WKS. Pulang Sendiri

"Sayang, maaf ... tapi kamu nggak pa-pa kan pulang sendiri? Aku harus pergi sekarang juga." Malam itu, Jio benar-benar syok karena mendapatkan kabar duka sedangkan dia harus mengantarkan Safira pulang ke rumahnya dan minta maaf pada Ibu Romlah. Namun ternyata ada musibah yang menimpa sang Tuan sehingga dia tidak bisa mengantar Safira untuk pulang.

"Loh, ada apa, Mas?" tanya Safira ikut khawatir.

"Kamu bisa pulang dulu, Sayang. Nanti kalau urusanku udah beres, aku akan segera menemui orang tua kamu, nggak pa-pa kan pulang sendiri?" Jio berkata dengan lembut, tetapi raut wajahnya tidak bisa disembunyikan dari rasa sedih yang mendalam.

"Iya, nggak pa-pa. Tapi kamu kasih tau aku dulu, ada apa? Dan ... kenapa kamu ganti baju serba hitam?" tanya Safira menatap Jio yang baru saja keluar dari walk in closet.

"Nenek Tuan Erlan meninggal. Aku harus segera kesana karena dia pasti butuh aku," jawab Jio seraya mengelus ujung kepala Safira kemudian mengecupnya lembut.

Safira terkejut, dia jadi ingat akan meninggalnya sang Ayah. Walaupun Safira tidak mengenal Erlan dengan baik, tetapi pria itu adalah Bos dari calon suaminya. Ditambah lagi, Erlan adalah pria yang hampir tidur dengannya.

Merasa tidak enak hati karena kabar duka itu, Safira memutuskan untuk ikut dengan Jio sebelum dia pulang ke rumahnya.

"Aku ikut, Mas. Setelah itu aku akan langsung pulang." Jio tidak bisa menolak dan mengiyakan permintaan Safira.

Jio pun membantu merapikan barang-barang milik Safira yang hanya beberapa saja ke dalam sebuah tas ransel kemudian keduanya bergegas pergi ke rumah sakit.

Sepanjang perjalanan Jio tidak mengatakan satu katapun. Fokusnya tidak teralihkan dari kemudi dan pikirannya benar-benar kacau karena kabar duka itu. Safira memaklumi sikap Jio karena memang Jio sudah bekerja bertahun-tahun disana.

Tiba di rumah sakit, Jio segera turun dari mobil dan setengah berlari menuju ruang rawat orang yang juga sudah dia anggap sebagai Nenek itu. Bahkan Jio hampir saja melupakan Safira yang ikut dengannya. Jio pun segera berbalik dan menggenggam tangan Safira.

"Sayang, nanti kamu boleh langsung pulang ya setelah mengucapkan bela sungkawa. Mungkin pemakamannya juga besok, jadi kamu nggak perlu ikut tinggal disini," kata Jio seraya mengusap bahu Safira.

Melihat Jio seperti itu, Safira hanya bisa menganggukkan kepalanya kemudian mengekor pada Jio.

Suara tangis di ruangan itu benar-benar membuat Safira ingat dengan kejadian beberapa tahun lalu saat dia kehilangan sang Ayah.

Jio langsung merengkuh bahu Erlan dan Erlan malah memeluknya. "Gue turut berduka cita. Lo harus kuat demi Nyonya dan Nona, Er," ucap Jio seraya menepuk bahu Erlan.

Setelah beberapa saat saling menguatkan lewat pelukan, mereka pun saling menatap dan mengangguk pelan. Safira segera menghampiri Erlan dengan sungkan.

"Saya ... turut berduka cita, Tuan Erlan," ungkap Safira dengan ragu dan tertunduk malu walaupun ini bukan pertemuan pertama mereka.

"Terima kasih," jawab Erlan kemudian mengalihkan perhatiannya pada Maminya.

Tidak lama dari itu, tiga orang masuk ke dalam ruangan tersebut. Safira tidak mengenal ketiga orang itu dan memilih untuk keluar dari ruangan yang penuh tangis tersebut.

Melihat Jio yang sibuk dengan pikirannya, Safira memilih untuk langsung pulang tanpa pamit pada Jio.

...***...

Malam itu, jalanan ibu kota cukup renggang karena turunnya hujan yang cukup deras. Safira menatap keluar jendela mobil yang berembun sambil memikirkan bagaimana dan apa yang sedang Jio lakukan saat ini.

