Reza masuk ke dalam kamarnya mengambil uang untuk diberikan pada Zahra. Ada rasa ingin melindungi yang muncul dalam hatinya. Setelah mengambil uang, Reza langsung menuju ke kamar Zahra untuk memberikan uang itu.
Tepat di depan pintu, Reza terkejut karena tiba-tiba Zahra muncul dari dalam. "Astaghfirullah, Mas bikin aku kaget saja," seru Zahra mengelus dadanya.
"Lagian kamu mau kemana? Buru-buru banget," sahut Reza.
Zahra tersenyum. "Aku mau nyamperin Mas Reza. Mau infoin kalau aku diterima kerja. Besok wawancaranya," ucap Zahra dengan senyum semangat.
"Wah bagus sekali, ya sudah semoga wawancaramu besok lancar ya! Ini uang yang kamu butuhkan. Simpan saja dulu, kamu tidak usah mikir kapan mengembalikannya. Kerja saja yang santai jangan terlalu dipaksakan," ucap Reza dengan sangat perhatian.
"Terima kasih Mas, aku jadi merasa tidak enak," sahut Zahra canggung.
Reza tersenyum. "Tidak apa-apa, aku ikhlas membantumu. Sudah ya aku kembali ke kamar dulu. Besok berangkatnya bareng saja sama aku, sekalian aku pergi ke kantor."
Zahra mengangguk mengiyakan, setelah itu Reza pergi dan kembali ke kamarnya. Zahra juga ikut masuk ke dalam kamar, setelah itu dia mengambil handphonenya dan mencoba untuk menghubungi Rizal. Berkali-kali mencoba ternyata tetap saja handphone Rizal tidak aktif.
"Mas kamu apa sesibuk itu? sampai kamu lupa menghubungi aku. Aku ingin bicara sesuatu Mas," gumam Zahra di dalam kamarnya.
Sejak pindah, Rizal belum menelepon istrinya sekalipun. Selalu saja nomornya tidak aktif. Zahra mempunyai dugaan tapi dia tidak mau suudzon karena dia belum tahu kebenarannya. Meski selalu mendapatkan perlakuan buruk, Zahra tetap saja berpikir positif terhadap semua orang.
Zahra meletakkan kembali handphonenya, dia beranjak dari kasur dan menuju ke lemari untuk mencari pakaian yang cocok buat wawancaranya besok. Zahra memilah deretan bajunya tapi tidak ada yang cocok.
"Kok tidak ada yang cocok ya, bagaimana ini? Sudah tidak ada waktu untuk membeli," gumam Zahra pelan. Tak lama kemudian, terdengar ketukan pintu dari luar. Zahra menutup lemarinya dan segera membukakan pintu.
"Zahra," sapa Pak Roni, dia adalah ayah mertua Zahra.
"Papa. Papa sudah pulang?" seru Zahra dengan bersalaman dan mencium tangan ayah mertuanya.
"Iya, baru saja sampai. Ini Papa ada oleh-oleh buat kamu. Semoga kamu suka ya." Pak Roni memberikan sebuah paper bag pada menantunya.
Zahra menerima paper bag itu. "Wah, terima kasih, Pa. Papa baik sekali sama aku," ucap Zahra terharu. Di dalam keluarga itu, Pak Roni lah yang bersikap baik pada Zahra. Dia tidak pernah membandingkan ataupun memarahi menantunya itu. Pak Roni hanya tidak cukup tegas dengan sikap istrinya yang bersifat kejam.
"Sama-sama semoga kamu suka ya! Nanti malam kamu tidak usah masak, karena Papa nanti malam delivery. Papa ingin makan malam bersama kalian."
"Apa Mas Rizal juga datang, Pa?" tanya Zahra.
Pak Roni langsung tersenyum tipis. Dia kasihan jika melihat nasib Zahra yang rela di madu oleh putranya sendiri. "Rizal datang kok, kenapa? Apa Rizal tidak pernah menghubungimu?" tanya Pak Roni penasaran.
Zahra menggelengkan kepalanya. "Aku hanya bertanya saja Pa, karena hari ini handphone Mas Rizal tidak aktif."
"Iya Rizal dua hari ini dinas luar kota, mungkin masalah jaringan. Nanti kamu tanya lagi ya alasan dia kenapa? Papa istirahat dulu." Pak Roni beranjak dari kamar Zahra dan kembali ke kamarnya.
