Bab 3: Dituduh Curang

"Felice, sudah jam 5 kamu harus bangun."

Suara ketukan pintu yang terus-menerus membuat gadis kecil di dalam kamar yang masih setia berbaring manis di kasurnya menjadi terganggu. Felice memutar tubuhnya dan menarik selimut hingga ke atas kepalanya sebagai usaha untuk menghalangi kebisingan yang mengganggu tidurnya.

Di depan pintu, Ibu Felice yang sudah lengkap mengenakan pakaian kerjanya mengerutkan keningnya saat dia tidak mendapat balasan dari putrinya. Setelah panggilannya yang berkali-kali diabaikan, wanita itu meninggalkan kamar Felice. Adapun gadis kecil di dalam kamar yang setengah sadar mengira kalau pengganggu di depan pintu telah pergi dan dia dengan nyaman menyesuaikan posisi tidurnya dengan mata terpejam.

Tidak lama kemudian, Ibu Felice kembali dengan segenggam kunci di tangannya dan membuka kunci pintu kamar putri sulungnya tanpa sepatah kata pun. Saat pintu terbuka, pemandangan yang dilihat sang ibu adalah putri kecilnya yang tertidur damai di atas ranjang seperti putri tidur dalam dongeng.

Wanita itu tersenyum kecil dan diam-diam mendekati Felice sebelum berbisik pelan di telinga gadis kecil itu.

"Saatnya bangun tuan putriku~"

Felice yang baru kembali tertidur lelap, terganggu lagi dengan hembusan ringan yang menggelitik cuping telinganya. Bersama dengan sebaris kalimat yang menembus mimpinya, Felice akhirnya dengan enggan bersedia membuka sepasang matanya.

Hal pertama yang dilihat Felice adalah senyuman geli ibunya yang setengah main-main.

"Akhirnya putri tidur Mama bangun juga. Ayo jangan tidur lagi, kamu harus bersiap-siap ke sekolah. Semalam Mama kan sudah ingatin kalau hari libur sudah berakhir, saatnya kembali ke sekolah, Nak," ujar sang ibu yang kemudian menarik putrinya dari kasur.

Felice menggosok matanya sambil pergi ke kamar mandi. Sungguh menjengkelkan. Felice benar-benar enggan menjalani kehidupan sekolah sekali lagi, tapi mau bagaimana lagi ini bukan sesuatu yang bisa ditolaknya tanpa alasan meyakinkan.

Hanya butuh sekitar 20 menit untuk mempersiapkan dirinya sebelum mengambil tasnya dan turun ke bawah.

"Kakak!" seru Feline sambil melambai-lambaikan sendoknya. Ibu mereka menarik lengan Feline dengan lembut dan menegurnya. Gadis kecil itu tersenyum lebar sebagai tanggapan.

Melihat adegan harmonis ini membuat hati Feline menghangat. Meskipun dia sudah sering dihadapkan dengan pemandangan ini, masih sulit membiarkan dirinya terbiasa. Dia selalu menebak-nebak kapan semua ini akan mulai retak.

Sang ayah menarik kursi di sebelahnya untuk Felice sebelum mencium kening putri sulungnya dengan lembut, "Selamat pagi, Sayang."

"Selamat pagi Pa, Ma, Feline."

Setelah selesai menghabiskan sarapan, keluarga berjumlah empat orang itu berpisah dengan dua gadis kecil yang mengikuti ayah mereka. Selama perjalanan menuju sekolah, Feline selalu setia mengoceh dan kakaknya hanya mendengar tanpa memberi tanggapan. Felice melihat ke jendela sambil melamun.

Sekolah masa kecilnya...

Bayangan bangunan yang kabur terbentuk di benak Felice, tapi entah mengapa bayangan itu tidak bisa terbentuk jelas di benaknya. Dia yakin ingatannya tidak selemah itu hingga bahkan gambaran minim tentang sekolah masa kecilnya tidak bisa ditampilkan oleh memorinya.

Aneh...

"Kakak!" panggilan nyaring dan tarikan di lengan bajunya mengganggu momen keraguan Felice.

"Kak, jangan melamun lagi, kita sudah sampai di sekolah!" ujar Feline.

Kedua gadis kecil itu turun dari mobil setelah mengucapkan selamat tinggal pada ayah mereka. Felice memandang gedung familiar di depannya. Akrab, tetapi kenapa ingatannya tentang bangunan ini begitu kabur?

"Kak! Kenapa kamu melamun lagi? Nanti kita bisa telat loh!"

