Diam bukan berarti kalah

Hari ulang tahun Dhani tiba, semua persiapan sudah 90% tersusun rapi. Pagi-pagi sekali aku bergegas menjemput Ibuku dirumah tapi seperti biasa Mama mertua mulutnya tidak berhenti mengoceh.

“Diana kamu itu harus benar-benar detail menyiapkan acara ulang tahun Dhani malu kalau ada yang kurang apa kata orang,” sewot Mama mertua padaku.

Aku pun mengiyakan saja dan mendengarkan omongan Mama mertua. Sepatah kata keluar dari mulut aku, dijamin pasti jadi drama panjang tak kunjung berakhir.

“Ma aku keluar sebentar mau jemput Ibu,” izinku pamit.

“Iya sekalian beli pesanan Mama snack yang kurang,” perintah Mama mertua.

“Iya Ma,” balasku singkat lalu aku bergegas pergi.

Sesampainya dirumah Ibu, terlihat banyak sekali barang bawakan Ibu. Aku tidak heran karena Ibu kalau diajak kerumah janjian banyak sekali buah tangannya, kecuali diajak dadakan pasti tangan kosong.

Sejak Mama mertua tinggal dirumah bisa dihitung jari Ibuku berkunjung, tujuannya menghindari konflik tak sedap.

Ditengah perjalanan pulang ke rumahku, aku mendapat panggilan dari kantor.

“Ada apa Bunga?” tanyaku pada rekan kerja.

“Mba ada klien dari keluarga suami Ibu Fira katanya minta tolong mau ketemu langsung sama Mbak,” seru Bunga

“Hari ini aku beneran gak bisa jadwal hari ini aku sudah izin jauh-jauh hari,” tegas ku.

“Gimana ya jelasinnya, Ibu Fira juga nomornya sibuk gak bisa dihubungi. Sebentar saja projectnya lumayan mbak, dia bikin acara nikahan dua harian terus mbak katanya gak sampai malam,” terang Bunga.

“Aduh beneran gak bisa Bunga,” jawabku mencoba menolak terus.

Tiba-tiba Ibu mencolek ku, matanya melotot lalu dia berbisik ke telingaku.

“Sudah beresin kerjaan kamu aja dulu. Biar ibu yang handle dirumah kamu,” bisik Ibu.

“Oke Bunga setengah jam paling lama aku sampe kantor kamu layani aja dulu seperlunya aku on the way ke kantor,” seruku sekaligus mengakhiri panggilan Bunga.

Setelah menurunkan Ibu dirumahku aku segera menuju kantor tapi entah kenapa selama aku berada di kantor perasaanku sangat gelisah dan tidak tenang selalu kepikiran soal rumah. Sesekali fokusku juga buyar ingin cepat menyelesaikan semua urusan dikantor.

Selama lebih dari dua jam aku dikantor melakukan pekerjaan, lantas sudah waktu nya aku ingin buru-buru pulang ke rumah tapi baru saja duduk didalam mobil. Bik Idah mengirim sebuah video ke ponselku. Betapa terkejutnya aku melihat isi video Mama mertua tidak henti membuat Ibuku melakukan pekerjaan rumah yang berat.

“Bik Idah mana Mama aku mau bicara,” aku menghubungi Bik Idah dengan keadaan marah.

“Sebentar Buk,” sahut Buk.

Dadaku terasa engap membara, Mama mertua seharusnya memperlakukan Ibu aku dengan baik. Kenapa dia malah seenaknya menyuruh Ibu ku melakukan pekerjaan berat dirumah.

“Halo kenapa Diana?” tanya Mama mertua.

“Ma aku mintak tolong banget sama Mama jangan bikin masalah sama aku, biarin Ibu aku main sama Anjas. Mama perintah Bik Idah saja jangan Ibu aku Ma, umur Ibu aku gak mudah lagi seumuran Mama kenapa Mama suruh-suruh Ibu ngangkat yang berat,” terangku kesal.

“Siapa yang suruh Ibu kamu orang dia mau, biarin aja Ibu kamu bergerak dirumah. Bik Idah sekrang tugasnya jagain Anjas lagian gak ada pengasuh. Berhubung kamu utamakan pekerjaan kamu Ibu kamu gantinya,” sengit Mama mertua.

“Apa.. tunggu Ma ya aku pulang kita lanjutin perdebatan ini dirumah,” balasku meradang.

Aku menangis sesenggukan melihat ibuku membawa tiga kantong penuh sampah, dia mengangkut tumpukkan piring dan lagi membersihkan dapur terus kamar mandi. Amarahku tidak terbendung lagi melihat perlakuan keluarga Dhani padaku. Terlebih lagi Mama mertua tidak menghargai Ibuku sebagai besannya.