Zahra masuk ke dalam kamarnya dan membuka paper bag itu. Di dalamnya terdapat 2 kemeja yang ukurannya sangat pas. "Wah, kenapa pas sekali. Aku bisa memakai ini untuk wawancara besok," ucap Zahra senang.
Malam hari sekitar jam tujuh malam, semua orang sudah bersiap di meja makan. Seperti biasa Zahra menyiapkan semua makanan di meja. Namun, ada satu masalah yaitu Rizal belum datang. Zahra sedikit cemas karena dia sudah merindukan suaminya.
Beberapa menit kemudian, handphone Bu Silvi berdering. Dia langsung mengangkat panggilan itu. "Halo Sayang, kamu sudah sampai mana? Mama dan Papa sudah menunggumu sejak tadi."
Ternyata yang menelepon adalah Viona. Dia mengabarkan kalau tidak bisa hadir dalam makan malam tersebut.
"Baiklah Sayang, Mama mengerti. Kalau begitu sudah dulu ya, kamu hati-hati di rumah," ucap Bu Silvi pada Viona.
"Kenapa Ma, apa Rizal tidak jadi datang?" tanya Pak Roni pada istrinya.
Bu Silvi melirik ke arah Zahra lalu menjawabnya dengan sinis. " Iya Pa, Rizal masih di luar kota jadi tidak bisa datang. Tapi baguslah kalau dia tidaksering ke sini. Jadi proses calon cucuku tidak terganggu."
Zahra menarik nafas dalam, dia mulai menahan rasa sesak di dada setiap ibu mertuanya berbicara dengan nada menyindir.
"Sudah-sudah, Papa tidak ingin mendengar kata-kata yang tidak sepantasnya di meja makan ini," seru Pak Roni pada istrinya. Dia sudah sangat tahu karakter istrinya itu.
Makan malam berlangsung, Zahra makan dengan tenang. Di sebelahnya juga ada Reza yang diam-diam selalu memperhatikannya. Tak lama kemudian, Zahra memberanikan diri untuk berbicara. "Papa, Mama, aku ingin mengatakan sesuatu!"
"Iya, kamu mau mengatakan apa Zahra?" tanya Pak Roni.
"Emm, begini. Besok aku minta izin untuk menghadiri wawancara kerja," jawab Zahra dengan gugup.
Bu Silvi langsung meletakkan sendoknya dengan kasar hingga membuat semua orang kaget.
"Tidak bisa, aku tidak setuju, kamu harus tetap di rumah. Kalau kamu kerja siapa yang akan membereskan rumah nanti?" sahut Bu Silvi dengan nada marah.
"Sebelum bekerja aku akan menyelesaikan semua pekerjaan dulu Ma," ucap Zahra.
Pak Roni pun langsung menengahi perdebatan itu. "Ma, seharusnya kamu dukung Zahra. Mama tidak bisa berbuat sewenang-wenang. Zahra masih mempunyai hak untuk memilih."
"Jangan dengar Mama mu ya Zahra. Kamu boleh kok bekerja. Memang kamu mau kerja dimana?"
"Zahra di terima kerja di Butik, Pa," jawab Zahra gugup.
"Papa dukung kamu, tetap semangat ya! Jangan mudah menyerah."
Zahra mengangguk senang akhirnya mendapatkan izin juga. Melihat Zahra tersenyum membuat Reza juga ikut tersenyum. Reza mulai ada perasaan untuk adik iparnya itu.
Melihat Zahra yang tersenyum senang membuat Bu Silvi kesal. Dia langsung mengirim pesan pada Viona.
[Sayang, besok Mama ingin ketemu sama kamu. Ada hal penting yang akan Mama bicarakan sama kamu]
Bu Silvi sudah mengirimkan pesannya pada Viona. Entah apa yang akan dibacakannya. Setelah itu makan malam pun berlangsung dengan diam. Tidak ada satupun yang mengobrol.
Keesokan Pagi.
Zahra bangun seperti biasanya. Dia mandi setelah itu melaksanakan ibadah. Selasai ibadah, Zahra bersih-bersih dan membantu Bi Surti yang memasak di dapur.
"Bi, apa yang bisa aku bantu?" tanya Zahra pada Bi Surti.
"Non, mending siap-siap saja buat pergi kerjaanya. Bibi bisa kok mengerjakannya sendiri," sahut Bi Surti.
"Tidak apa-apa, Bi. Aku lagi semangat hari ini."
Meski mendapat penolakan dari Bi Surti, Zahra tetap membantu pekerjaannya. Beberapa jam kemudian, masakan telah siap. Semua orang turun ke bawah untuk sarapan.
