Bab 3

"Sungguh ini berat bagiku ayah, tapi kau pernah menggenggam tangan kecilku sewaktu dulu dan berkata padaku. Alona ayah adalah gadis yang kuat ya nak" Dialog Alona pada dirinya sendiri sembari menahan getir dihatinya sekali lagi.

Memang tak kan ada lagi sosok pelindung bagi dirinya, tapi setidaknya masih ada sosok untuk membuatnya bertahan agar lebih kuat lagi di hari esok.

Jam bergulir begitu cepat, dan tak terasa pagi pun telah tiba. Alona yang sepanjang waktu duduk dan tertidur di bangku tunggu itu kini terbangun untuk melihat kondisi sang ibu dari balik kaca kamar.

*

*

*

"Pagi Bu Alona" sapa seorang suster di pagi hari dari balik punggungnya.

"Yah, pagi sus" sahutnya lembut.

Terlihat seorang suster dan beberapa perawat lainnya tengah masuk kedalam ruangan sang ibu, untuk mengecek seluruh alat dan monitor yang berada didalam ruangan itu.

Masih dengan tatapan yang setia, Alona memandangi dari balik kaca setiap kerja para perawat yang berada didalam sana.

"Permisi" seorang memanggilnya dengan lembut dari belakang.

"Ah, iya" sahut Alona sedikit terkejut dan berjingkit.

"Maaf Bu, jika saya mengagetkan ibu. Apa bisa ikut saya ke kasir sebentar?" ajaknya.

"Apa ini masalah uang lagi, apa yang harus aku berikan padanya kali ini" gumam Alona dengan pilu dalam hatinya.

Tapi langkah kakinya tetap berjalan dan mengikuti perintah seorang perawat tersebut. Benar saja, setibanya disana Alona pun sudah diberikan secarik kertas untuk biaya sang ibu hari ini.

"Berikut adalah rincian biaya ibu Mirna hari ini ya Bu, tolong segera diselesaikan hari ini juga. terimakasih" terang seorang petugas padanya.

Bukan angka main-main yang tertera pada selembar kertas tersebut, cukup membuatnya tercengang saat itu. Bagaimana tidak, jumlah uang tersebut masih belum Alona miliki saat ini. Bahkan sampai detik ini, Alona masih bertahan untuk tidak mengisi perutnya demi mengumpulkan uang.

Dengan wajah yang sedikit murung ia perlahan berjalan meninggalkan tempat tersebut.

BRAKK

Tabrakan yang tak terelakkan di depan meja kasir, tas beserta isi didalamnya berserakan keluar sebagian. Alona yang terkejut segera memungut semua barang miliknya yang berhamburan dilantai.

"Maaf, maafkan saya" tutur Alona sembari menundukkan kepala dan menutup matanya dengan erat sebagai tanda penyesalan dirinya.

Seorang wanita dengan tubuh lebih besar darinya dan memiliki rambut berwarna pirang dihadapannya seketika mengulurkan tangannya, untuk memberikan secarik kertas milik Alona yang terjatuh.

"Ini punyamu?" tanya wanita itu.

"Ah iya, ini punya saya" sahutnya.

"Siapa yang sakit?"

"Ibu" jawaban Alona kali ini bergetar.

Beberapa detik kemudian, sang wanita tersebut mulai menatap Alona dari ujung rambut hingga kakinya perlahan.

"Kau sanggup membayar itu?" pertanyaan wanita itu sedikit membuat Alona gugup.

"Entahlah" jawab Alona.

"Aku bisa membantumu jika kau mau, dan aku rasa sangat muda bagimu untuk mendapatkan uang itu dalam waktu yang cepat" imbuhnya memberikan penawaran.

Kata demi kata yang ditawarkan pada Alona saat itu, bagaikan udara segar baginya. Karena dirinya memang tengah membutuhkan sebuah jalan keluar untuk jalan yang sudah buntu baginya saat ini.

"Hubungi aku jika kau berminat" sambungnya dengan memberi sebuah kartu nama yang berisikan namanya dan nomor telepon miliknya.

"Mami Neli?" Eja Alona dengan senyum bahagia di pipinya.

