Selepas Kak Surya pergi, untuk menyingkirkan pikiran-pikiran buruk. Aku mencoba menyibukkan diri dengan membersihkan rumah. Dimulai dari menyapu, mencuci piring, hingga memasak nasi. Itu semua kulakukan supaya saat Kak Surya pulang, kami bisa langsung menyantap makanan bersama-sama.
Setelah pekerjaan rumah selesai. Aku kembali ke depan dan mengistirahat diri supaya rasa lelahku sedikit berkurang. Angin sore begitu menyejukan diriku yang duduk berselonjoran dan itu membuatku diserang rasa kantuk.
"Astagfirullah... Aku ketiduran!" seruku kaget, kemudian secara reflek langsung berlari ke ruang tamu. Menatap jam dinding sebentar dan ternyata sudah menunjukan jam empat sore.
Aku berlari ke belakang rumah untuk melihat apakah Kak Surya ada di sana. Namun nihil, tak ada siapa-siapa dan saat kulihat tempat penyimpanan keranjang rotan ternyata masih belum ada, itu berarti Kak Surya belum pulang.
"Berapa banyak sih yang dipesan Bi Yum? Sampai mau jam lima sore Kak Surya belum pulang juga," gerutuku. Lantas aku pergi ke kamar kecil untuk berwhudu dan menunaikan sholat, sebab jadwal ashar sudah lewat hampir satu jam yang lalu.
Setelah melaksanakan sholat, aku kembali duduk di teras rumah untuk menunggu kepulangan Kak Surya. Untuk mengusir rasa bosan aku membaca buku cerita yang dibelikan kak Surya dan tak terasa aku yang keasyikan membaca sampai lupa waktu hingga hampir menjelang petang. Sayup-sayup suara lantunan sholawat dari arah surau yang selalu dilakukan setiap sebelum menjelang adzan magrib menyadarkanku.
"Kok belum juga pulang?" Ucapku menatap ke halaman rumah. Rasa cemas itu muncul kembali, karena penasaran aku turun dari teras rumah pangggung dan pergi ke warungnya Bi Yum untuk memastikan apakah kak Surya berada di sana.
"Neng Jingga, mau kemana? Sebentar lagi adzan magrib loh. Gak pergi ngaji?" tanya Pak Sobari saat berpapasan denganku yang tengah terburu-buru.
"Mau ke warungnya Bi Yum, Pak Rt.!" seruku menjawabnya tanpa menghentikan langkah kecilku yang setengah berlari supaya segera sampai di warungnya Bi Yum, sebab jarak tempat jualannya berada di kampung sebelah.
"Assalamualaikum..!" Seruku terengah-engah, dan baru saja sampai di warung makan Bi Yum berbarengan dengan suara adzan magrib berkumandang.
"Waalaikumsalam... Eh Neng Jingga, tumben mau magrib datang kemari! Disuruh Kakakmu ya? Bilang aja kayu bakarnya dikirim besok juga gak apa-apa kok, santai aja. Bibi memakluminya kok, apalagi kakakmu kan liburnya cuma hari minggu doang" ucap Bi Yum. Mendengar perkataan tersebut mendadak membuat jantung ini seolah berhenti berdetak.
"Eh... Tapi tadi siang Kak Surya berangkat ke hutan buat mengambil kayu bakar pesanan Bi Yum," ucapku terbata-bata, menjelaskan bahwa Kakakku itu berangkat mengambil kayu bakar pesanan pemilik warung tersebut.
"Hah..! Benarkah? Tapi dari siang hingga sore, kakakmu belum datang kemari?" timpal Bi Yum yang juga heran dengan penjelasanku ini.
Tanpa mengucap salam, aku berlari kembali ke rumah dengan tergesa-gesa. Bahkan aku tidak mempedulikan Bi Yum saat menyuruhku duduk sebentar untuk minum. Saat ini diriku sangat panik sekali, apalagi pikiran-pikiran buruk mulai menghinggapi perasaan ini.
