Bab 4: Panggilan Orang Tua

Tidak butuh waktu lama sebelum Felice kembali dipanggil ke kantor guru di tengah pelajaran. Dia keluar dari kelas di bawah tatapan prihatin adiknya. Mungkin orang tuanya sudah sampai, itulah sebabnya guru matematikanya mengirim seorang siswa dari kelas lain untuk memanggilnya.

Siswa perempuan yang menemaninya itu kebetulan adalah seorang kakak kelas yang mengenal Felice. Di perjalanan menuju kantor dia mengingatkan Felice kalau orang tuanya sudah ada di kantor. Butuh beberapa jeda singkat agar Felice mengingat siswa perempuan di sebelahnya, ternyata teman yang dulu pernah satu les dengannya.

Saat pintu kantor dibuka, benar saja. Duduk di hadapan guru matematikanya adalah papa dan mamanya. Sang guru matematika mengangguk pada kakak kelas Felice sebagai tanda kalau dia sudah boleh masuk kelas. Setelah pintu ditutup, yang tersisa di kantor hanya Felice, orang tuanya, dan guru matematika. Guru-guru lain sudah pada masuk kelas semua.

"Felice," panggil ibunya dengan senyuman sambil melambaikan tangannya untuk meminta putrinya ke sisinya. Guru matematikanya pasti sudah memberitahu orang tuanya mengenai masalah kertas ujian itu, tapi tidak ada tanda-tanda kemarahan di wajah papa dan mamanya.

"Pak, Bu, meskipun kalian menyayangi putri kalian, tapi ini adalah tindakan yang tidak benar dilakukan oleh seorang anak. Jika kita tidak mengajarinya apa yang benar dan salah, lalu apa yang akan dilakukannya di masa depan?..."

Ceramah guru perempuan itu tidak mendapat tanggapan apa pun dari pasangan orang tua ini. Sang ayah hanya diam, dan sang ibu bahkan tidak repot-repot melihat guru yang berbicara panjang lebar tentang keburukan putrinya. Semua pandangan ibunya tertuju pada Felice yang menatap langsung ke mata ibunya.

Setelah selang beberapa waktu, guru matematika itu akhirnya mengakhiri ceramahnya dan pada saat itulah ibu Felice baru mulai berbicara. Dia menatap putrinya dengan senyuman lembut, "Sayang, apa kamu curang saat ujian?"

"Enggak, Ma," jawab Felice dengan serius.

Ibu Felice menatap balik sang guru dan berkata, "Lihat Bu, anak saya bilang dia tidak curang."

"Bu Julia-"

Ibu Felice, Julia, menatap tajam sang guru dan memotong, "Dan anak saya tidak akan berbohong. Saya ibunya dan saya mengenal baik anak saya sendiri. Felice tidak akan berbohong pada orang tuanya dan dia juga tidak pernah melakukan tindakan buruk seperti ini."

"Tapi Bu-"

"Maaf kalau saya memotong kata-kata Ibu lagi. Kertas ujian yang Ibu tunjukkan pada kami tidak cukup untuk membuktikan kalau anak saya berbuat curang. Pernahkah Ibu berpikir kalau mungkin Felice memang mampu mengerjakan soal-soal itu dan baginya soal itu tidaklah sulit," lanjut Julia.

"Tidak mungkin seorang anak bisa meningkat pesat seperti itu hanya dalam selang waktu minggu-minggu liburan. Dan yang saya dengar dari Feline, selama liburan dia dan Felice tidak mengikuti les. Jadi bagaimana mungkin Felice tiba-tiba menjadi sepintar ini?" kata guru itu sebelum melanjutkan lagi, "Saya tahu Pak Marvin dan Bu Julia sangat memanjakan Felice dan Feline. Tapi saat seorang anak berbuat salah, adalah tugas orang tua untuk mengajari anak tersebut supaya nantinya sikap buruk ini tidak menjadi bumerang bagi Felice ketika dia sudah dewasa."

Semakin Felice mendengarkan, semakin tidak enak kata-kata gurunya. Dia agak heran, kenapa tidak ada kesan tentang orang ini di ingatannya? Guru ini sepertinya agak memusuhinya?

