Tepat pukul tiga sore, laju motor Alona terhenti didepan gerai penjualan motor bekas. Setibanya didepan ruko tersebut, langkah kaki Alona sedikit ragu dan bimbang ketika ingin memasukinya.
"Ada yang bisa aku bantu nak?" tanya seorang pemilik gerai tersebut dengan halus.
Pria setengah tua berparas arab tersebut sempat menepuk pundak Alona untuk menyadarkan lamunannya.
"Akh, iya paman"
"Aku kemari ingin menjual motor miliku itu" serunya dengan lemas sembari menunjuk blue dari dalam gerai.
Dari kejauhan, pria tersebut telah mengamati dengan baik motor klasik milik Alona dengan begitu jeli dan baik.
"Kau minta berapa nak?" tanyanya sembari berjalan lebih dekat untuk menghampiri motor yang begitu cantik penampilannya.
"Bayarlah sepantasnya paman" terang Alona masih dengan nada menahan sedih.
"Dia begitu cantik, apa kau yakin akan menjualnya. Jika kau mau menunggunya beberapa tahun lagi, aku yakin pasti si cantik ini akan laku dengan harga tinggi" terang pemilik gerai tersebut memberikan wejangan pada Alona.
"Tidak paman!"
"Aku harus melepasnya secepat mungkin"
"Aku tidak punya lagi waktu selama itu denganya lagi, aku butuh uang untuk biaya berobat ibuku" jelas Alona.
Tangannya gemetar ketika harus menyerahkan kunci beserta surat-surat lainnya milik blue pada pria tersebut.
"Tunggu, tapi aku hanya bisa membelinya dengan harga ini saja" terangnya sambil memberikan secarik kertas berisikan nominal penawaran pembeliannya pada Alona.
"Aku setuju paman" imbuhnya tegas.
Dalam secarik kertas tersebut, tertulis angka 20 juta saja untuk nominal yang diberikan si blue. Sungguh, itu adalah penawaran paling rendah sepengetahuan Alona.
Karena tak ada pilihan lainnya, Alona mau tidak mau dan suka tidak suka mengambil tawaran itu dengan berat hati. Ketika transaksi selesai, Alona yang segera keluar dari gerai motor itu mengusap kasar kedua pipinya yang sekali lagi berderai air mata dengan lengan tangannya.
"Bu, tunggu Alona. Aku datang membawa uang ini untukmu. Bertahanlah" terangnya sambil berjalan secepat mungkin menuju rumah sakit.
*
*
*
"Sus, saya ingin melunasi biaya ibu saya. Tolong segera proses dan berikan penanganan sebaik mungkin untuknya" pinta Alona yang baru saja tiba dengan nafas sengal.
Ketika dirinya mendapati permintaannya diproses dengan sebaik mungkin, wajahnya yang semula menegang kini mulai mengendur perlahan dengan baik.
"Berikut nota pembayarannya ya Bu, kami akan segera tangani pasien secepat mungkin" tutur seorang suster.
Tanpa berkata panjang lebar, Alona hanya membalas ucapan itu dengan anggukan yang pasti. Lima menit kemudian, ponsel miliknya pun berdering berulang kali dalam tas rajut kecil miliknya.
☎️ "Lagi-lagi dirimu tidak masuk hari ini Alona!" teriak Ci Mei pemilik toko roti terbesar dikota.
Alona bekerja paruh waktu disana selama ini sebagai kasir.
☎️ "Tolong maafkan aku ci, ibuku hari ini tengah kritis" terang Alona.
☎️ "Apa tidak ada alasan lain, sehingga aku dengan mudah mempercayai dirimu hah?!" sentaknya.
☎️ "Aku mohon percayalah, aku tidak pernah membohongi dirimu ci" tutur Alona mencoba memberi penjelasan.
☎️ "CUKUP!, dengarkan aku baik-baik Alona. Hari ini aku akan memecatmu dengan tidak baik, dan ingatlah besuk dirimu masih bisa mengambil sisa upahmu ditoko" terang ci Mei dengan kasar.
Wanita Cina tersebut tak dapat lagi membendung kekecewaannya pada Alona kali ini, karena baginya Alona sudah terlampau sering tidak masuk kerja karena alasan yang sama dan berulang kali. Tak jarang, dalam satu bulan Alona bisa mengambil libur sebanyak 10 kali hanya untuk menjaga sang ibu.
