3 . ADRIAN KEDUA

Pagi-pagi sekali, Amara keluar dari kamarnya karena suara ribut. Meski kediaman Juan sangat luas, bukan berarti sumber berisik dari luar tidak terdengar sampai ke dalam rumah. Ia mengucek matanya lalu berjalan ke ruang tamu. Langkahnya terhenti tatkala melihat Juan tengah menelepon seseorang di sana.

"Nginep di sini? Yang bener aja!" Juan berdiri di dekat sofa dengan ponsel yang masih menempel di telinganya. "Pa, aku, kan, udah bilang, aku bisa hidup sendiri di sini. Ada Amara, ada Bi Darmi, Pak Ujang ...."

Pa? batin Amara yang tidak sengaja menguping.

"Astaga, Papa. Udah, deh, suruh Hilmi nyewa apartemen kek, apa kasih itu rumah Papa yang masih disewain orang. Susah amat!" omel Juan.

Pemuda itu terdiam sejenak mendengarkan lawan bicaranya berceloteh.

"Ya enggak bisa gitu dong, Pa. Pilih kasih am—"

Seketika sambungan telepon terputus. Juan hampir saja membanting ponselnya, tapi urung saat melihat Amara yang mengintip dari balik tembok yang membatasi ruang tamu dengan ruang tengah.

"Ngapain lo di situ?!" hardiknya.

Amara tersentak. Ia keluar dari persembunyiannya. "Jangan galak-galak dong, copot jantung gue ntar," lirihnya.

Pemuda itu terdiam sambil mengatur ritme napasnya sejenak.

"Tadi itu—"

"Enggak usah banyak tanya," potong Juan saat Amara hendak berbicara. "Buruan mandi. Jam enam kita berangkat, macet soalnya."

Amara tersentak. Ia sadar jika sekarang adalah hari Senin. Sudah pasti jalanan akan macet, sedangkan sekolah mereka hanya bisa ditempuh melewati pusat kota. Ia bergegas kembali ke kamar dan melupakan hal yang barusan terjadi.

***

"Bawain tas gue ke kelas. Gue mau ada urusan dulu," titah Juan pada Amara usai keduanya turun dari mobil.

Amara hanya mengangguk dan bergegas menuju kelas. Matanya memandang Juan sejenak. Pikirannya kembali terngiang keributan tadi pagi.

Jadi tadi papanya Juan, ya, yang nelpon? Terus, Hilmi itu siapa? batinnya.

Gadis itu sibuk menatap kepergian pemuda itu sampai tidak sadar menabrak seseorang dan menjatuhkan tas Juan yang dibawanya.

"Eh, sorry," lirih Amara.

Seorang pemuda membungkuk, mengambil tas Juan yang terjatuh. Ia berdiri dan memberikannya pada Amara.

Gadis itu tersentak. "Lah, Ju-Ju ...." Amara menunjuk pemuda di hadapannya kini, lalu ke arah Juan pergi tadi.

Netra pemuda itu melebar sejenak. Sekian detik kemudian, ia tersenyum. "Kalo jalan hati-hati," katanya.

Amara masih melongo dengan kejadian barusan. Otaknya mendadak blank. Pemuda di depannya mengulurkan tangan hendak bersalaman.

"Hil—" Belum sempat ucapan pemuda itu selesai, sebuah tangan menepis lengannya.

Amara lantas mendongak, menatap sosok penepis itu. Keterkejutannya semakin bertambah. Ia berkali-kali mengucek mata, memastikan jika dirinya benar-benar berhalusinasi sekarang.

Kok Juan ada dua? batinnya bingung.

"Siapa yang nyuruh lo ke sini, hah?" tanya Juan seolah menantang pemuda yang berwajah sama persis dengan dirinya.

"Ju." Amara menepuk lengan Juan, tapi sayangnya pemuda itu tidak merespons dan terus memelotot ke lawannya kini.

Pemuda yang mirip Juan itu tersenyum kecut. "Gue ke sini karena mau sekolah—"

"Siapa yang nyuruh lo sekolah di sini?!" potong Juan tidak sabaran.

"Papa." Kedua alis pemuda itu terangkat sejenak. "Buat ngawasin lo."

Juan sontak mengangkat kedua tangannya, mencekal kerah seragam pemuda yang mirip dengannya itu.

"Eh, eh, Ju!" seru Amara berusaha melerai mereka.

"Gue enggak pernah pengen diawasi sama lo," ucap Juan menekankan setiap kalimatnya sebelum melepas cekalannya itu.

Juan lantas menggenggam tangan Amara dan menarik gadis yang masih kebingungan itu pergi dari sana.

"Ju ... Juan lepasin!" Amara melepas paksa tangannya yang diremas habis oleh Juan usai mereka meninggalkan pemuda tadi dan sampai di depan kelas. "Sakit, Bego!"

Pemuda itu hanya menatap lurus kepada gadis di hadapannya. "Makanya, kalo disuruh jalan lurus itu, ya, lurus, enggak usah belok sampe ke mana-mana," katanya.

"Gue enggak belok. Tadi gue nabrak dia!" elak Amara.

"Emang mata lo taruh di mana sampe nabrak orang, hah?!"

"Ya gue, kan, enggak tahu kalo dia—"

"Berisik ah."

Juan mengakhiri perdebatan itu dan bergegas masuk ke kelas usai merebut tasnya yang dibawa gadis itu. Amara lantas memasang wajah cemberut karena menahan gunung api dalam dirinya yang ingin meledak detik ini.

***

Seorang pemuda berdiri di dekat meja guru sambil memasang senyum ke arah para murid yang saling berbisik. Amara yang matanya melotot karena terkejut dengan hadirnya pemuda itu lantas berbalik menatap sosok yang duduk di bangku belakangnya.

"Hari ini kelas kalian kedatangan murid baru," ucap Bu Risna, guru mata pelajaran biologi.

Amara yang menoleh ke belakang mengernyit menatap Juan yang tengah mengepalkan kedua tangannya di atas meja. Pemuda itu sepertinya punya dendam kesumat pada murid baru tersebut. Matanya saja tidak mau lepas memandang lurus ke depan kelas.

"Silakan perkenalkan diri kamu," pinta Bu Risna beberapa saat kemudian.

Murid baru itu mengangguk, lalu kembali menatap para murid. "Perkenalkan, nama saya Hilmi Adrian," katanya, "saya saudara kembar Juan Adrian."

Mulut Amara sontak menganga, hampir berbentuk seperti sumur galian. Ia kembali berbalik dan mendapati tatapan tajam Juan kepada Hilmi.

Jadi dia punya kembaran to, pikir gadis itu.

"Hilmi ini adalah murid pertukaran pelajar. Dia akan belajar di sekolah kita selama satu tahun. Jadi, Ibu harap kalian berteman baik dengannya, ya," ucap Bu Risna. "Silakan duduk, Hilmi."

Hilmi tersenyum dan mengangguk sejenak kepada guru biologi itu. Beberapa saat kemudian, materi pelajaran di mulai usai Hilmi duduk di bangkunya yang berada tidak jauh di belakang bangku Amara dan Juan.

Amara yang memandangi Hilmi lantas mendapat kedipan mata dari pemuda tersebut. Juan yang menyadarinya justru menabok wajah gadis itu agar berbalik ke depan dan mengabaikan saudara kembarnya.

Enggak usah ngeliatin dia. Sakit mata lo ntar! batin Juan kesal.

***

Bel istirahat berbunyi beberapa jam kemudian. Murid-murid bergegas keluar kelas menuju kantin, menyisakan Amara, Juan, dan Hilmi. Gadis itu berbalik hendak mengajak Juan ke kantin, tapi perhatiannya justru tertarik kepada Hilmi yang bangkit dari kursinya.

"Ke kantin, yuk," ajak Hilmi setelah dirinya berdiri di dekat bangku Amara.

Juan yang sejak tadi sibuk menulis catatan langsung mendongak menatap Hilmi, lalu Amara.

"Eh, tadi kita belum kenalan loh," ucap Hilmi tidak memedulikan Juan. "Nama lo siapa?"

Belum sempat Amara menjawab, Juan buru-buru menarik tangan gadis itu dan membawanya ke luar kelas.

"Amara!" seru gadis itu sebelum benar-benar hilang di balik pintu.

Hilmi tersenyum lebar meresponsnya. Ia berlari mengekori kedua murid tersebut hingga sampai di persimpangan koridor menuju kantin.

"Ngajak pacarnya ke kantin, masa kakaknya enggak diajak juga sih," celetuknya saat berhasil menyamai langkah Juan dan Amara.

"Dia bukan pacar gue, ya, enggak usah cerewet lo," balas Juan ketus.

"Oh, jadi Hilmi kakak lo?"

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!