Mama mertua juga tidak pernah sekalipun memperlakukan aku sebagai anaknya sendiri melainkan hanya sebagai menantu dengan batasan luar biasa banyak. Dia seperti membangun tembok tinggi untuk selalu berjarak padaku menganggap diriku seperti orang lain.

Setelah aku sampai dirumah, Mama mertua makin menjadi. Ibu ku sedang mengangkat lemari hias ruang tamu sendiri sedangkan Mama mertua sepertinya sengaja sudah ngumpulin empat Ibu-ibu perumahan untuk datang kerumah.

“Diana kamu sudah pulang, kita-kita sengaja datang cepat buat bantuin nyusun snack tambahan kamu supaya lebih cantik. Kamu catering ya coba ngomong sama Tante biar Tante yang masak,” seru Tante Laras sahabat ghibah Mama mertua.

“Sih Ibu tolong ambil piring lima lagi, cepat ya sama pita buat sovenir syukuran. Oh iya gunting jangan lupa cepat ya,” pekik Tante Laras memberi perintah Ibuk ku.

“Kalian ada kaki sama tangan kan kalau mau bantuin orang jangan setengah-setengah buat gerak. Goyang lidah buat ghibah nomor satu tapi nolongin orang malesan. Tujuan kalian bantuin orang buat cari masalah kan,” cibir Diana geram.

“Diana jaga mulut kamu, kenapa kamu bersikap kasar sama Tante Laras dia bela-belain datang awal buat bantuin Mama,” bentak Mama mertua.

“Ini piring, pita sama guntingnya,” kata Ibuk ku.

“Ibu taruh di pojokan saja biar mereka ambil sendiri, Ibu aku bukan budak kalian. Dia Ibu aku, Mama juga harusnya sadar Ibu aku itu besan Mama." berontak ku muak.

"Asal Mama tahu aku berusaha mati-matian buat Ibu aku senang dihari tua tapi kalia justru tidak menghargai orang lain,” amukku.

“Oh jadi kamu hanya sayang sama Ibu kamu terus gak sayang sama mertua kamu,” sindir Tante Laras.

“Tante tidak usah jadi kompor. Lebih baik tante-tante pulang saja dulu nanti jam empat baru datang kerumah,” ujarku mengusir semua teman Mama mertua.

“Kamu gak berhak usir teman Mama, lagian memang kamu tidak pernah sayang sama mertua kamu sendiri. Kamu selalu bantah Mama terus jawab omongan Mama terus. Hobi kamu jawab omongan orang tua gak suka diatur orang tua,” Sewot Mama mertua melotot.

“Aku bakal nurut sama mertua yang waras dan bijaksana. Ini rumah aku jadi aku berhak terima tamu siapa saja sekaligus usir tamu siapa saja,” seruku ngotot.

“Oh kalau kamu usir teman Mama berarti kamu ngusir Mama juga,” ucap Mama mertua makin buatku jengkel.

Tidak lama aku berdebat sama Mama mertua, Dhani pulang kerja.

“Diana,” bentak Dhani memarahi aku didepan banyak orang.

“Aku sudah bilang sama kamu berhenti ngomong usir Mama.”

Aku terdiam tidak menjawab satu kata pun keluar dari mulutku. Dhani adalah suami aku dan aku tidak ingin bertengkar hal sepele gara-gara Mama mertua.

“Ibu minta maaf Dhani semua ini salah Ibu. Ayo Diana masih banyak hal penting yang harus kamu kerjakan,” perintah Ibu mencegah pertengkaran aku dan Dhani.

Syukuran ulang tahun Dhani berjalan lancar, bahagia tapi tidak diantara aku dan Mama mertua. Perselisihan aku dan Mama mertua bertambah sengit dikala Mama mertua menghalangi Dhani ingin memberi potongan tumpeng pada Ibuku.

“Bukan muhrim,” ceplos Mama mertua.

“Dhani menantunya Ibu aku Ma. otomatis sudah jadi anak laki-lakinya, bukan orang lain" Rutuk ku dongkol.

“Ma, Ibu itu mertua aku please jaga sikap jangan mulai lagi,” bisik Dhani seraya mengerutkan dahinya pada Mama mertua.

Mama mertua memang selalu memancing emosi aku, terserah orang lain mau anggap aku menantu kurang ajar. Aku tidak ingin batinku tertekan dan selalu aku lampiaskan saat itu juga.

Dhani dan Anjas adalah alasan terbesar ku untuk diam tidak berlebihan melawan Mama mertua ku. aku diam bukan berarti aku kalah, aku bermain cantik saja karena aku tidak ingin jelek Di mata suami ku.

Terpopuler

Comments

Yunerty Blessa

Yunerty Blessa

kasian Diana dan ibunya ditindas selalu

2023-07-04

0

dewidewie

dewidewie

Dhani, tanggung jawab dong sama istrimu..

2023-05-02

0

Farhan Saputra

Farhan Saputra

😍😍😍

2023-03-20

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!