Sendu Di Langit Jingga
Suara lonceng yang dipukul oleh penjaga sekolah terdengar begitu nyaring dan sejurus kemudian anak-anak berseragam pramuka mulai berhamburan berebut keluar dari kelas mereka. Suasana gaduh tersebut selalu terjadi di awal pekan, sebab besok adalah hari libur yang mana membuat mereka tidak sabar ingin segera pulang untuk mempersiapkan diri menikmati hari libur.
Tapi ada beberapa murid yang masih santai di dalam kelas sambil berbincang. "Hey guys. Nanti siang jadi?" Tanya Siti sambil menyapu lantai, sebab hari ini jadwal piket dirinya.
"Jadi dong. Oi Jingga.! Jadi kan kita ke tempat itu?" timpal Tuti yang berseru padaku dan membuat langkah ini terhenti saat hendak bersiap meninggalkan kelas.
"Jadilah, masa enggak? Hei Nurul jangan lupa nanti sekalian bawa punyaku juga ya!" sahutku pada Nurul yang tengah membersihkan papan tulis dan ia hanya menjawab dengan anggukan semata, akupun berpamitan pada Nurul dan Siti yang sedang melakukan tugas mereka.
"Jangan lupa, kita kumpul di ujung jalan kampung ya?!" seru Tuti dan aku hanya mengacungkan jempol tanda setuju. Setelah itu aku kembali melangkahkan kaki dengan agak terburu-buru supaya bisa lebih cepat sampai ke rumah, karena perutku mulai terasa keroncongan.
____
"Jinggaaa..! Sebelum pergi main, cuci piring dulu sana!" teriak ibu dari arah belakang rumah yang memanggil namaku dengan suara yang cukup keras.
"Iyaa Bu..! Tenang aja nanti Jingga cuci kok, tapi sekarang ada hal penting yang harus Jingga kerjakan dulu" aku hanya berseru menimpali. Setelah berganti pakaian dan meletakkan tas secara sembarang, akupun buru-buru keluar dengan setengah berlari membuat rumah panggung kami berderit.
"Kak ikut," rengek Mentari sambil menarik belakang bajuku. Ia adalah adik bungsuku yang berumur tujuh tahun dan saat ini tengah bermain rumah-rumahan dari kayu buatan Kak Surya.
"Anak kecil diam saja di rumah," timpalku menatap galak. Namun dalam hati aku tidak bisa menahan tawa, karena melihat ekspresi Mentari yang cemberut dengan pipi menggembung. Setelah memakai sandal, aku langsung berlarian meninggalkan rumah tanpa mempedulikan omelan ibu dan Mentari yang mengumpat kesal padaku.
"Huh... Dasar anak itu, kebiasaan banget sih suka menunda-nunda pekerjaan. Ini semua gara-gara ayah yang selalu memanjakannya" gerutu ibu tapi tangannya tetap lincah menyusun ranting pohon yang sudah kering untuk dijadikan kayu bakar.
Sementara aku terus berlarian di jalanan yang membelah kampung dan sesampainya di ujung jalan yang menuju area pesawahan, ternyata tiga temanku tengah menunggu. Meski terik matahari siang itu cukup menyengat, tidak menyurutkan niat kami untuk pergi menyusuri pemetangan sawah yang baru saja kembali dibajak.
"Jinggaaa.!" seru ketiganya secara serempak.
"Kalian lama banget sih! Apalagi kau Jingga," gerutu Tuti sebab dia yang pertama kali datang.
"Kau saja yang datangnya kecepatan Tut, mentang-mentang rumah kau yang paling dekat dari sini" timpal Siti. Sementara Nurul yang berada di sampingnya hanya mengangguk membenarkan perkataan sohibnya dan Tuti yang hanya bisa berdecak kesal hendak kembali menimpali perkataan Siti tersebut.
"Sudah-sudah. Jangan mulai berdebat hal gak penting, lebih baik kita langsung berangkat" tegurku pada keduanya. Sebab bila sudah beradu argumen, mereka tidak akan ada yang mau mengalah.
"Ouh iya apa kalian membawa ayakan punyaku juga?" sambungku dan bertanya pada salah satu dari mereka.
"Nih, sudah aku bawakan," ucap Nurul sambil mengacungkan benda yang kumaksud. Nurul adalah anak yang paling pendiam diantara kami semua, tapi dalam hal belajar dia sangat pintar dan menjadi rivalku dalam perebutan juara kelas di sekolah. Tapi ke kompakan kami berempat sangatlah kuat bahkan sudah cukup terkenal di kalangan teman-teman sekolah maupun warga kampung kami.
