“Ca, Mama mau minta tolong.” Pinta seorang wanita cantik yang sudah berada di ambang batasnya.
“Apa, Ma?” jawab Carissa dengan tetesan air mata dan suara tangis yang tertahan.
“Nanti, jika kamu sudah mampu melakukannya, tolong jenguk nenek Lita. Dan pastikan semuanya baik-baik saja. Hanya itu, Sayang, yang mama inginkan.” Pinta Anita dengan suara lemas.
“Yang penting sekarang Mama harus sembuh dulu. Nanti kita temui nenek Lita sama-sama ya, Ma. Tolong jangan tinggalkan Ca, Ma...” akhirnya tangis itu pecah.
“Mama tak bisa, Ca. Waktu mama sudah dekat. Semoga kebahagiaan selalu menyinari hidupmu, anakku sayang. Ca . . . risa.” Anita menghembuskan napas terakhirnya setelah menyebut nama putri kesayangannya. Setelah berjuang beberapa tahun menghadapi kanker, akhirnya ibunda Carissa menyerah akan rasa sakit yang terus saja dideritanya. Bagas memeluk putrinya yang menangis dengan keras di dalam ruang IGD. Hatinyapun hancur melihat wanita yang paling dicintainya meninggalkannya di dunia ini, namun ia harus menguatkan diri karena masih ada sosok yang harus terus dia kuatkan selain dirinya sendiri.
“Relakan Mama, Ca. Mama sudah tak sakit lagi.” Ucap Bagas dengan hati perih. Carissa meluapkan kesedihannya akan sepeninggal ibunya. Bagi Carissa, Anita adalah segala-galanya. Bagas dan Carissa melewati malam itu dengan luka dalam.
Anita merupakan sosok seorang ibu yang cocok dengan kata sempurna. Sabar dan penyayang, dua kata itu pasti keluar dari ucapan semua kerabat yang turut mengantarkannya kepersinggahan terakhirnya. Ia juga sangat ramah kepada semua orang, termasuk asisten rumah tangganya. Tidak pernah Anita membeda-bedakan status. Rasa kehadiran yang Anita tinggalkan begitu kuat dan membekas, terutama dirumah yang mereka bertiga tinggali. Bagas dan putri kesayangannya harus berjuang hebat menahan rasa rindu karena Anita memiliki ruang khusus dihati keduanya. Dengan janji yang pernah Bagas ucapkan dimenit-menit terakhir, ia akan membesarkan Carissa dengan penuh kasih sayang dan tak akan membuat Anita bersedih di surga.
Beberapa saat waktu terasa berhenti dan meninggalkan rasa rindu yang teramat berat setelah kepergian sang mama, namun waktu terus berjalan. Kini, gadis SMA itu telah beranjak dewasa.
Tak terasa, kini gadis kecil itu sudah menginjak usia 22 tahun saat ia berhasil menuntaskan kuliahnya di jurusan Fashion Design. Usia dimana bunga sedang mekar-mekarnya dan menimbulkan harum yang semerbak. Begitu juga yang dialami oleh Carissa, gadis berkulit putih dan berambut panjang itu. Cukup banyak laki-laki yang mencoba mendekatinya, namun Bagas, si Ayah tampan, akan dengan sigap menangkis semua godaan yang menghampiri putrinya.
“Ayolah, Mas. Jangan terlalu posesif dengan putrimu. Kapan dia bisa menikah nanti?” protes Siska, adik kandung Bagas.
“Mereka enggak ada yang cocok dengan Ca, Sis. Lihat saja, sudah kelihatan jika mereka enggak tulus.”
“Kamu tahu dari mana jika mereka enggak tulus? Belum juga mereka menunjukkan niat yang sebenarnya.” tanya Siska sambil mengambilkan nasi untuk Bagas.
“Lihat saja pandangan mata mereka setiap kali bertemu dengan, Ca. penuh nafsu!” delik Bagas dengan emosi.
“Sudah, sudah. Sebentar lagi Carissa turun. Jangan biarkan dia tahu jika semua yang mendekatinya kabur gara-gara takut padamu.”
Siska meletakkan sepiring nasi didepan meja Bagas. Setelah bercerai dengan suaminya, Siska diminta untuk tinggal bersama Bagas dan Carissa karena dia masih belum memiliki anak dan tinggal sendirian. Sudah tiga tahun terakhir Siska tinggal dirumah itu dan menjadi ibu kedua untuk Carissa.
“Pagi Papa...Pagi Tante.” Sapa Carissa dengan senyum indahnya.
“Pagi, Sayang.” Bagas mengecup kening putri tercintanya. Carissa duduk seperti biasanya disebelah papanya.
“Apa rencanamu hari ini, Ca?” tanya Siska pada keponakannya. “Apa sudah ada rencana buat terjun kedunia kerja?”
“Ngapain buru-buru cari kerja? Santai saja dulu, lagi pula Ca juga kan baru lulus, Sis.” Protes Bagas pada adiknya.
“Ya kan pasti dia nanti juga akan terjun kedunia kerja, Mas.” Siska juga mengambilkan nasi dan lauk untuk keponakannya. Kebaikannya itu dibalas oleh ucapan terima kasih dan senyuman manis dari Carissa.
“Kamu kerja aja diperusahaan papa ya, Ca!”