Perjalanan pulangnya memakan waktu hampir tiga jam dan Safira mulai bosan karena tidak bisa menikmati malam yang seolah ikut berduka atas kepergian Nenek Erlan.

"Aku belum memikirkan alasan aku pergi terlalu lama sama Ibu. Apalagi Rendra pasti bertingkah syok khawatir saat tahu aku pulang nanti," gumam Safira masih meraba kaca mobil yang basah karena hujan.

Baru setengah perjalanan, ponselnya pun berdering dan itu panggilan masuk dari Jio. Namun Safira memilih untuk tidak menerima panggilan tersebut karena tidak mau menambah beban pikiran calon suaminya itu.

Tepat pukul sepuluh malam, Safira tiba di depan pintu rumahnya. Tangannya tertahan saat beberapa kali ingin mengetuk pintu agar sang Ibu mau membukanya. Sudah bisa dipastikan jika sang ibu pasti sedang istirahat di kamar.

"Safira!" Panggilan dari ujung gang di dekat rumahnya membuat Safira sontak menoleh. Seorang laki-laki segera menghampiri Safira yang sejak tadi melamun di depan pintu. "Kamu kemana aja beberapa hari ini, hm?" tanya seorang laki-laki yang tidak lain adalah Rendra.

Rendra memang sering sengaja main ke rumah Safira walau sekedar untuk basa-basi. Kebetulan dia juga satu Bos dengan Safira, hanya beda profesi saja. Safira sebagai guide dan Rendra sebagai orang kepercayaan Bos.

"Kerja, Kak. Kemana lagi," jawab Safira sedikit bernada ketus. Sebenarnya sudah banyak kali Safira mengatakan pada Rendra untuk menjauhinya karena dia sama sekali tidak tertarik dengannya.

Safira bahkan mengatakan pantang untuk jatuh cinta dengan laki-laki yang tinggalnya berdekatan dengan rumah yang dia tempati. Namun Rendra cukup giat untuk mendapatkan cinta Safira. Bahkan dia mengatakan jika cinta itu datang karena terbiasa bertemu.

"Kerja apa? Bos kita lagi pergi dan kita masih masuk minggu depan."

"Bukan urusan kamu, Kak. Aku kerja apa pun asalkan dapat uang untuk pengobatan Ibu."

"Aku udah pernah bilang sama kamu, kalau butuh uang tinggal bilang. Aku akan usahakan berapapun itu, kenapa kamu nggak nurut, hm?"

"Sudahlah, kamu bisa pulang, Kak! Aku capek." Rendra hanya menghela napas panjang menatap wanita di depannya itu sedang menunjukkan raut wajah tidak suka akan kehadirannya.

"Besok aku kesini ya? Kita bawa ibu kamu berobat. Beberapa hari ini aku liat Ibu kamu sakitnya semakin parah. Kamu mau anggap uang dari aku itu pinjaman nggak masalah. Kamu bisa bayar kapanpun kamu mau."

"Nggak perlu, Kak! Aku udah punya cukup uang untuk berobat Ibu. Jadi kamu nggak perlu repot-repot kesini." Lagi-lagi Safira mendengar laki-laki di depannya itu menghela napas panjang.

"Tap-"

"Safira ... Rendra! Kalian ngapain malam-malam berdiri di depan pintu begitu? Dari mana kalian?"

Perhatian Safira dan Rendra pun teralihkan saat ada satu pria matang yang datang menghampiri keduanya.

"Bang Ferdi, jangan salah paham. Ini hanya kebetulan," jawab Safira menjawab pertanyaan Ferdi.

"Aku cemburu kalau begini ceritanya. Kamu selalu menolak untuk mengobrol berdua denganku, dan sekarang ... kalian jam segini masih di depan pintu rumah. Kamu juga bawa tas ransel lagi," kata Ferdi menatap tas ransel yang dibawa Safira kemudian bergantian menatap tajam Rendra yang terlihat tidak suka dengan kedatangannya.

"Astaga, Tuhan ... tolong ambil saja kedua laki-laki di depanku ini. Pindahan mereka ke dimensi lain," batin Safira seraya memutar malas bola matanya menatap Rendra dan Ferdi yang sedang beradu mata.

........

Terpopuler

Comments

Dewi Marcella ✨

Dewi Marcella ✨

dimensi lain 🤣

2023-03-10

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!