Tanpa menunggu lebih lama lagi, kami mulai berjalan beriringan dengan menenteng ayakan (saringan) yang terbuat dari bambu. Hari ini, rencananya selain hendak memungut melinjo dan buah dukuh yang mulai matang di hutan dekat kaki gunung gede. kami pun berencana menangguk ikan di sungai, sebab bila dapat banyak lumayan bisa di jual ke bu Romlah yang suka menjajakan nasi ke pasar kecamatan.
Mulanya usulan untuk menangkap ikan adalah rencananya Tuti, yang berbincang bersama ketika waktu jam istirahat dan kami bertiga menyetujui usulan darinya itu. Sebab lumayan bila hasil dijual bisa buat jajan.
"Ngomong-ngomong kita mau menangguk ikannya di sungai mana?" Tanya Siti yang berjalan paling belakang.
"Di sungai yang dekat dengan sawah Mang Udin. Soalnya kemarin aku baru saja dari sana dan ada banyak sekali udang serta ikan gabus bahkan ada yang lebih besar lagi," jawab Tuti penuh keyakinan, padahal dia sendiri hanya mendengar kabar tersebut dari obrolan para pemancing yang kebetulan lewat di depan rumahnya.
"Eh, bukankah sawahnya Mang Udin sangat jauh dari tempat kita biasa mengambil buah ya?" timpalku sedikit terkejut. Karena kukira akan menangguk ikannya di sungai tempat biasa kami memungut melinjo.
"Gak begitu jauh kok, lokasinya berada di tempat biasa kita bermain dan tinggal belok saja ke utara. Lagian kalian tau sendiri kalau kemarin di sungai itu udah ada yang menjaring dan kemungkinan ikannya udah hampir habis,"ucap Tuti meyakinkan kami.
Kami terus berjalan dan sesekali bertegur sapa dengan para petani yang tengah mencangkul dan terkadang kami semua saling melempar gurauan hingga tidak terasa sudah sampai di lokasi tujuan. Sebelum turun ke sungai kami membuka bekal makanan yang dibawa dari rumah, meski ala kadarnya tapi sangat nikmat bila disantap secara berjamaah, apalagi dengan pemandangan alam yang masih tergolong asri ini.
Setelah selesai makan, kami berempat langsung turun ke sungai. Hingga membuat keasikan menangguk ikan, sebab tangkapan kali ini cukup banyak dan semakin puas ketika salah satu dari kami mendapatkan seekor ikan gabus yang cukup besar. Kami hampir lupa waktu, andai tidak ada suara gemuruh dari arah hutan yang terdengar begitu menakutkan.
Selang beberapa detik kemudian gerombolan burung-burung terbang seolah bergegas ingin pergi dari hutan, disusul suara sekawanan monyet saling bersahutan dan melompat dari dahan ke dahan.
Kejadian tersebut membuat kami terlonjak kaget dan dalam beberapa saat hanya bisa saling tatap tanpa mengeluarkan sepatah katapun, ekspresi ketakutan terlihat jelas terpancar dari wajah kami, bahkan Siti yang tangannya gemetar tidak sadar ayakan yang dia pegang sudah terlepas dan telah hanyut terbawa aliran sungai.
"Tenang tetap tenang, jangan panik dan jangan berteriak. Lebih baik kita naik dulu," ucapku pelan dan berusaha menenangkan ketiga temanku agar tidak terlalu panik. Untungnya mereka menuruti perkataanku dan langsung beranjak dari sungai secara perlahan dengan tetap mengedarkan pandangan ke segala arah.
"Itu tadi burung sama binatang kenapa ya? Serem banget deh, apa jangan-jangan pertanda bakal ada-" tanya Nurul, setelah mereka cukup jauh dari hutan dan merasa sudah aman.
"Entahlah, mungkin mereka pada mau demo kali ya?" timpalku memotong perkataan Nurul dan malah menjawab pertanyaan dengan pertanyaan lainnya dengan nada sedikit bergurau, karena aku tau Nurul itu suka sekali menghubungkan suatu kejadian dengan hal-hal mistis.
"Kau sih Tut, malah ngajak ke tempat seram kayak tadi, jadinya ayakanku hanyut entah kemana? Bisa-bisa aku dimarahi oleh ibuku. Apalagi ayakan itu cuma satu-satunya yang ada di rumahku" gerutu Siti yang masih tidak terima ayakannya telah hilang sewaktu kejadian barusan.
"Oi... Kau nih malah nyalahin orang lain, kau sendiri yang memegangnya, lagian bukankah tadi sewaktu menangguk ikan kau sendiri yang paling bersemangat? Malah paling berisik diantara kita semua. Mungkin para penghuni hutan terganggu dengan suara cemprengmu itu," timpal Tuti yang tidak terima karena disalahkan.