"Yah panggil saja dengan mami, itu cukup bagiku" imbuhnya sembari meninggalkan dirinya.

"Baik, terimakasih. Secepatnya aku akan menghubungi mu mam!" teriak Alona dengan wajah gembira.

Waktu itu, pukul 10 pagi Alona teringat akan perkataan ci Mei yang memintanya untuk datang ke tempat kerja hari ini.

Byurr

Suara basuhan air yang telah terjatuh dari wajah cantiknya dikamar mandi. Gemiricik air yang berjatuhan dari keran air tersebut, membuat Alona memiliki wajah segar dipagi hari ini.

Dengan langkah kaki yang penuh percaya diri, masih mengenakan baju yang sama Alona memutuskan untuk berjalan kaki ke tempat dirinya dulu bekerja. Perjalanan yang cukup jauh harus ia tempuh, tapi sekali lagi ia memang harus berhemat untuk sang ibu bagaimanapun caranya.

Setelah cukup lama berjalan, kurang lebih 1 jam lamanya ia baru tiba didepan toko roti milik ci Mei.

"Masih punya nyali kau datang kemari" sapa seorang rekan kerjanya.

Namanya Hesti, dia begitu membenci Alona selama ini. Karena Hesti tak ingin, ia kalah pamor dari paras cantik Alona.

Mendapati hal itu, Alona hanya tersenyum tipis pada rekan kerjanya itu. Setelah gerai tersebut dibuka, seperti biasa ci Mei pun datang menghampiri toko rotinya untuk memberikan uang modal bagi tokonya tersebut.

"Masuklah" ajak ci Mei pada Alona.

Rasa sedih sedikit menelisik pada relung jiwa Alona saat itu, betapa tidak karena ini adalah kali terakhir ia menatap setiap sudut tempat dimana ia mengumpulkan pundi-pundi rupiah selama ini. Tangannya terlihat memegangi setiap rak roti yang biasa ia bersihkan untuk menata para roti hangat yang siap dijual dipagi hari.

Melihat pemandangan itu, sebagai seorang bos ci Mei sebenarnya tak tega hati untuk memecat dirinya. Baginya Alona memang anak yang memiliki dedikasi tinggi ketika sedang bekerja, tapi mau bagaimana lagi sebagai seorang atasan ia tidak ingin jika karyawan yang lain sampai merasa iri atau tidak nyaman dengan kinerja buruk Alona belakangan ini.

"Ambil ini, aku sudah memberikan hak terakhirmu disini. Semoga kau bisa menemukan tempat baru yang lebih baik dari tempatku" Ucap ci Mei dengan memberikan amplop coklat.

"Terimakasih" sahut Alona dengan lembut.

Tak ada kata perpisahan yang terucap dari bibirnya kala itu, karena bagi Alona toko roti itu masih seperti rumahnya sendiri.

Krincing

Bunyi suara pintu toko roti tersebut jika dalam keadaan dibuka kembali. Suara itupun membuat Alona semakin rindu nantinya.

Ketika dirinya masih beberapa langkah meninggalkan toko ci Mei, tiba-tiba saja ia dihadang oleh dua orang preman yang sering datang menghampiri dirinya dirumah dengan sang ibu.

"Berikan uang itu padaku!" sentak seorang pria berkepala plontos.

"Pandai kali kau bersembunyi dari kami, rumahmu itu hampir kami robohkan tadi. Sekian menit aku gedor-gedor disana tak ada satupun yang membuka. Rupanya disini dirimu" terang preman satunya.

"Ibu dirumah sakit" terang Alona memberikan sebuah alasan.

"Nggak mau tau aku tentang ibumu, cepat berikan uang itu atau tidak aku akan ambil paksa" ucap preman itu dengan kasar.

Melihat dari kejauhan, ci Mei yang sedari tadi melihat pemandangan itu dari dalam toko rotinya merasa iba dan ingin menolong Alona saat itu juga.

"Berhentilah ci, jangan sampai ci Mei berurusan dengan para bandit itu. Biarkan saja Alona yang menghadapi mereka. Itu sudah menjadi konsekuensinya" cegah Hesti .

Bersambung ♥️

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!