"Dimana Dinda?" gumamku seorang diri, mataku mengedar mencari sosok tersebut.
Nihil ...!
Hingga tanpaku sadari, pintu balkon ternyata terbuka lebar hanya tertutup tirai saja.
Perlahan aku melangkahkan kaki ke arah balkon, ternyata gadis itu tengah melukis sembari duduk di kursi roda dan fokus akan langit biru yang menjadi objek lukisannya.
Aku tersenyum dan mengelus dadaku lega, begitu takutnya aku jika dihari pertama saja sudah membuat kesalahan.
Perlahan aku mendekat namun tak berani untuk langsung menghampiri gadis itu, aku hanya mematung di tempat dan memperhatikannya.
Rumah orang kaya memang berbeda, balkon dikamar Dinda begitu besar dan penuh dengan bunga yang terawat di pot-potnya.
Gadis yang sudah berumur belasan tahun itu masih bertingkah layaknya anak kecil. Tampaknya mainan yang begitu beraneka macam di lantai kamarnya yang tadi berserakan kemana-mana.
Sekitar dua jam aku mematung menunggu gadis itu melukis langit yang terlihat indah sekali, rupanya anak ini berbakat menjadi pelukis.
BRAKKK...!
aku terperanjat saat semua lukisan dan papan lukis itu di lempar ke arahku. Bahkan kuas dan peralatan lainnya terlempar tepat ke wajahku, sontak saja aku mundur hingga terjatuh ke lantai.
"Aduh," gumamku yang mengaduh kesakitan, bagaimana tidak kepalaku terbentur keras pinggiran meja yang berada di dekatku.
Terasa sakit sekali, jemariku meraih bagian kepalaku yang terasa begitu sakit itu.
Mataku terbelalak saatku lihat darah di jariku selepas menyentuh kepalaku yang terbentur keras meja tadi.
Gadis itu mendekatiku begitu mendengar aku mengaduh kesakitan.
"Kamu, siapa?" tanyanya sembari menatap tajam padaku.
"Saya Rengganis, suster Dinda yang baru. Dinda mau kan, main sama sus Ganis." Ujarku pelan, takut salah bicara. Sedang kepalaku terasa pusing.
"Sus Ganis mukul, ga? Dinda ga mau main sama Sus yang suka marah," celoteh gadis muda yang masih bertingkah seperti anak kecil itu.
Aku tersenyum, dan menggelengkan kepala pelan. Melihat itu sang gadis tersenyum padaku dan entah mengapa aku tak ingatkan apapun.
Aku pingsan, entah berapa lama.
Saat kusadar, ternyata aku berada di kamar tidurku. Kembali rasa sakit di kepalaku terasa.
"Sus Ganis, udahan boboknya?" tanya Dinda yang duduk di kursi rodanya yang di dorong oleh Olivia.
Aku melihat ke arah mereka berdua dengan senyum yang terpaksa.
"Maafkan Dinda ya, Sus! Kayaknya tadi Dinda ga tahu ada sus Rengganis di belakangnya, iya kan. Dinda?" Jelas Olivia sembari meremas bahu gadis malang itu.
Dinda nampak tertekan berada dekat Olivia, gadis itu hanya mengangguk sembari menatap nanar padaku.
"Ga apa-apa kok, Non! Ini saya yang ceroboh. Saya sudah baikan, biar Dinda sama saya aja." Timpalku sembari mencoba duduk dipinggir ranjang.
"Oke begitu memang lebih bagus, Sus. Saya ini capek harus gonta ganti carikan Dinda suster baru terus, dia anaknya mudah ngambek dan susah diatur. Kalau sudah marah saja, Dinda akan buang air sembarangan. Saya memang calon ibunya, tapi saya juga butuh waktu buat diri sendiri. Nah, sekarang kamu sama Sus Ganis ya. Jangan nakal lagi, ya!" Tukas Olivia sembari melangkah pergi, meninggalkan aku dan Dinda berdua di kamarku.
Tanganku diraihnya, gadis itu menitikkan airmata sembari menatap diriku lekat.
"Sus, maafin Dinda ya. Ga sengaja kok, tadi Dinda kesel ga ada teman main. Dinda di kurung terus, makanya Dinda ngamuk. Sus Ganis mau kan jadi teman Dinda. Dinda janji ga akan nakal lagi, janji ga buang air sembarangan. Dinda mau pake pampers asal Sus mau jadi teman Dinda." Ungkap Dinda sembari mengarahkan jari kelingkingnya kepadaku, aku tersenyum dan menautkan kelingkingku di jarinya.
"Iya, Tuan puteri!" sahutku.
Kini kami sama-sama tersenyum, perlahan aku mendorong kursi roda Dinda dan membawanya ke taman. Kepalaku yang diperban telahku tutup kembali dengan jilbabku yang panjang menjuntai.