"Sudah-sudah jangan bertengkar, kau bawa saja ayakanku ini" ujarku menengahi.
Akhirnya kami pun bisa bernafas lega saat sudah berada di lokasi yang tidak jauh dari ujung jalan kampung, kemudian satu persatu kami berpisah untuk pulang ke rumah masing-masing tanpa menceritakan kejadian tersebut pada orang lain.
"Jinggaaaaa..!" Teriakan Ibu menyambut kedatanganku, sebab semua pakaianku terlihat cukup kotor dan lagi aku telah melalaikan tugas mencuci piring yang dititahkan siang tadi. Hingga akhirnya mau tak mau aku harus mendengarkan ceramah kultum dari ibu Megaku tercinta.
***
Senin siang suasana desa terasa begitu nyaman, meski cuaca begitu terik tapi udara begitu terasa sejuk bahkan terkesan dingin. Aku dan Tuti yang tengah asik sambil duduk santai di tugu kecil pembatas sungai yang mengalir diantara pesawahan dan jalanan trotoar.
"Udah dua hari ini cuacanya bagus ya Tut," ucapku sambil mengunyah singkong rebus yang dibawa Tuti dari rumahnya.
"Iya sih adem banget, tapi kamu ngerasa gak tadi malam ada lini(gempa bumi)?" Timpal Tuti yang kembali mencomot singkong rebus yang ditaburi parutan kelapa dengan dipadukan gula dan sedikit garam.
"Enggak, aku kan tidur jadi gak tau ada gempa atau tidak." jawabku.
"Aku juga sebenarnya sama nggak ngerasa, cuma diberitahu sama ibuku" ucap Tuti sambil nyengir dan diri ini hanya menggelengkan kepala.
"Si Nurul sama si Siti cengceremet kok belum pada nongol ya? Eh aku bawakan air minum dulu deh! Kau tunggu di sini dan jangan pulang dulu," lanjutnya. Kemudian bergegas melangkah ke rumahnya.
Aku hanya menatap kosong langkah temanku sesaat sebelum tubuhnya hilang di balik pintu tapi beberapa saat kemudian dia kembali keluar dan menoleh ke arahku lantas menatap sambil tersenyum. Sementara diriku yang ditatapnya sama sekali tidak menyadari hal tersebut, sebab otakku tengah memikirkan kejadian malam kemarin yang mana membuat hatiku masih dongkol dengan si Mentari karena peristiwa tersebut.
Kejadian menyebalkan itu bermula ketika aku hendak meminjam ponsel milik Kak Surya, namun Adikku itupun malah ikut-ikutan ingin meminjamnya. Hingga akhirnya kami berdua saling rebutan ponsel yang berujung benda canggih milik Kak Surya tersebut rusak karena terjatuh dan tertimpa teko air yang sengaja Mentari lempar ke arahku. Semua itu membuat ibu marah pada kami berdua, karena tidak ada yang mau mengalah.
"Hmm... Serasa dunia ini mau hancur saja gara-gara si Mentari, awas saja aku gak bakal menegurnya selama satu minggu," gerutuku pelan.
Tiba-tiba saja guncangan yang begitu dahsyat bahkan dibarengi dengan suara gemuruh dari dalam tanah dan itu membuyarkan lamunanku, bahkan aku kaget karena tubuh kecilku terjengkal. Karena tugu yang kududuki tiba-tiba roboh dan beruntungnya tidak sampai menimpa tubuh ini.
Beberapa saat kemudian suara jerit tangis terdengar dari orang-orang yang masih selamat, tapi mereka pun tidak luput dari luka akibat terkena material bangunan yang terlempar ke mana-mana akibat rumah ambruk ketika guncangan besar terjadi. Aku berusaha bangun secara perlahan karena punggung ini pun terasa sakit akibat terjatuh dan berdebam menghantam sungai kecil yang ada di belakang tugu dan membuat pakaianku selain basah kuyup juga kotor akibat lumpur.
"Astagfirullah..! Innalillahi..!" seruku dengan suara histeris melihat hampir semua bangunan sekitar yang nyaris rata dengan tanah, termasuk rumah Tuti.
Gempa dahsyat telah menimpa kampung kami, yang mana membuat hampir semua warga panik ketakutan dan berusaha memanggil sanak-saudara untuk memastikan keselamatan mereka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 92 Episodes
Comments
Author Pensiun.
Wehhh aku mampir dek🤭
2023-05-08
0
Ayano
Keren sih. Tulisannya rapi dan tertata. Bisa dijadiin sebagai referensi
2023-04-10
1
[AIANA]
kamu beneeran masih sma/mhasiswa? tulisannya rapi bgt
2023-02-27
2