Hari mulai gelap, bahkan sedikit gerimis ketika aku berlarian pulang dari tempatnya Bi Yum untuk segera kembali ke rumah. Sebenarnya kakiku terasa pegal sekali akibat bolak-balik berlarian ke sana-kemari dan belum beristirahat sama sekali, tapi rasa khawatir mengalahkan rasa letihku saat ini.
Ketika sudah hampir sampai ke rumah, kumelihat keadaan rumah ternyata masih gelap dan itu pertanda Kak Surya belum pulang sama sekali. Langkahku pun terhenti di pintu pagar halaman dan berbalik menjauh dari rumah.
"Assalamualaikum... Pak Rt, Pak Rt.!" seruku mengetuk pintu rumah Pak Sobari dengan cukup keras, sebab diriku semakin panik setelah melihat rumahku masih dalam keadaan gelap dan sama seperti waktu kutinggal pergi ke warungnya Bi Yum. Pikiranku menjadi kalut dan aku pun memilih mendatangi rumah Pak Sobari sebab hanya itulah yang terlintas dipikiranku saat ini.
"Waalaikumsalam... Astagfirullah... Neng Jingga ada apa Neng? Badanmu kenapa kotor semua?" Ujar Pak Sobari yang kaget melihat keadaanku yang tidak karuan dengan dipenuhi debu. Sebab sewaktu aku kembali dari warungnya Bi Yum, aku sempat tersandung hingga badan terjatuh menimpa jalan tanah yang sedikit licak karena gerimis.
"Pak Rt, Kak Surya belum pulang sejak siang tadi," ucapku tersedu disela isak tangis.
"Eh... Belum pulang dari tempat kerja? Mungkin hari ini kakakmu kebagian kerja lembur" Jawabnya, meski terkejut dia mencoba menenangkanku.
"Tidak Pak, Kak Surya sudah pulang dari tempat kerjanya sejak tadi siang. Kemudian pergi ke hutan mencari kayu bakar untuk pesanan Bi Yum. Tapi saat Jingga ke sana, Bi Yum bilang bilang kak Surya sampai sore pun belum mengantarkan kayu bakar sama sekali ke tempatnya. Jingga khawatir dan takut terjadi sesuatu dengan Kak Surya di hutan. Tolongin Jingga bantu cari Kak Surya pak" ucapku terengah-engah yang mencoba menjelaskan situasinya pada Pak Sobari, sambil memohon untuk membantu mencari kak Surya. Sementara hujan mulai turun dan semakin lebat mengguyur kampung kami.
"Kita tunggu sampai hujan sedikit reda dan setelah itu kita akan mengumpulkan para warga untuk membantu mencari kakakmu, lebih baik kamu masuk dulu istirahatlah sebentar biar tidak masuk angin," timpalnya.
"Bu, ibu... Tolong buatkan teh anget untuk Neng Jingga dan jangan lupa makanan," Teriak Pak Sobari pada istrinya yang tengah menemani putri kesayangan mereka bernama Nida.
Hujan reda sekitar jam sepuluh malam, kemudian Pak Sobari memukul kentungan satu kali dan setelah dijeda, beberapa detik kemudian dia kembali memukulnya sebanyak tiga kali berturut-turut. Karena wilayah kami pernah terkena bencana baru-baru ini, membuat semua warga peka akan kode kentungan tersebut dan beberapa menit kemudian warga yang didominasi oleh para bapak-bapak serta pemuda dan ada juga relawan yang masih bertahan untuk membantu pembangunan di wilayah kami datang menghampiri rumah pak Sobari.
"Ada apa Pak Rt?" tanya salah satu warga setelah mereka berkumpul di halaman rumah Pak Sobari.
"Salah satu warga kita seperti mengalami musibah, karena menurut keterangan adiknya. Ia sudah sejak tadi siang belum kembali dari hutan dekat kaki gunung," jawab pak Sobari mencoba menjelaskan alasannya memukul kentungan peringatan.
