Hari-hariku lalui dengan bahagia, kini aku bisa bersabar dengan anak-anakku setiap hari.
Uang bonus dari pak Atmaja kukirim semua untuk mereka, alhamdulilah anakku juga bahagia.
Aku sangat bersyukur bu Sani dapat dipercaya.
Uang yang diaturnya benar-benar tak sedikitpun meleset, bahkan terkadang uang bayaran sekolah dan beberapa hal lain yang mendesak kerap menggunakan uangnya terlebih dulu.
Sampai ketika gajian diri ini berniat mengganti saja dia tak mau.
"Uangmu aku simpan buat nanti kamu pulang aja. Biar ada buktinya kamu kerja," ucapnya waktu itu.
Aku hanya dapat mengucapkan banyak terima kasih padanya.
Kerap kali dalam sujudku meminta kebaikan untuknya.
Tak terasa sudah enam bulan lamanya aku di sini.
Di rumah besar menjadi suster untuk Dinda.
Kadangnya aku merangkap menjadi pembantu jikalau ada pembantu yang keluar atau ijin bahkan cuti lama karena suatu hal. Tentu saja bonus yang kudapat sangat menggiurkan, maka aku selalu senang bila ada pekerjaan tambahan untukku.
Dinda menjadi anak penurut dan baik, setelah berada dalam pengasuhanku.
Mungkin Dinda hanya kurang kasih sayang saja, kurang diperhatikan. Kata Oliv, ibu Dinda adalah kakak kandungnya yang meninggal begitu melahirkan Dinda. Jadi semenjak itu dirinya tinggal di rumah megah ini menggantikan sang kakak.
Bukan hal mudah memang, nyatanya Oliv tak dapat mengurus Dinda. Bahkan kerap menyiksa gadis berkebutuhan khusus tersebut.
Entah mengapa Oliv menjadi luwes dan nyaman menceritakan semuanya padaku. Bahkan bertahun-tahun dirinya di gantung status oleh tuan Atmaja.
Wanita cantik itu sekedar berstatus tunangan yang tak jua dinikahi tuan Atmaja.
Seperti kali ini, aku duduk di taman menemani Dinda yang melukis langit. Gadis ini menyukai langit biru, alasannya sang ibu ada di langit biru.
Aku sering kewalahan bilamana langit mendung dan hujan mulai turun.
Sebab gadis ini akan menangis kencang sekali, bisa berjam-jam Dinda menangis.
Maka aku akan memeluknya hangat hingga tangisnya mereda.
"Sus Ganis," panggil Oliv.
Aku berbalik dan tersenyum padanya.
"Ada apa, Non?" tanyaku.
Oliv tak menjawab, dirinya hanya berjalan ke arahku dan duduk tepat di sampingku.
"Hari ini kita kedatangan warga lagi," ucapnya.
"Warga?" tanyaku.
"Iya, supir tuan Atmaja. Tapi pasti nanti ditugaskan untuk di rumah sih kayaknya. Soalnya pak Lodi kan supir pribadi tuan Atmaja." Wanita itu mengambil sepotong kue di piring Dinda dan memakannya.
Kadung saja Dinda merengek, aku bergegas ke dapur dan mengambil kue kembali.
Dapat kudengar suara rengekkan Dinda dan Oliv yang mengoceh karena tak suka mendengar suara rengekkan Dinda, membuatku berlari sembari membawa sepiring kue untuk Dinda.
Tak kuperhatikan jalan hingga kepalaku terantuk sesuatu, aku oleng dan hampir saja terjatuh.
Kupejamkan mataku, tapi tak jua sampai ke tanah.
"Kenapa lama sekali jatuhnya, ya?" gumamku.
"Ga akan jatuh," ucap seseorang.
Kubuka mataku dan wajah tampan yang waktu itu kulihat di ruang kerja tuan Atmaja kini ada di depanku.
Baru kusadari dirinya memegang punggung belakangku seolah kami tengah berpelukan.
Gegasku berdiri, sungguh canggung sekali.
"Maaf Pak, saya ga sengaja." Aku menunduk dan berlalu pergi membawa kue di piring yang untungnya selamat dari insiden tadi.
Lelaki itu tak menjawabku, aku pun tak berani berbalik untuk sekedar melihat dirinya.
Sungguh memalukan ...!
Begitu sampai di taman, keduanya masih saja ribut.Bahkan kini Dinda mengejar Oliv sembari membawa kuas lukisnya. Aku hanya dapat menggelengkan kepala saja.
Tingkah keduanya sungguh ..., padahal Dinda mengejar Oliv menggunakan kursi roda tetapi tetap saja keduanya tak hentinya berlaku seperti anak kecil. Dapatku lihat raut wajah gembira di wajah cerah Dinda.
"Mungkin begini cara Oliv menghibur Dinda," gumamku.
****
Malam itu terdengar suara gaduh di depan kamarku, padahal sudah pukul sepuluh.
Aku yang mulai terpejam menjadi terganggu dan penasaran akan suara gaduh tersebut.
