Suasana mulai gelap ketika aku membuka mata, entah kenapa aku tiba-tiba terbaring di atas matras, kemudian mencoba mengedarkan pandangan untuk melihat sekitar dan ternyata aku berada di tenda darurat bersama dengan warga yang selamat, sebagian besar orang-orang sedang dalam perawatan dan itu terlihat dari perban yang menempel di beberapa anggota tubuh mereka, bahkan ada yang tengah di infus dan masih belum sadarkan diri.
"Alhamdulillah... Kau sudah sadar dek," ucap seorang yang memakai rompi bertuliskan relawan dari sebuah lembaga organisasi tertentu.
"Ini di mana?" tanyaku kemudian.
"Kamu sedang di dalam tenda dekat lapangan gedung sekolah, tadi kata pak satpam dirimu jatuh pingsan di dekat reruntuhan dan kami membawamu ke tenda darurat ini" ucapnya menjelaskan apa yang terjadi pada diriku.
Ngomong-ngomong siapa nama adek ini?" sambungnya yang kali ini menanyakan namaku.
"Jingga, nama saya Jingga bu," jawabku pelan.
"Jingga ya? Nama yang indah dan kenalin nama Kakak Intan Nuraini tapi panggil aja Kak Intan jangan panggil ibu ya, soalnya saya belum terlalu tua banget kok dan belum nikah pula," ucapnya tersenyum ramah.
"Ibu dan adik saya di mana? Bagaimana keadaannya?" tanyaku yang teringat akan nasib ibu dan juga Mentari, namun perempuan yang sepertinya berumur sekitar 25 tahun tersebut tidak langsung menjawabnya.
"Doakan yang terbaik saja ya Dek Jingga, lebih baik Adek istirahat kembali lagian ini sudah larut malam," jawab kak Intan seperti tengah menyembunyikan sesuatu dariku.
Setelah Kak Intan beranjak pergi dari tempat tidurku, aku menatap kosong langit-langit tenda dan berdoa semoga Ibu dan juga Mentari dapat diselamatkan. Guncangan-guncangan dari gempa bumi susulan masih saja terjadi, bahkan terkadang hanya dalam jangka waktu satu jam sekali, meski hanya guncangan kecil tapi tetap saja itu membuat orang-orang tidak berani kembali ke rumah mereka, meski sebagian rumah mereka ada yang masih terlihat utuh dan hanya mengalami keretakan di beberapa bagian.
"Yaa Rabb... Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, selamatkanlah ibu serta adik hamba. Saya berjanji akan meminta maaf pada Mentari dan akan mendengar juga menuruti nasehat ibu hamba Yaa Rabb," pintaku pada Sang Penguasa Alam dan tanpa terasa air mataku kembali merembas di sela-sela sudut mataku.
Kata-kata bapak sewaktu mencoba mendamaikan aku dan Mentari pada malam itu, kembali melintas dalam benakku saat ini. "Kalian tau hubungan persaudaraan itu layaknya seperti jalan, adakalanya mulus dan adakala bergelombang, selain lurus terkadang menikung tajam disertai tanjakan dan juga turunan menukik, tapi jalan tersebut akan tetap terhubung meski jaraknya sudah terlampau jauh, kalian tau kenapa persaudaraan digambarkan seperti itu?" tanya Bapak menatap kami satu persatu dan kami hanya menggelengkan kepala, sebab tidak tau maksud perumpamaan tersebut.
"Mungkin sesama saudara pasti ada kalanya saling berselisih dan bertengkar dan mungkin ikatan kakak-adik terkadang terjalin erat juga kadang kala renggang, namun tidak akan pernah putus, karena hubungan darah dan rasa kasih sayang antar saudara itu kuat nan indah bagai permata."
"Bapak tidak akan memaksa kalian kembali berbaikan secepatnya, karena itu percuma kalau hati kalian masih memendam kesal, sebab saling memaafkan harus timbul dari lubuk hati kalian masing-masing dengan menyadari kesalahan diri sendiri dan berlapang dada menerima kesalahan orang lain. Tapi bapak hanya bisa mengingatkan supaya kalian harus secepatnya saling memaafkan, agar tidak ada sesal dalam hati kalian nantinya. Nah karena malam semakin larut dan udara malam tidak baik untuk kesehatan lebih baik kalian berdua masuk dan segeralah tidur," lanjut bapak, kemudian menyuruh kami bergegas masuk.
Perkataan dari ayahku itu baru sekarang aku menyadarinya dan seketika kecemasanku bertambah, karena aku baru teringat tentang bagaimana keadaan Bapak dan juga Kak Surya yang belum aku lihat sepanjang hari. Apalagi mereka belum mencari kami hingga saat ini, apa mungkin mereka juga dalam masalah serius dan pikiran-pikiran buruk kembali menyelinap menambah sesak dada kecilku ini.