"Zahra kamu tidak ikut sarapan sekalian?" tanya Pak Roni.
"Iya Pa, Zahra ingin berganti baju sebentar," jawab Zahra, setelah itu dia naik ke atas untuk berganti baju.
Zahra berlari naik ke tangga, langkahnya terhenti ketika ada Reza yang turun ke bawah. Zahra menyapa kakak iparnya itu. "Selamat pagi Mas."
Reza tersenyum. "Pagi Zahra, kok kamu belum siap-siap? Jadi pergi bareng kan?"
"Oh, ini mau berganti baju Mas. Mas Reza sarapan saja dulu, nanti aku akan nyusul," jawab Zahra.
"Oke, aku tunggu di bawah ya."
Setelah itu Reza turun ke bawah dan Zahra masuk ke dalam kamarnya. Di bawah sudah ada Pak Roni dan juga Bu Silvi yang juga sedang sarapan.
"Pagi Pa, Ma!" sapa Reza pada orang tuanya.
"Pagi," jawab Pak Roni.
"Oh ya, Za. Zahra mau pergi wawancara, mending kamu bareng dia saja kalau jalannya satu arah," ucap Pak Roni.
"Iya Pa, aku sudah mengajak Zahra untuk pergi bareng."
Bu Silvi hanya mengamati percakapan antara Reza dan ayahnya. Dia tidak bisa protes ketika Reza ada di depannya. Bu Silvi sedikit takut jika Reza sudah berbicara apalagi menentangnya. Beberapa menit kemudian, Zahra turun dari atas dengan pakaian yang rapi. Dia mengenakan blues yang dibelikan oleh ayah mertuanya.
"Baju itu pas sekali untukmu Zahra," seru Pak Roni memuji menantunya.
"Papa membelikan dia baju? Apa tidak salah?" seru Bu Silvi.
Senyuman Zahra hilang seketika karena sikap ibu mertuanya. Reza yang melihat itu pun merasa tidak senang.
"Zahra cepat duduk dan sarapan, sebentar lagi kita berangkat," ucap Reza menyela ucapan ibunya.
"Sudahlah Ma. Mama ini kebiasaan sekali, Papa kan susah pernah bilang kalau di meja makan usahkan berbicara baik-baik."
"Kalian itu bapak sama anak sama saja. Napsu makan ku hilang seketika." Bu Silvi meletakkan sendoknya lalu pergi dari meja makan.
Zahra hanya diam saja, dia merasa tidak enak pada ayah mertuanya. "Maaf Pa. Sudah membuat Papa ribut sama Mama."
Pak Roni menggelengkan kepalanya. "Tidak apa-apa, sekali-sekali perlu membantah ucapannya. Papa hanya kasihan sama kamu. Menurut Papa kamu ini menantu yang baik, tapi entah kenapa Mama kamu begitu kejam."
Zahra hanya tersenyum mendengar perhatian dari ayah mertuanya. Setelah itu dia sarapan dengan cepat. Lima belas menit kemudian, Zahra selesai sarapan. Dia langsung membereskan semua piring dan segera berangkat bersama dengan Reza.
"Zahra ayo kita berangkat, itu tugas Bu Surti. Kamu harus datang tepat waktu di hari wawancaramu," seru Reza pada adik iparnya.
"Iya Mas, sebentar aku ambil tas dulu." Zahra mengambil tasnya kemudian berpamitan pada ayah mertuanya. "Zahra pergi dulu Pa, doakan aku semoga di terima di butik itu."
"Iya hati-hati, semoga wawancaramu lancar ya," jawab Pak Roni.
Setelah itu Zahra berangkat bersama Reza. Bu Silvi mengamati menantunya itu dari atas balkon. Raut wajahnya sangat kesal karena Zahra mendapatkan pembelaan dari suami dan juga anak tirinya.
"Dasar wanita rubah, berani sekali kamu mencari perhatian di rumah ini. Awas saja aku tidak akan membiarkan ini terjadi. Aku harus bertemu dengan Viona, jangan sampai si wanita rubah itu tenang di rumah ini," gumam Bu Silvi dari atas balkon.
Bu Silvi langsung masuk ke dalan setelah melihat Zahra yang sudah pergi. Dia ingin pergi ke rumah Viona untuk membahas sikap Zahra. Bu Silvi mengambil tasnya kemudian dia bersiap untuk pergi.
