terangkat. Jadi, setelah Papa lo meninggal, mereka bukan siapa-siapa lo lagi."

Entah dengan cara apa lagi Lulu menyadarkan rekan kerjanya itu untuk bersikap tegas dan tak mudah ditindas oleh Mia dan Lita. Bukannya ia tidak suka mendengar curhatan Queensha, hanya saja ia tak mau jika ada seseorang yang berbuat semena-nena terhadap orang terdekatnya.

"Masalahnya sertifikat itu disimpan oleh Mama Mia dan aku enggak tahu ditaruh di mana, Lu. Kalaupun tahu, udah dari dulu aku rebut dan kuusir mereka dari rumah itu."

Suasana kembali hening seperti sedia kala. Tak ada satu pun dari dua wanita itu berkata-kata.

"Lalu, apa yang akan lo lakuin sekarang? tanya Lulu memecah keheningan.

Queensha melirik sekilas ke samping, lalu menatap langit-langit ruangan tersebut. "Sepertinya aku mau nyari kerjaan lain, Lu. Hanya mengandalkan gaji dari restoran ini, enggak akan cukup untuk membungkam mulut mereka. Aku butuh uang yang banyak dan menyusun strategi untuk merebut kembali apa yang seharusnya jadi milikku. Untuk sekarang hanya itu yang aku bisa."

Lulu merangkul bahu Queensha hingga posisi mereka berdekatan. "Lo mau kerja apaan dengan ijazah SMA? Kantoran? Jangan mimpi, Sha. Paling banter kita tuh cuma jadi pelayan dan cleaning service."

Queensha kembali menghela napas kasar. Apa yang dibicarakan Lulu benar adanya.

Dulu, saat mendiang papanya Queensha masih hidup, Mia dan Lita menghasut Gunawan untuk tidak menuruti permintaan wanita itu. Berkat ucapan manis dan rayuan maut, akhirnya Gunawan setuju dan tak mengabulkan keinginan putri tunggalnya itu. Padahal saat itu kehidupan mereka masih berjaya, bisnis di bidang transportasi maju dan banyak pemasukan masuk ke rekening. Namun sayang, Queensha tak dapat merasakan itu semua.

"Kerja apa aja, Lu, asalkan halal. Daripada aku jual diri, malah nambah dosa. Kasihan mendiang Mama dan Papaku di sana kalau lihat aku menjajakan tubuh ini hanya demi sesuap nasi."

Seulas senyuman mengembang di bibir Lulu. "Jadi babysitter, mau enggak? Kebetulan ada majikan dari saudara gue sedang cari pengasuh untuk cucu mereka. Usia anak itu sekitar empat tahunan, jenis kelamin perempuan. Dari info yang gue dengar, gajinya lumayan besar cukup untuk lo tabung dan selebihnya bisa lo lemparin ke wajah ibu dan adik tiri lo. Selain itu, makan dan tempat tinggal ditanggung mereka. Jadi gaji lo sebulan itu bersih, tanpa potongan."

"Serius? Aku mau kalau begitu. Kapan bisa mulai kerja?" tanya Queensha antusias. Informasi ini bagaikan angin segar bagi wanita itu. Wajahnya yang semula muram kini berseri kembali.

Lulu menurunkan tangannya yang berada di bahu Queensha, lalu mengeluarkan telepon genggam dari saku celananya. "Gue kirimin nomor asisten rumah tangga dari pemilik rumah itu. Nanti lo bisa komunikasian sama dia lewat WhatsApp," ujarnya. "Semoga tempat kerja lo yang baru ini bisa memberikan ketenangan, ya. Gue denger sih si pemilik rumah killer banget dan jutek abis. Kalau emang benar, bisa dipastikan Tante Mia dan Lita enggak berani datang dan gangguin lo lagi."

Alih-alih merasa takut, Queensha justru tersenyum lebar hingga memperlihatkan deretan giginya yang putih dan rapi. "Di balik killer-nya sikap seseorang, akan ada satu titik kebaikan di dalamnya. Aku yakin, sebetulnya si pemilik rumah itu orang baik hanya saja kita tak pernah melihat kebaikannya itu."

"Thanks, Lu, kamu udah bantuin aku. Aku janji saat gaji pertamaku cair, kuajak kamu makan enak di restoran manapun kamu mau."