"Ibu, kami menghargai Ibu sebagai guru Felice. Tapi bukan tugas Ibu untuk mengatur bagaimana kami sebagai orang tua Felice, mendidik anak kami sendiri," ujar Marvin, sang ayah.

"Mungkin Ibu bermaksud baik, tapi kata-kata Ibu benar-benar menyinggung kami. Daripada langsung menghakimi, mengapa Ibu tidak memberi siswa Ibu sebuah kesempatan untuk membuktikan diri?" kata Marvin.

Guru matematika itu sangat tidak senang dengan sikap orang tua yang tidak kooperatif. Tanpa basa-basi lagi dia langsung mengeluarkan selembar kertas ujian dari lacinya dan berkata, "Baiklah. Karena Bapak dan Ibu sudah memberi saran. Kalau begitu mari kita beri Felice kesempatan untuk membuktikan dirinya. Ini adalah soal ujian tipe B, kesulitannya sebanding dengan soal tipe A kemarin. Felice bisa mengerjakan soal ini selama 1 jam seperti waktu ujian-"

"Tidak perlu, waktunya terlalu lama. Sekarang aku bisa langsung memberitahu Ibu jawabannya saja," potong Felice setelah memandang sekilas soal di atas meja.

Raut wajah Bu Guru itu cukup jelek dan Felice bisa melihat sebaris kata 'tidak sopan' yang tercermin di wajah guru itu. Memang, seorang siswa yang memotong pembicaraan gurunya itu tidak sopan, tapi Felice saat ini tidak senang. Jika itu di masa lalu, dia mungkin masih bisa berpura-pura. Mungkin sekarang karena usianya kembali menjadi anak-anak, emosinya juga kurang stabil seperti anak-anak.

Julia menatap Felice dengan kilatan teguran di pupilnya yang pura-pura tidak disadari Felice. Dia mengambil kertas di meja dan menuliskan jawaban setiap soal tanpa jeda sebelum mengembalikannya pada gurunya.

Awalnya guru itu tersinggung dengan Felice yang asal-asalan mengerjakan soal ujian, tapi setelah memeriksa jawaban siswanya dia mematung di tempat. Ketidakpercayaan perlahan naik saat dia memeriksa ulang kertas itu, tanpa diduga semua soal diisi dengan benar.

Guru itu menatap Felice dengan keterkejutan dan mengerutkan keningnya, "Bagaimana mungkin..."

"Hanya karena Ibu belum pernah menjumpai anak SD yang jenius, bukan berarti siswa seperti itu tidak ada. Dulu aku sengaja menurunkan nilaiku karena kupikir aku tidak normal," ujar Felice.

Tentu saja kata-kata Felice adalah bohong. Bagi seorang jenius berusia 17 tahun, soal sederhana ini hanya mainan untuknya. Dia hanya ingin mencari alasan yang tepat supaya sekali lagi dikenal sebagai jenius dan bisa lompat kelas, jadi dia tidak perlu benar-benar mengikuti jalur pendidikan normal.

Marvin dan Julia juga agak kaget setelah mendengar kata-kata putri mereka. Julia bahkan lebih heran. Dia tahu Felice memang lebih pintar dari anak-anak pada umumnya, tapi kalau jenius... Kenapa dia tidak tahu?

Sang guru terdiam. Suasana di ruangan itu menjadi lebih canggung seketika. Felice tidak peduli dengan apa yang dipikirkan orang lain, dia hanya tidak senang dikatain seperti itu oleh gurunya. Hanya karena dia diam, bukan berarti dia tidak mengingat semua kalimat celaan itu.

Tapi dengan kekacauan ini, dia bisa mengambil kesempatan untuk memberitahu orang tuanya akan kejeniusannya. Titik bencana terjadi pada saat dia dan Feline berusia 10 tahun. Dan di tahun itu, mereka sudah tidak berada di satu sekolah. Tujuan Felice adalah membiarkan Feline dipindahkan ke sekolah yang sama dengannya pada saat itu.

Jika mereka menghindari titik permulaan bencana berantai ini, segalanya akan berubah kan?

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!