Pak Roni pun bertanya pada istrinya. "Mau kemana Ma? Pagi-pagi sekali?"
"Mau ke rumah menantu ku, pagi-pagi sudah membuatku kesal saja," jawab Bu Silvi dengan nada ketus.
Pak Roni menarik nafas panjang, dia benar-benar bingung menyikapi watak istrinya itu. Bu Silvi pergi dengan menaiki taksi, hanya butuh dua puluh menit saja untuk sampai di rumah Viona.
Sesampainya di sana, Bu Silvi langsung turun dan masuk ke dalam rumah menantu kesayangannya itu. Kebetulan Viona sedang berada di luar.
"Sayang, pagi-pagi sudah rajin saja," sapa Bu Silvi pada menantunya.
"Iya Ma, ini hanya menyiram bunga saja kok untuk kesibukan karena Rizal belum sampai rumah. Ada masalah apa Ma?" Viona bertanya pada ibu mertuanya.
Bu Silvi duduk di kursi lalu menjawab pertanyaan menantunya. "Begini, Zahra membuat ulah di rumah. Dia mencuri perhatian Papamu dan juga Reza dengan muka sok polosnya. Kamu tahu Vio, Mama sangat kesal sekali. Apalagi sekarang dia akan bekerja, karena Mama sengaja menyita uang bulanannya. Sepertinya Rizal belum tahu tentang hal ini, mungkin dia belum mengadu pada Rizal."
Viona tersenyum sinis. "Tentu saja dia tidak bisa menghubungi Rizal Ma, karena aku sudah menyuruh Rizal untuk tidak menghubunginya. Lagian Rizal juga sangat sibuk sekali, aku saja jarang bertelepon dengan Rizal, Ma."
"Bagus jangan sampai si wanita rubah itu punya kesempatan untuk menghubungi Rizal. Sayang, kamu tahu. Mama itu curiga dengan Reza, sikapnya sangat aneh di rumah. Anak itu diam-diam menaruh perhatian pada Zahra. Mama jadi berpikir kalau dia menaruh perasaan pada adik iparnya itu."
Ucapan Bu Silvi membuat wajah Viona senang. "Bagus dong Ma, biarkan Reza mendekati Zahra. Jadi kita tidak perlu capek-capek mencari siasat untuk menyingkirkan wanita itu. Mama tahu kan apa yang sedang aku pikirkan?"
Bu Silvi terdiam dia mencoba mencerna ucapan menantunya. "Kamu benar Sayang. Mama jadi lega sekarang, memang kamu menantu paling pintar. Mama jadi tidak sabar menunggu adegan selanjutnya."
"Ya Mama hanya perlu menyimak saja, dan lakukan hal-hal kecil untuk menghiasinya agar tidak membosankan." Viona terus memprovokasi ibu mertuanya. Dia bahkan lebih licik dari Bu Silvi.
"Iya, Mama akan ikuti cara kamu yang seperti ini. Sepertinya akan sangat efektif sekali jika kita berbuat secara diam-diam."
"Tentu dong Ma. Rizal hanya milikku, Ma. Bukan si wanita bodoh itu," ucap Viona dengan sinis.
"Bagaimana Sayang? Apa sudah ada tanda-tanda kamu hamil?"
"Sepertinya sudah Ma, aku sudah telat datang bulan. Tapi belum periksa ke dokter, aku menunggu Rizal kalau pulang saja. Semoga hasilnya positif," ucap Viona dengan mengelus perutnya yang masih rata.
"Pasti Sayang, Mama sangat yakin kalau kamu pasti hamil. Jadi tidak sabar menanti cucuku lahir. Kamu harus jaga kesehatan ya, jangan terlalu capek. Oke!"
"Iya Ma, aku pasti akan menjaga kesehatan demi cucu kesayangan Mama."
Bu Silvi sangat senang mendengar kabar dari Viona. Dia sudah benar-benar terobsesi, sehingga melakukan hal buruk terhadap Zahra.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments
blecky
berhrapa plah mndul atau lau hmil anakx cacat biar nyaho tu nenek lmpir
2023-03-30
0
Hanipah Fitri
Rubah yg sebenarnya gak nyadar kalau dirinya adalah rubah nya
2023-03-10
1
SENJA ROMANCE
Nih orang benar benar lampir, bentar ku panggil pasukan lampir @Miss Peachy🍑 emak Ndut @Puspa Herliyah kalian bukan calon mertua macam lampir seperti dia kan?
2023-03-03
0