***

Sementara itu, di kediaman Wijaya Kusuma, mbak Tina bergegas menemui Ghani sesaat setelah mendapat pesan dari Queensha. "Den Ghani, saya baru aja dapat pesan katanya ada yang mau melamar jadi babysitter Neng Aurora. Kebetulan dia adalah sahabat dari sepupunya teman saya. Gimana, Aden mau ketemu langsung dengan orangnya?"

Ghani yang saat itu sedang membaca rekam medis pasien yang akan dia operasi besok lusa segera menghentikan sejenak kegiatannya tanpa menaruh benda pipih itu dari genggaman tangan. "Minta dia menemuiku besok jam dua belas siang. Jangan sampai telat karena aku harus berangkat ke rumah sakit, ada rapat dengan Ayah dan dewan direksi."

Dengan patuh mbak Tina menjawab, "Baik, Den. Saya akan sampaikan pada yang bersangkutan.

...***...

Pertemuan Ghani dan Queensha (REVISI)

"Sha, antarkan makanan ini ke meja nomor dua belas. Kalau yang ini ke meja nomor dua puluh. Awas, jangan sampai tertukar!" ujar Yanti, salah satu koki restoran tempat Queensha bekerja.

"Baik, Mbak!" Dengan cekatan Queensha membawa nampan itu ke nomor meja yang telah disebutkan sebelumnya.

Hari ini keadaan restoran cukup ramai sebab restoran tempat Queensha bekerja dijadikan tempat untuk lomba mewarnai antar sekolah TK. Jadi jangan heran apabila saat ini Queensha dan teman-temannya tampak begitu sibuk melayani para customer.

Queensha merogoh saku celana dan melihat jam yang tertera di layar ponsel di sela kegiatannya melayani customer. "Aduh, gimana aku bisa pergi dari sini jika customer terus berdatangan?" gumam wanita itu saat melihat waktu sudah menunjukan pukul satu siang.

Siang ini Queensha diminta datang ke kediaman Wijaya Kusuma untuk melakukan interview. Namun, sejak pukul sebelas hingga detik ini para pelanggan selalu berdatangan hingga membuat wanita itu kewalahan.

Lulu yang melihat temannya kebingungan lantas mendekat. "Lo kenapa, Sha?" bisik wanita itu tepat di telinga Queensha.

Dengan lirih Queensha menjawab, "Aku diminta datang untuk interview, Lu. Namun, melihat ramainya suasana di sini aku jadi bingung gimana caranya pergi dari tempat ini."

"Lo udah minta izin belum sama supervisor kita?"

"Udah, tapi tadi sempat terjadi adu mulut antara Mbak Puji dan Mas Rama. Mas Rama sih ngasih izin ke aku, tapi-"

"Enggak usah lo jelasin, gue udah tahu kelanjutannya," sergah Lulu sebelum Queensha menyelesaikan ucapannya. Ia mengedarkan pandangan ke sekitar, situasi di restoran memang sangat ramai. "Kalau lo emang udah dikasih izin sama Mas Rama, pergi aja enggak apa-apa biar gue dan yang lain handle di sini."

"Tapi aku enggak enak sama kalian," tolak Queensha halus. Walaupun keinginannya untuk pergi sebentar dari tempat itu, tapi ia tidak tega jika harus menyusahkan Lulu dan rekan yang lain.

Tangan Lulu melambai ke atas. "Alah, enggak usah ngerasa enggak enak segala. Kalau lo mau pergi, pergi aja sana sebelum Mbak Puji sadar jika salah satu pelayannya pergi di saat jam kerja."

Queensha memandangi Lulu dengan serius. "Betulan enggak apa-apa?"

Lulu berdecak kesal. "Ish, kalau gue udah bilang enggak apa-apa, ya artinya enggak masalah. Udah sana siap-siap, dandan yang cantik. Siapa tahu hidup lo seperti Cinderella, dipersunting majikan sendiri." Ia mendorong pundak Queensha hingga tubuh wanita itu sedikit terhuyung.

Bibir merah ranum cemberut mendengar ucapan Lulu. "Ngawur, kamu! Niatku bekerja untuk cari duit, bukan cari jodoh." Queensha mendengkus kesal. "Ya udah, kalau gitu aku pergi sekarang. Sorry ya, udah ngerepotin kamu dan yang lain.

Setelah mengganti seragam kerja dengan kemeja putih dan celana bahan warna hitam, Queensha keluar dari tempatnya bekerja. Satu map warna coklat berada dalam dekapan. Di dalam map itu berisi curiculum vitae (CV), biodata serta foto miliknya.

"Bismillah, aku yakin pasti bisa!" Queensha coba menyakinkan diri sendiri jika pekerjaan itu dapat ia dapatkan.

Wanita cantik berusia dua puluh lima tahun melangkahkan kakinya yang jenjang keluar dari restoran tersebut. Ia berdiri di bahu jalan, menunggu ojek online yang dipesan sebelumnya sambil sesekali melirik arloji pemberian mendiang sang papa saat dirinya berusia tujuh belas tahun.

"Duh, lama banget sih. Kalau begini terus bisa telat aku," keluh Queensha.

Teriknya matahari membuat Queensha mengangkat tangan ke udara, menghalau sinar mentari yang masih setia memancarkan sinarnya. Netranya yang indah, bersinar bagai kilau mutiara memperhatikan orang-orang yang sedang lalu lalang. Pandangan mata wanita itu berhenti tatkala melihat seorang gadis kecil hendak menyebrang di zebra cross. Lalu, dari arah berlawanan tampak satu unit kendaraan roda empat melaju dengan kecepatan tinggi.

Detik itu juga jantung Queensha rasanya berhenti berdetak. Kilasan kejadian di masa lalu saat ia berusia dua belas tahun kembali muncul di benaknya. Masih terekam jelas bagaimana mendiang mama tercinta tewas di depan mata kepalanya sendiri.

Entah bagaimana ceritanya, sepatu pentofel hitam milik Queensha bergerak sendiri. Wanita itu berlari begitu saja tanpa disadari olehnya.

"Awas!" pekik Queensha sambil menarik tangan gadis kecil itu agar menjauh dari zebra cross. Akibatnya membuat mereka terjatuh menghantam aspal di bahu jalan. Beruntungnya kepala si kecil tidak membentur trotoar karena tubuhnya berada dalam dekapan Queensha.

Sementara itu, unit kendaraan roda empat yang tadi melaju dengan kencang berbelok ke kanan lalu menghantam gardu listri yang ada di pinggir jalan. Bunyi dentuman kencang membuat orang-orang di sekitar menjerit histeris dan suasana yang sedari tadi ramai semakin ricuh akibat kecelakaan tersebut.

Tubuh Queensha membeku di tempat. Ia tampak syok kala melihat bagaimana bagian depan mobil itu ringsek akibat menabrak gardu listri.

"Ya Allah, Neng Rora! Neng enggak apa-apa?" seru Ijah, salah satu ART yang saat itu sedang ditugaskan menemani si kecil ikut lomba mewarnai.

Queensha yang saat itu melamun langsung tersadar. Lantas ia segera melepaskan tubuh mungil si kecil yang tak lain bernama ... Aurora.

"Rora enggak apa-apa, Budhe. Untung diselamatin Kakak Cantik," sahut Aurora dengan mengerjapkan mata. Seulas senyuman mengembang di bibir tatkala matanya yang indah dan jernih bersitatap dengan netra Queensha. "Terima kasih, Kakak Cantik."

"Aduh, Neng, terima kasih banyak udah selamatin anak majikan saya. Kalau enggak mungkin saya bisa dipecat karena enggak becus ngurusin anak."

Tersenyum lebar walau telapak tangannya terasa perih akibat terkena gesekan aspal saat mendorong tubuh wanita paruh baya itu. "Tidak masalah, itu memang sudah menjadi kewajiban saya untuk menolong sesama. Terpenting Adik kecil ini baik-baik saja." Entah mengapa, ia merasa ada debaran halus di dada saat melihat bola mata Aurora. Perasaan wanita itu pun campur aduk, antara sedih dan bahagia dalam waktu bersamaan.

Namun, sebuah gada besar menghantam kepala Queensha. Ia teringat jika dirinya harus segera pergi interview sebelum lowongan pekerjaan itu diambil orang lain. "Ya udah, kalau gitu saya permisi dulu. Sampai jumpa, Adik Kecil." Tangan Queensha melambai di udara dan Aurora pun membalas lambaian tangan itu.

***

Beberapa menit kemudian, akhirnya Queensha tiba di tempat tujuan. Setelah membayar ongkos ojek, wanita itu mengayunkan kaki ke depan pintu gerbang yang menjulang tinggi ke awang. Rumah itu tampak mewah dan megah bak istana negeri dongeng.

"Permisi, Mbak. Kenalin, saya Queensha yang mau melamar jadi babysitter di rumah ini."