Gegasku buka pintu, ternyata lelaki tadi pagi yang kutabrak.
Dapatku lihat dirinya menarik koper besar dan menempati kamar di depan kamarku.
Memang deretan kamar pekerja lelaki berhadapan dengan kamar pekerja perempuan, namun tak diindahkan adanya interaksi kecuali bergabung saat makan saja.
Jika mengingat kejadian tadi pagi, aku malu sendiri. Gegas kututup pintu kamar dan mencoba memejamkan mata.
****
Beberapa hari berlalu, ku ketahui lelaki itu bernama Boby.
Masih muda sekali. Semua itu kuketahui ketika hari pertama dirinya sarapan bersama kami, dengan sopannya dia memperkenalkan diri.
"Saya pekerja baru di sini, supir keluarga tuan Atmaja. Nama saya Boby Wardoyokusumo, umur 25 tahun. Mohon bimbingan dan kerja samanya." Lelaki itu memperkenalkan dirinya pada kami semua di saat sarapan pertama.
Tampan dan berkarisma, namun misterius. Boby jarang sekali bicara, nyata kami mendengar dia bicara panjang lebar selama ini hanya ketika perkenalan dirinya saja.
Kali ini Oliv dan Dinda akan mengunjungi makam ibunya Dinda.
Keduanya menggunakan dress hitam, begitupun aku dan Boby, lelaki pendiam itu selalu menggunakan setelah kemeja hitam.
Ketika masuk ke mobil, Oliv dan Dinda memilih duduk di kursi belakang. Hanya ada kursi kosong di depan, samping Boby.
Aku canggung sekali, lama aku mematung di luar memandang kursi kosong yang akan ku duduki nanti.
"Ganis, cepat masuk!" Suara Oliv menggelagar membuatku sadar.
"I-iya," ucapku terbata-bata.
Kulihat lelaki itu malah menyunggingkan senyum ketika Oliv meneriakiku.
Aku yang kesal hanya meliriknya dan berkata," ada yang lucu?"
Boby hanya menggelangkan kepalanya dan fokus menyetir.
Sekitar dua puluh menit perjalanan akhirnya mobil berhenti tepat di pemakaman elit.
Gegasku keluar dan membantu Dinda duduk kembali ke kursi rodanya.
Ketika aku hendak mendorong kursi roda Dinda, Oliv mencegahku.
"Maaf Ganis, kali ini biarkan hanya aku dan Dinda saja. Kau tunggulah di mobil bersama Boby," ucap Oliv.
Aku hanya mengangguk dan membiarkannya mendorong kursi roda Dinda.
Aku mematung melihat punggung keduanya yang semakin menjauh.
Tanpa kusadari Boby telah berdiri di sampingku.
Lelaki muda itu menyulutkan rokoknya, hingga asap rokok mengebul ke arahku.
"Apaan sih," gerutuku.
"Lucu," celetuknya.
"Ga ada yang lucu, yang ada aku kesel." Gegas aku menjauh darinya.
Boby tersenyum dan masuk ke dalam mobil, dapatku lihat dari kaca spion dia merokok sambil memperhatikanku.
Aku yang risih segera pindah menjauh dari pandangannya.
Hampir lima belas menit dan kedua wanita itu tak jua kembali. Aku hanya dapat menghela nafas kemudian berteduh di bawah pohon besar yang rindang.
"Nih, minum!" Entah kapan Boby ada di sampingku dan kini dirinya duduk sembari menyodorkan air mineral padaku.
Kuraih air mineral itu dan kuteguk hingga tandas.
Rasanya aku sudah lama sekali menunggu kedua majikanku hingga aku haus sekali.
"Biasanya mereka akan sampai setengah jam lamanya di kuburan, barulah kembali," ucap Boby.
"Kau tahu?" tanyaku.
"Tentu saja, sudah tradisi mereka." Lelaki itu berdiri tepat di depanku.
Aku gugup melihat lelaki itu menatapku lekat, gegasku menghindar dan senyumku melebar saat tak lama kemudian Oliv dan Dinda datang.
Mata Oliv sembab, begitupun Dinda.
Bahkan kini gadis berkebutuhan khusus itu menangis histeris begitu melihatku.
Kupeluk erat tubuh gadis yang histeris di kursi rodanya.
Kuusap lembut punggung Dinda.
"Tenanglah, ada sus Ganis di sini" ucapku.
****
Hari itu kuhabiskan dengan memeluk dan menenangkan Dinda, rupanya hari itu merupakan hari dimana ibunda Dinda tiada.
Sekitar pukul sembilan malam barulah aku bisa kembali ke kamarku. Tentu setelah Dinda tertidur lelap.
Baru saja aku sampai di depan pintu kamar, sebuah tepukan di bahuku menghentikan langkahku.
"Temani aku makan, ya!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments
Naraaulia
hmmmm boby jangan ada maksud tertentu dengan ganis
2023-04-07
0
Kariangau
alhamdulillahh...semoga dinda terus dekat dengan rengganis
2023-04-06
0