Malam pun berganti pagi, sungguh pagi yang sangat berbeda, karena tak ada teriakan dari ibu yang membangunkanku untuk segera beranjak dari dipan dengan menarik paksa selimut kumelku dan menyuruh segera menunaikan sembahyang shubuh, kemudian berebut dengan Mentari tentang siapa duluan masuk ke kamar mandi, hingga membuat ibu harus kembali mengomeli kami, namun pagi ini teriakan itu diganti dengan raungan sirine ambulance yang hilir mudik mengangkut korban yang harus di rawat di rumah sakit.
Ternyata benar rindu itu terkadang timbul dari hal-hal yang membuat kita sebal, namun ketika semuanya sudah tak ada lagi, hal sepele seperti bercanda, pertengkaran kecil, maupun mendengarkan ocehan ibu ketika kami kena omel karena tidak mendengarkannya, itu semua menjadi hal yang ingin aku dengar kembali dan kurindukan tentunya. Bukan suara sirine yang menyayat hati seperti pagi ini.
"Dek Jingga, keadaan adek sudah baikan kah?" tanya Kak Intan membuyarkan lamunanku, lalu aku mengusap air mata dan hanya mengangguk kecil sebagai jawabannya.
"Kalau begitu, alangkah baiknya sarapan dulu di dekat tenda besar sebelah sana tapi mohon maaf harus mengantri dengan pengungsi lainnya," lanjut Kak Intan lalu memegang tangan dan membawaku keluar tenda kemudian menunjuk ke arah di mana para warga yang sedang mengantri sarapan pagi.
"Kamu bisa mengambilnya sendirikan?" tanya Kak Intan memastikan dan hanya anggukan dariku sebagai jawabannya.
Aku pun melangkah mengikuti barisan yang cukup panjang ini untuk mendapatkan jatah makanan gratis tersebut. Sebab sarapan itu penting agar diri ini lebih kuat menghadapi kenyataan karena aku harus bertahan, sebab sudah mah tertimpa musibah tak mau makan pula, apa kabar gizi buruk?
Selepas makan, aku terus memperhatikan ekskavator yang mulai mengeruk puing-puing bangunan dengan dikomandai oleh beberapa orang di depannya agar lebih hati-hati, supaya tidak sampai mengenai para korban di dalamnya dan semakin siang kendaraan-kendaraan bantuan mulai berdatangan baik untuk kebutuhan logistik maupun kesehatan, membuat jalanan di kampungku yang hanya lebar kurang dari dua meter itu hampir macet total.
Aku yang terus berdiri memperhatikan proses pengangkatan puing-puing bangung tersebut, tak peduli meski para relawan menyuruhku supaya menunggu di tenda saja dan aku sama sekali tak mengindahkan perkataan mereka, bahkan ketika salah satu dari mereka memaksaku, aku menatapnya galak dibarengi linangan air mata dan berkata aku ingin menunggu ibu serta adikku diselamatkan, dan pada akhirnya mereka pun mengalah.
Diantara bisingnya kendaraan dan alat berat yang mulai bekerja, samar-samar terdengar namaku dipanggil dari kejauhan dan saat aku menoleh, ternyata itu adalah Kak Surya yang melangkah secara tertatih-tatih dengan dibantu sebuah tongkat untuknya berjalan.
"Kak Surya..." Teriakku sambil berlari dan mencoba mengalahkan bisingnya suara kendaraan.
"Jingga, kau baik-baik saja kan dek?" Tanya Kak Surya mengusap rambutku, ketika aku menghambur peluk padanya.
"Jingga baik-baik saja Kak, tapi ibu sama Mentari," ucapku terbata-bata dan tangisku pun mulai pecah kembali sambil menunjuk ke arah bangunan sekolah yang telah ambruk.
"Kita harus tetap kuat Dek," gumamnya dengan memeluk dan berusaha menenangkan diri ini yang kembali menangis tersedu.
Ketika selepas siang akhirnya tubuh ibuku dan Mentari telah ditemukan dalam keadaan sudah meningal dunia, dengan posisi ibuku memeluk tubuh Mentari, mungkin beliau waktu itu berusaha melindunginya agar tidak tertimpa bangunan secara langsung.
Aku bisa merasakan rasa sedih dari Kak Surya meski dirinya tak menangis, sebab dia pun pasti terguncang hatinya dan merasakan kesedihan yang sama apalagi dirinya sudah tau betul nyawa ayahku juga tidak terselamatkan, karena nasibnya tidak jauh berbeda dengan ibu dan Mentari yang tertimpa bangunan gedung proyek di tempatnya bekerja.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 92 Episodes
Comments
[AIANA]
sedih
2023-02-28
1
[AIANA]
inget kakak jadinya
2023-02-28
1