Tampak raut wajah mbak Tina, kepala asisten rumah tangga berubah panik. "Ayo, Neng, buruan masuk!" Tanpa mengucap apa-apa, dia segera menarik pergelangan tangan Queensha.

Queensha baru saja duduk di sofa dan mbak Surti hendak memanggil anak majikannya, Ghani sudah berdiri di depan pintu menghubung antara ruang tamu dan ruang keluarga.

"Siapa dia? Kenapa Mbak Tina sembarangan mengizinkan orang asing masuk ke rumah ini?" tegur Ghani. Ia tahu persis bahwa Rayyan tidak suka ada perempuan sembarangan berada di rumah tersebut.

Mbak Tina menundukan wajah, tidak berani menatap wajah Ghani. "Perempuan itu yang mau melamar jadi babysitter Neng Aurora."

Memasang wajah angkuh dan terkesan dingin, Ghani menjawab, "Minta dia pulang, aku enggak butuh pekerja yang tak bisa menghargai waktu!" tandas pria itu sambil berlalu begitu saja.

Matanya terbelalak dan bibir membulat sempurna. Percuma saja Queensha izin bekerja kalau pada akhirnya tidak jadi interview.

Queensha bangkit dan berjalan mengimbangi langkah panjang Ghani yang hendak menuju daun pintu. "Pak, bukannya saya tidak menghargai waktu, hanya saja tadi saat di perjalanan terjadi sedikit insiden menyebabkan saya datang terlambat. Jadi, tolong beri saya kesempatan. Please!" Ia sampai menangkup kedua tangan di depan dada, meminta belas kasih Ghani.

Akan tetapi, bukan Ghani namanya jika pria itu luluh dan memberi kesempatan pada Queensha. Pria itu tetap pada pendirian.

"Saya bisa mencari babysitter lain yang bisa kerja tepat waktu, bukan perempuan tukang ngaret macam kamu!"

"Ya ampun, Pak. Apa Bapak tidak kasihan pada saya? Saya udah jauh-jauh datang ke sini loh, tapi disuruh pergi lain." Lalu Queensha melirik arloji, waktu menunjukan pukul dua lebih sepuluh menit. "Lagi pula hanya terlambat sepuluh menit, Pak."

Langkah kaki Ghani terhenti secara tiba-tiba, membuat tubuh dan wajah Queensha menabrak punggung si dokter tampan. Queensha mundur beberapa langkah ke belakang, nyaris terjungal. Namun, dengan gerakan cepat Ghani menahan pinggang wanita itu.

Detik itu juga rasanya bumi tempat mereka berpijak berhenti berputar. Detak jarum jam tak lagi berdenting dan seisi rumah itu kosong kala kedua netra saling beradu pandang.

"Bagi saya, waktu sepuluh menit itu sangat berarti, Nona. Akan banyak pasien meninggal dunia jika saya tidak segera menolongnya!" Tanpa merasa berdosa, Ghani melepaskan tangannya yang melingkar di pinggang Queensha begitu saja hingga membuat bokong sang wanita mendarat kencang di lantai.

Sialan! Bokongku sakit banget! keluh Queensha sambil meringis kesakitan.

Melihat Ghani yang mulai menjauh, Queensha memaksakan diri bangkit dan mengikuti langkah Ghani kembali.

"Pak, tolong kasih saya kesempatan sekali lagi. Saya janji tidak akan-"

Suara Queensha mengambang di udara saat tiba-tiba seorang gadis kecil muncul di antara mereka.

"Papa!" seru Aurora sambil berhambur ke arah Ghani. "Rora kangen, Papa." Tangannya yang mungil melingkar di paha sang papa.

Tangan kokoh Ghani mengusap puncak kepala Aurora. "Papa juga kangen kamu, Nak. Gimana tadi lombanya, sukses?"

Si kecil Aurora mengangguk. "Sukses dong. Rora jadi juara tiga loh, Pa."

"Anak pintar!" puji Ghani. "Papa mau ke rumah sakit dulu. Rora di rumah sama Budhe Tina dan Budhe Ijah, sebentar lagi Kak Mayumi dan Kak Allan ke rumah. Jadi kalian bisa main bareng."

Aurora mengangguk. Ia melepaskan tangannya yang mungil dari pinggang Ghani. Kemudian ia sadar bahwa tidak hanya ada mereka berdua di teras rumah melainkan ada seseorang mematung di tempat dengan pandangan mata kosong.

"Kakak Cantik, kok di sini?"

...***...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!