Meski masih terasa nyeri di kepalaku, demi pekerjaan aku harus bangkit dan menemani Dinda.
Hari itu kami habiskan dengan duduk di taman, Dinda bermain pesta teh denganku dan empat bonekanya.
Menemani Dinda seperti ini, membuatku merasa menjadi anak kecil lagi.
Tak ada lagi drama mengamuk dan tak bisa di atur.
Hanya dalam dua minggu, Dinda begitu antena dan menjadi anak penurut. Kesehariannya di habiskan bersamaku.
Saking lengketnya denganku, kamar dan pakaiannya hanya boleh di bersihkan dan di cuci olehku.
Pagi hariku dimulai dengan mengepel kamarnya dan mencuci bajunya. Sebelum dia bangun, sarapan sudah kusiapkan di atas meja kamarnya.
Aku merangkap sebagai pembantu dan suster.
Malam itu tepat pukul sembilan malam, Olivia mengetuk kamarku.
Aku yang baru saja kembali dari kamar Dinda setelah memastikan sang gadis tertidur, terdiam saat mendengar adanya ketukan di daun pintu kamarku.
TOK ....! TOK ....! TOK ....!
"Siapa?" tanyaku sembari berjalan gontai ke arah pintu.
"Oliv,"
Gegasku buka pintu.
"Ada apa, Non?" tanyaku pelan, tubuhku sudah lelah ingin segera beristirahat.
"Tuan Atmaja memanggil Sus Ganis," sahut wanita muda itu sembari berjalan duluan.
Tak mengundurkan waktu, akupun mengikuti langkah wanita muda yang sudah berjalan duluan di depanku.
"Ada apa, ya Non?" tanyaku penasaran.
"Entahlah, saya juga ga tahu kenapa jam-jam segini tuan Atmaja memanggil Sus untuk menghadap." Jawab Olivia begitu acuh, tangannya bersedekap di dada.
Beberapa saat kemudian, aku dan calon istri pemilik rumah ini telah sampai ke depan ruang kerja tuan Atmaja.
Oliv mengetuk pintu hingga terdengar suara tuan Atmaja menyuruh masuk.
"Silahkan masuk, Sus! Saya tinggal, ya." Wanita muda itu berlalu pergi meninggalkan aku sendiri.
"Masuk!" sekali lagi suara majikanku terdengar.
Tak ingin kena amarah tuan Atmaja, gegas aku masuk dan menghadapnya yang duduk menyilangkan kaki di kursi empuk di belakang meja kerjanya.
Sedang di sofa yang panjang dan empuk itu dapatku lihat lelaki tampan dan muda sedang memainkan ponselnya.
"Rengganis," seru majikanku yang membuatku gugup menatapnya.
"Saya lihat Dinda menjadi anak yang ceria setelah berada dalam asuhanmu. Terima kasih." Sambung pak Atmaja sembari menggeserkan amplop berwarna coklat ke arahku.
"Ambil ini,"
"Apa ini Tuan?" tanyaku setia mematung di depan tuan Atmaja.
"Bonus untukmu, wujud terima kasihku karena bisa melihat Dinda tersenyum dan begitu ceria. Meskipun dirinya masih menjaga jarak denganku. Terimalah, aku tak mendengar kata penolakan darimu." Tukas tuan Atmaja datar.
Tak ingin banyak berkilah, gegas ku raih amplop coklat itu.
"Terima kasih, Tuan!" ucapku sembari mendekap erat amplop itu. pikiranku sudah kemana-mana, tentu memikirkan tentang anak-anakku yang bahagia mendengar aku bisa mengirim uang untuk mereka.
Membayangkan senyum manis bahagia mereka saja sudah membuat hatiku senang bukan main.
"Dan ini, ponsel untukmu. Dapat digunakan menelepon anak-anakmu di kampung dan dapat ku telepon saat menanyakan kabar Dinda." Tuan Atmaja menyodorkan ponsel yang masih berada dalam kotaknya padaku.
"Untuk saya, Tuan?" tanyaku tak percaya.
"Iya, ambillah. Di dalamnya sudah ada nomor penyalurmu dan nomorku, agar dapat memudahkanmu menghubungi keluargamu." Terang tuan Atmaja sembari beranjak dan duduk di sofa dekat lelaki muda tadi.
Tanganku gemetar saat meraih benda itu. Tak terasa airmataku luruh seketika.
"Terima kasih, Tuan!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments
Kariangau
aku mau hp pak atmaja...
2023-04-06
0
Naraaulia
itulah ibu, berjuang untuk anak-anaknya. semangat ganis. semua akan indah pada waktunya
2023-04-06
0
Nara
Alhamdulillah Rezeki anakmu Ganis ...Tuan Atmaja begitu baik padamu
sayangi Dinda seperti sayangmu pada kedua anakmu yg di kampung ya Nis
2023-02-25
0