"Memangnya siapa Pak?" sambung warga lainnya dan kembali bertanya pada ketua Rt kampung kami itu. Lantas Pak Sobari menjelaskannya dari awal sesuai yang dia dengar dariku.
"Surya? Anak almarhum Pak Dirga? Memang saya sempat berpapasan dengannya tadi siang, ketika dia membawa keranjang dan sempat saya tanya katanya mau pergi ke hutan untuk mengambil kayu bakar. Jadi sampai sekarang belum pulang juga?" ucap Pak Sulaiman ayahnya almarhumah Tuti tersebut.
Setelah berdiskusi dan mulai membagi beberapa tim pencari, tanpa menunggu lebih lama, semua warga mulai bergegas pergi untuk mencari keberadaan kakakku itu. Tadinya aku hendak ikut dalam pencarian Kak Surya, namun ditahan oleh Pak Sobari dan disarankan untuk menunggu di rumahnya saja.
Satu jam lebih semua warga melakukan pencarian, namun mereka belum berhasil menemukan kakakku itu. Karena keadaan semakin malam dan situasi tidak memungkinkan untuk melanjutkan pencarian, apalagi hujan kembali turun bahkan lebih deras dari sebelumnya. Membuat pencarian terpaksa ditunda sementara waktu. Aku yang menginap di rumah Pak Sobari semakin cemas dan tidak bisa tidur sampai pagi menjelang.
Jam sembilan pagi, aku terus menunggu dengan gelisah di rumah Pak Sobari dan kecemasan semakin memuncak saat kumelihat rombongan yang mencari Kak Surya telah kembali. Aku menatap kosong dan tidak mampu berkata-kata, ketika secara perlahan beberapa orang mulai menurunkan tubuh Kak Surya yang terbaring kaku. Aku sempat mendengar percakapan warga yang turut mencarinya, ternyata kak Surya di temukan di lereng hutan. Kemungkinan ia jatuh terperosok ke sana dan terbentur di kepala hingga membuatnya tidak sadarkan diri.
Ya Allah, aku gemetar menyentuh tubuh kakak kandungku yang terasa begitu dingin. Aku berseru memanggil-manggil namanya dan saat ini aku tak peduli semua warga yang berkerumun menatap penuh iba. Karena yang aku inginkan sekarang adalah kak Surya cepat tersadar dan pulang bersama untuk menyantap masakan yang sudah kusiapkan sedari siang kemarin, yang kemungkin besar sekarang sudah terlanjur basi.
"Kak Surya..! Kak Surya, bangun Kak..! Bangun Kak.! Jingga mohon cepat bangun Kak.! Jangan tinggalin Jingga sendirian," Aku menangis tersedu dan terus berusaha menggerakkan tubuh kakakku dengan kedua tangan dengan harapan dirinya terbangun, meski kemungkinan itu hampir mustahil.
"Kak bangun Kak.! Jingga gak sanggup kalau harus hidup sendirian. Bukankah Kak Surya sudah berjanji akan selalu menemani Jingga? Kalau kakak gak ada, siapa yang akan menjaga Jingga? Kak bangun kak.! Pak rt bantu Jingga bangunin Kak Surya pak.!" ujarku yang mengiba pada pak Sobari dengan tangis sesenggukan, dadaku terasa sangat sesak sekali dan rasanya semua telah hancur.
Aku tau air mata tidak akan mengembalikan orang yang telah dipanggil oleh-Mu Yang berkuasa atas segalanya. Tapi tuhan kenapa Engkau gemar sekali membuatku menangis? Engkau renggut orang-orang yang aku sayangi begitu cepatnya dan mengapa Engkau berikan cobaan yang begitu berat padaku, padahal pundakku masih terlalu kecil untuk menanggung beban seberat ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 92 Episodes
Comments
Qonita Zalfa
y Allah sungguh malangnya nasib jingga
2023-03-05
1