"Milly." panggil Ibrahim pada putri bungsunya yang baru mengucek matanya yang terlihat merah dan berair. Matahari sudah naik sepenggalah, tapi putrinya itu malah baru bangun tidur. Kalau saja tenggorokannya tidak haus, belum tentu juga Milea keluar dari kamarnya. Untung saja ini hari sabtu, jadi Milly tak perlu pergi ke kampus dan memilih membenamkan dirinya dengan bantal. Ahh...sebenarnya bukan itu penyeban utamanya, tapi kejadian semalam. Dia baru sampai ke rumah antara jam dua dini hari. Untungnya, bik Ana asisten rumah tangganya mau berbaik hati membukakan pintu, jika tidak tentu dia akan kena marah papa dan Leon, kakak laki-lakinya.
"Papa...masih di rumah?" tanyanya bingung. Tak biasanya Ken Ibrahim, papanya ada dirumah siang hari begini. Weekend pun pasti pria paruh baya itu memilih menghabiskan waktu di luar dengan rekan-rekan bisnisnya, entah bermain golf atau sekedar ngopi bersama. Semenjak Jane Ibrahim mamanya meninggal, sang papa seperti enggan dirumah.
"Aku juga dirumah Milea." tentu saja Milea tau itu suara Leon. Tapi lagi-lagi dahinya bertaut. Leon juga biasanya tak dirumah. Kenapa hari ini mereka anteng dirumah, menunggunya di meja makan pula. Padahal ini sudah jam 9. Kejadian diluar kebiasaan dan ajaib. Biasanya hanya dia yang tinggal dirumah beserta para asisten rumah tangga.
"Kakak juga? ada apa?" tanya Milly yang segera menuju kulkas dan mengambil air dingin. Tubuhnya terasa linu dan penat karena permaianan panas tiada henti dengab....ahh..pria itu?? siapa namanya? Bodoh!! dia bahkan tak tau siapa namanya.
"Ehmmm...pria itu ganas juga." celutuk Leon yang membuat Ken ibrahim melirik Milea. Benar...leher putrinya dipenuhi bercak merah yang sudah berangsur membiru, dan Milea terlihat seperti sengaja tak menutupinya dengan memakai baby doll dengan potongan dada rendah dan rambut yang kuncir asal dengan penjepit motif angsanya. Atau Milea belum mengetahuinya? Ken segera mengalihkan pandangannya ke arah lain, tak ingin Milea tau jika dia memperhatikan leher si gadis yang telah berstempel khas disana-sini. Sedang Leon terus berusaha menghentikan perdebatan dihatinya. Nalarnya tak percaya jika sahabatnya yang amat menjauhi makhluk yang bernama wanita bisa menjadi seganas itu diatas ranjang. Amazing.
"Mandi dulu. Lalu kita sarapan. Ada yang mau papa bicarakan." ujar Ken membuat Mile urung duduk disamping mereka lalu tergesa naik ke kamarnya.
"Apa mereka benar mau datang malam ini?" tanya Leon pada papanya sambil menyesap kopinya hampir berbarengan dengan sang papa.
"Mestinya begitu. Tuan Hutama sudah setuju." balas Ken menatap serius putranya. Leon hanya mengangguk samar saat ponselnya berdering. Sekilas dia melirik sang penelepon yang tentu saja membuatnya jengah. Pasti pria disebarang sana sudah tau dan akan memakinya. Dia mengangkat panggilannya malas.
"Hallo..."
"Kau dimana?"
"Rumah. Mau kesini?"
"Shiitt..aku bahkan tak tau dimana rumahmu. Datanglah ke kafe Moonlee sekarang. Aku menunggumu."
"Lebih baik kita ke lapangan bola." sergah Leon dengan mata berkilat.
"Lapangan bola? untuk apa? aku mau bicara, bukannya mau cetak gol atau berebut sebuah bola yang bisa kubeli tanpa harus bersusah payah. Permainan bodoh." suara disana terdengar meradang. Leon hanya menanggapinya seperlunya.
"Cuma kau laki-laki yang bodoh di dunia ini. Sepak bola kau tak suka. Aku jadi bertanya-tanya. Kau ini sebenarnya lelaki atau wanita?" Ken hanya melirik putranya. Dari nada bicaranya dia cukup tau siapa yang meneleponnya.
"Aku lelaki Leon. Dan aku sudah meniduri anak orang! cepat kemari atau kuratakan perusahaan animasi bodoh yang kau ciptakan!!" ancam pria yang ternyata Rafael hutama itu penuh penekanan. Sebenarnya bukan karena takut ancaman, tapi Leon merasa perlu bertanggung jawab untuk semua kejadian yang menimpa sahabatnya itu.
"Aku ke moonlee kafe dulu pa, Rafa ingin bertemu. Papa saja yang beritau Milly." Ken hanya mengangguk.
"Apa kau akan adu jotos dengannya lagi?" Leon menoleh.
"Kali ini aku bersalah. Aku janji tak akan melawan." Ken hanya tersenyum miris. Sudah suatu kebiasaan dari kecil jika anaknya dan Rafa akan berantem jika selisih pendapat. Dia yang ingin menuntut karena anaknya pulang sekolah dalam keadaan babak belur mengurungkan niatnya begitu tau jika yang membuat anaknya seperti itu adalah tuan muda Hutama yang bisa saja membuatnya miskin dalam waktu sehari. Pun saat Rafael pulang dalam kondisi sama, dia sebagai orang tua juga dibuat ketar-ketir, takut jika Fernando tak terima lalu menghukum anaknya. Tapi ternyata sang tuan besar diam tak bertindak. Malah terkesan membiarkan dua jagoan itu terus berantem hingga melewati bangku SMA, bahkan hingga sekarang.
"Kau tak sepenuhnya bersalah Lee." tambah Ken santai. Tak ada yang tau siapa yang menang dan kalah jika keduanya berduel. Mengikuti pelatihan bela diri yang sama juga latihan fisik serupa membuat mereka bak kekuatan yang sukar ditebak. Tergantung mood saja.
"Aku tau. Richard juga harus ikut bertanggung jawab." tegasnya. Adik sahabatnya itu juga eksekutor dibalik semua kejadian yang menimpa Rafael yang bisa dikatakan sebagai korban disini.
"Tapi Fernando satria Hutamalah dalangnya." gumam Ken lagi. Leon melengos kesal.
"Atas permintaan papa tentunya." Ken termangu menatap putranya. Dia tau...dia juga ikut bersalah. Wajar jika nanti Rafael marah dan menghajar putranya. Tentu sebagai anak lelaki Leon tak akan membiarkan dirinya disakiti.
"Maafkan papa Lee...papa hanya ingin..."
"Yang terbaik untuk Milly." potong Leon lalu melangkah pergi dengan jaket sportnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 126 Episodes
Comments
wilda yunita
lanjut thor pnasaran bgt
2023-02-19
0
Elfrina Binelka
astagaaa.. ini sdh direkayasa dr awal wkwkwkwk.
keren thor, ditunggu kelanjutannya
2023-02-19
0