Felice yang ditarik terpaksa mengikuti adiknya berlari ke dalam sekolah. Dalam hati dia agak kebingungan, kenapa rasanya adik kecilnya ini lebih aktif dari yang dikenalnya?

Di kelas Felice memandang materi anak-anak yang dijelaskan guru mereka dengan metode yang memang hanya cocok untuk anak-anak. Sungguh, Felice benar-benar berharap tahun-tahun ini bisa cepat berlalu.

......................

Kantor Guru.

"Felice, Ibu tidak akan marah jika kamu jujur dan mengakui kesalahanmu."

Felice berdiri di depan meja gurunya dalam diam. Di hadapannya adalah guru matematikanya yang sedang membandingkan dua lembar kertas ujian di meja dengan ekspresi marah dan kecewa. Nada menuduhnya bisa membuat anak-anak mana pun merasa tertekan. Sayangnya Felice tidak seperti anak pada umumnya. Di hadapkan dengan kemarahan gurunya yang menusuk, dia hanya diam dan balas menatap mata gurunya tanpa sedikit pun rasa bersalah.

Melihat reaksi Felice, guru itu semakin kesal. Keributan di sini telah memancing perhatian beberapa guru lainnya, tapi tidak ada guru yang ikut campur dalam masalah ini setelah mendengar alasan kemarahan guru matematika itu. Beberapa hanya menggeleng-geleng kepalanya tidak setuju dengan tindakan Felice.

"Berbuat curang saat ujian adalah tindakan yang salah! Kamu dulu adalah anak yang baik, kenapa sekarang kamu malah berubah seperti ini?" ujar sang guru dengan kecewa.

"Aku tidak curang," kata Felice setelah beberapa saat. Tatapannya membuat sang guru tanpa sadar merasa tidak nyaman, tapi saat mendengar kalimat siswanya, dia kembali marah.

"Mengapa kamu masih berbohong di saat seperti ini? Buktinya sudah di sini, tapi kamu masih mau mengelak? Sebelumnya hasil ujianmu selalu pas-pasan, tapi di ujian kali ini semua jawabanmu benar, namun tidak ada sedikit pun coretan cara di lembar jawabanmu. Kalau bukan curang, apa namanya?"

"Hanya karena aku tidak menuliskan caranya bukan berarti aku curang," balas Felice.

"Sudahlah, tidak ada gunanya berbicara denganmu. Ibu sudah memanggil orang tuamu untuk membahas masalah ini. Kembali ke kelas dulu, nanti Ibu baru memanggilmu lagi," ujar sang guru dengan ketidaksabaran yang terselip di nadanya. Mendengar kata-kata gurunya, Felice benar-benar berbalik dan langsung meninggalkan kantor. Sebelum pintu kantor tertutup, gumaman kekecewaaan dan gerutuan samar masuk ke telinganya.

Felice berjalan perlahan melewati koridor sekolah. Hasil ini bukanlah yang diharapkannya saat dia hanya dengan santai mengisi lembar ujian. Siapa sangka kalau nilainya dulu ternyata seburuk ini. Tapi yang membuatnya kesal adalah reaksi gurunya.

Felice tidak suka dihakimi. Bahkan ketika berpura-pura menjadi siswa yang sederhana di masa lalu, belum pernah ada yang meragukan kemampuan akademiknya. Kalau bukan karena usianya sekarang, dia tidak akan sudi menghabiskan waktunya untuk kembali melewati masa sekolah yang membosankan ini.

Ketika kembali ke kelas, para siswa terang-terangan memandang Felice dengan tatapan ketidaksukaan. Feline menatap kakaknya dengan pandangan cemas dan berbisik pelan, "Apa kata Guru?"

"Dia menelepon Papa dan Mama."

Mata Feline langsung terbelalak dan dia dengan cemas berbisik lagi, "Kenapa? Kan Kakak tidak curang, kenapa Bu Guru mau memanggil Papa sama Mama ke sekolah?"

"Dia tidak mempercayai hasil ujianku."

"Tapi!..," Felice meletakkan tangannya di puncak kepala Feline untuk menenangkan kegelisahan adiknya.

"Jangan khawatir, Bu Guru tidak bisa sembarangan menuduhku. Kalau dia mau memanggil Papa Mama, biarkan saja dia melakukannya."

Feline memandang bingung kakaknya. Tidak ada sedikit pun ketakutan atau kecemasan di wajah Felice. Ini bukan hanya perasaannya saja, kakak yang selalu tersenyum ini tampaknya sudah agak berubah.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!