“Enggak lah, Pa. Mana bisa Ca kerja dikantor Papa. Jurusan kita nggak nyambung kali.” Jawab Carissa dengan enteng. Dan anehnya hal itu membuat Bagas sedih karena mengingat jika putri kecilnya sudah dewasa dan tak selalu membutuhkannya lagi.
Siska tertawa melihat ekspresi kakaknya yang cemberut dan sakit hati karena penolakan dari putri semata wayangnya. “Bener, Mas. Nggak cocok.” Tambah Siska.
“Kalau begitu, mau papa buatkan butik?”
Carissa menggelengkan kepalanya, “Aku ingin membuat bisnis dengan usahaku sendiri, Pa. Tapi saat ini ada yang mau aku lakukan dulu, Pa. Dan ini penting.”
“Hm? Apa itu?” Bagas meletakkan sendoknya dan berhenti makan untuk fokus pada keinginan putrinya.
“Carissa ingin mengabulkan permintaan terakhir mama. Ca ingin bertemu dengan nenek Lita.”
Seketika kedua tangan Bagas mengepal. “Aku sudah selesai makan. Aku pergi dulu.” Bagas buru-buru pergi dari meja makan pagi itu.
“Pa! Papa!” panggilan Carissa tidak membuat Bagas bergeming.
“Tante.” Carissa memelas pada Siska.
“Kita selesaikan sarapan kita dulu, ya. Habis itu baru kita bicara.”
Meja makan itu terasa sunyi setelah Bagas pergi. Bukanlah hal yang salah membicarakan nenek Lita di meja itu, namun karena perlakuan yang Anita dulu dapatkan, membuat Bagas anti mendengar nama keluarga itu.
Setelah sarapan, Siska membawa Carissa ke teras belakang. Ia ingin memastikan alasan keponakannya itu mengungkit tentang ibu angkat mamanya setelah sekian lamanya.
“Kenapa kamu tiba-tiba mengungkit hal itu, Ca?”
“Ini sudah lima tahun setelah kepergian mama, Tante. Dan aku merasa jika saatnya mengabulkan permintaan mama.”
“Tapi apa kamu tahu jika papamu tidak akan setuju?”
“Aku akan membujuknya nanti, Tante. Tapi bisakah Tante cerita padaku. Kenapa papa tidak nyaman dengan hal itu.”
“Apa kamu belum pernah mendengar ceritanya?”
“Hanya sekilas, namun tidak terlalu jelas.”
“Tante akan ceritakan padamu, yah lagi pula ini bukan hal yang selamanya harus ditutupi. Tante juga tahu sedikit ceritanya dari mbak Nita. Jadi, dulu . . .”
-Anita merupakan anak yang di adopsi dari sebuah panti asuhan di pinggiran kota Malang. Saat itu Anita baru berusia 10 tahun, namun dia sudah mengetahui jika hidupnya tidak bisa seperti anak pada umumnya. Saat membawa Anita kerumah, ternyata Lita sudah mempunyai anak perempuan yang berusia 15 tahun. Anita tidak tahu pasti kenapa Lita harus mengadopsi anak sedangkan ia mempunyai seorang anak kandung. Namun, setelah itu prahara terjadi didalam keluarga itu. Mega merasa jika ibunya itu lebih sayang kepada Anita dari pada dirinya yang merupakan anak kandung. Diam-diam Mega sering menyiksa Anita dan mengancamnya jika berani mengadu kepada ibunya. Tentu saja Anita hanya diam dan menahan rasa sakitnya karena ia sadar posisinya.
Puncak dari permasalahan dirumah itu adalah saat suami Lita kritis. Ia meminta suaminya untuk membuat wasiat dan memberikan setengah dari keseluruhan hartanya untuk Anita. Tentu saja Mega yang saat itu sudah berusia 25 tahun merasa tidak adil dan tidak terima sehingga membuat kegaduhan. Singkat cerita, akhirnya Anita memilih keluar rumah demi ketenangan keluarga itu. Lita merasa sangat khawatir karena anak perempuannya berada di luar pengawasannya, namun akhirnya, Lita tenang setelah memastikan Anita aman dan bahagia setelah menikah dan hidup bersama Bagas suaminya.
“Sejak itulah, mamamu tidak pernah diperbolehkan menginjakkan kakinya lagi dirumah keluarga Syahreza. Mamamu bahkan pernah didorong oleh satpam atas perintas Mega. Hal itulah yang membuat papamu sangat membenci keluarga itu.”
“Tapi, Tante. Mama sudah berpesan padaku untuk yang terakhir kalinya. Saat ini nenek Lita pasti sudah tua. Aku takut tidak sempat bertemu dan menjalankan amanat mama.”
“Ya, tante tahu itu.” Siska memejamkan kedua matanya untuk berfikir dan mengambil keputusan. “Bagaimana jika kamu coba bicara dulu dengan papamu? Tante akan coba tanya Bu Yanti dulu bagaimana keadaan keluarga Syahreza.”
“Bu Yanti? Siapa, Tante?”
“Oh! Dia adalah kepala pembantu dirumah itu. Sejak dulu, beliaulah yang selalu memberitahu mamamu tentang kabar Bu Lita.”
“Terimakasih, Tante.”
“Sama-sama, Sayang. Sudah sekarang temui dulu saja papamu diruang kerjanya. Saat ini aku yakin jika ia pasti masih kesal.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 118 Episodes
Comments