"Tuhan, cobaan apalagi ini" pekik Alona sambil menggenggam ponsel miliknya.
Ia berusaha tetap tenang dan tegar dalam kondisi saat ini. Tak ada pilihan yang lebih baik lagi selain menguatkan dirinya terlebih dahulu sekarang ini.
" Bu Alona, apa bisa ikut saya sebentar saja keruangan?" ajak seorang dokter dihadapannya.
"Baik dok" sahutnya.
Setibanya diruangan, Alona menarik sebuah bangku utnuk ia duduki saat itu.
"Bu, kami sudah melakukan sebaik mungkin untuk ibu anda. Tapi yang harus anda ketahui saat ini adalah, pasien tengah dalam kondisi koma"
Mengetahui hal itu, Alona hanya bisa menarik nafasnya dengan panjang dan tubuhnya lemas seketika.
"Apa harapan itu masih ada dok?" tanya Alona yang nada bicaranya mulai lemah.
"Kita serahkan semua pada Tuhan Bu, kami selaku dokter sudah mengupayakan sebaik mungkin"
"Tapi ada satu hal yang harus ibu ketahui juga, saat ini ditubuh ibu Mirna sudah terpasang banyak sekali alat bantu untuk beliau kenakan. Dan jika salah satu diantara alat itu terlepas dari tubuhnya, maka mohon maaf nyawa ibu anda tidak akan pernah tertolong kembali" jelas dokter ifandy.
Bagaikan petir yang menggelegar, ucapan demi ucapan dokter itu membuat Alona sangat tak percaya lagi pada dirinya sendiri saat ini.
Cukup lama termenung, kini Alona mencoba mengatur semua pikirannya yang tadinya berantakan.
"Apa biayanya akan sangat mahal dok?" tanyanya pilu.
"Tentu saja Bu, dalam satu hari saja dengan semua alat bantu itu. Paling tidak ibu Alona harus merogoh uang belasan juta rupiah belum termasuk biaya kamar inap" terang dokter ifandy sekali lagi.
Sekali lagi, hal itu membuatnya semakin frustasi saat ini. Baginya hari ini begitu sulit untuk bernafas, rasanya tak ada kesempatan baginya untuk sedikit saja menghirup udara segar pada setiap rongga dadanya.
"Baik terimakasih dok untuk semua penjelasannya, tolong berikan apa yang terbaik untuk ibu saya" ucapnya.
Dengan demikian, Alona telah menyetujui semua perkataan yang telah disampaikan kepada dirinya. Masih dengan wajah yang lemas, Alona berjalan sepanjang koridor dengan melamun dan tatapan kosong.
Ketika dirinya tengah berdiri tepat dihadapan kamar ibunya, ia tak lagi banyak berkata. Tangannya perlahan mengusap cela kaca kecil didaun pintu kamar tersebut.
Mata nanarnya, memandang sang ibu dari kejauhan. Kali ini keduanya dipisahkan antara pintu dan ruangan, karena selama perawatan intensif Mirna tak dapat lagi dijenguk oleh Alona.
"Bu, Alona berjanji akan berusaha sekuat mungkin untuk ibu"
"Kuatlah didalam sana, dan tolong percayakan semua pada Alona kali ini" terangnya sembari menatap semua alat yang telah terpasang dan mengelilingi tubuh sang ibu didalam.
Harapan besar itu tak lagi ada dalam benaknya, tapi Alona hanya memiliki satu keyakinan kecil yang selalu ia pegang teguh hingga sampai saat ini.
"Kekuatan ini akan selalu ada dalam hati Alona Bu, sampai kapanpun" dialog Alona pada dirinya sendiri.
Sepanjang waktu Alona berjaga didepan kamar sang ibu dengan sabar, tak sedetikpun Alona meninggalkan ibunya disana.
"Bu, aku ingin menjadi besar supaya aku bisa menjaga ibu nantinya" suara anak kecil yang terdengar dari lorong yang memiliki sinar lampu remang.
Sontak saja, suara itu membuat Alona sedikit mengingat sewaktu dirinya kecil bersama kedua orang tuanya.
Bersambung ❤️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments