"Pulang nanti bakal ada urusan lagi enggak?" tanya Amara usai keluar kamar dan menjumpai Juan yang sudah bersiap di ruang tamu.
"Entah. Gue belum nemu jadwal yang pas buat ketemu mereka," jawab Juan sambil membenahi dasinya.
Tiba-tiba saja, Hilmi datang dan langsung merangkul pundak kedua orang itu. Juan yang risi lantas melepas rangkulan kakak kembarnya itu.
"Gue berangkat bareng kalian, ya?" kata Hilmi.
"Berangkat sendiri aja sono. Lagian ada mobil nganggur tuh di parkiran," timpal Juan tidak mau menatap kakaknya itu.
"Gue maunya berangkat bareng lo, Dek." Hilmi hendak mencubit pipi Juan, tapi urung karena adiknya itu malah menepis tangannya.
Amara berusaha menahan tawa melihat tingkah laku mereka berdua. Juan lantas bergegas menuju mobil, diikuti Hilmi dan juga gadis itu.
***
"Rumus sudah saya tulis di papan. Sekarang, siapa yang bisa menyebutkan penerapan Hukum Bernoulli dalam kehidupan sehari-hari?" Pak Dedy meletakkan spidol di atas meja, lalu menatap para murid.
Sebagian murid masih ada yang mencatat rumus yang baru saja beliau tuliskan di papan tulis, sementara sisanya sibuk saling berbisik tentang jawaban dari pertanyaan pria botak itu barusan. Seorang pemuda tiba-tiba saja mengangkat tangan kanannya.
"Ya, Juan, sebutkan apa saja penerapannya?" Pak Dedy menatap ke arah pemuda yang duduk di belakang Amara itu.
"Penerapan Hukum Bernoulli dalam kehidupan sehari-hari di antaranya menghitung lamanya waktu yang dibutuhkan untuk menguras air dalam tangki penampungan, gaya angkat pesawat saat akan terbang, dan pembuangan limbah asap melalui cerobong asap di pabrik-pabrik, Pak," jawab Juan.
Amara lantas mengerucutkan bibir dan mengangguk usai mendengar jawaban pemuda itu, sementara murid lain sibuk mencatat.
"Juan udah ganteng, pinter pula," bisik salah seorang murid perempuan yang duduk tidak jauh dari bangku Hilmi kepada teman sebangkunya.
"Iya, tapi pelit kalo dimintain contekan," balas temannya.
"Hust, kedengeran ntar anaknya."
Hilmi yang mendengarnya hanya bisa menghela napas panjang. Ia kembali menulis rumus di papan tulis dan mendengarkan materi lanjutan dari Pak Dedy.
***
Bel istirahat berdering beberapa saat kemudian. Para murid bergegas keluar kelas demi mendapatkan udara dingin karena terbakarnya otak mereka akibat rumus fisika tadi. Pak Dedy yang masih merapikan buku-bukunya lantas memanggil Juan.
"Juan!"
"Ada apa, Pak?" tanya pemuda itu.
"Kamu jangan lupa, ya, buat jadwal rutin karena sebentar lagi ada olimpiade. Sudah diberitahu sama wali kelas, 'kan?" ucap Pak Dedy sambil menaikkan kedua alisnya saat mengajak bicara anak muridnya itu.
Juan mengangguk. "Sudah, Pak," jawabnya.
"Ya sudah kalau begitu. Jangan lupa belajar." Pak Dedy menepuk pundak Juan sebelum akhirnya keluar kelas.
"Amara, ke kantin, yuk!" ajak Hilmi sembari menghampiri Amara yang baru saja menutup buku fisikanya.
"Ng ..., anu ...." Amara melirik Juan yang berjalan ke arahnya. Pemuda itu lantas menarik tangannya dan mengajaknya ke luar kelas.
Namun, Hilmi tidak kehabisan akal. "Eh, lo, kan, disuruh belajar sama Pak Dedy tadi," sahut Hilmi berusaha menghentikan langkah dua orang itu.
"Belajar juga enggak harus tiap jam, tiap menit kali," balas Juan. "Mending lo sana yang belajar, biar enggak ngikutin orang mulu kerjaannya."
"Juan, jangan gitu ah," desis Amara.
"Lo ngapain sih belain dia?" Juan menatap tajam ke arah gadis di sebelahnya itu.
"Hilmi, kan, kakak lo, Ju. Wajarlah gue bela dia," ucap Amara setengah meninggikan nada bicaranya.
"Udah-udah," sahut Hilmi. "Gue enggak apa-apa kok," ucapnya pada Amara sembari mengangguk seolah memberi isyarat pada gadis itu.
Juan yang terdiam lantas menarik lengan Amara menjauhi Hilmi.
Langkah mereka berhenti di dekat perpustakaan. Juan akhirnya melepas cengkeraman tangannya di lengan Amara. Gadis itu lantas mengusap tangannya yang memerah.
"Sorry, ya," lirih Juan.
Amara mendongak menatap pemuda di depannya itu. "Kenapa?" tanyanya.
Juan terdiam dan setengah tertunduk tidak ingin menatap gadis di dekatnya. Amara lantas mengerutkan kening.
"Lo kenapa?" tanya gadis itu lagi.
Pemuda itu menghela napas sejenak. "Ya, pokoknya gue minta maaf," katanya.
"Buat apa? Terusan kenapa lo malah ngajak gue kemari?"
Amara menyebarkan pandangan ke berbagai arah dan baru sadar kalau Juan bukan mengajaknya ke kantin, tapi malah ke perpustakaan. Juan bergeming sejenak.
"Temenin gue. Kan, tadi disuruh Pak Dedy belajar," katanya seraya masuk ke perpustakaan terlebih dahulu.
Amara sontak semakin mengerutkan keningnya.
Hah? Apa-apaan sih ni bocah?! pikirnya kesal. Labil anjir!
***
Amara segera memasukkan buku-bukunya ke tas usai bel tanda pulang berdering dan guru yang mengajar kala itu mengakhiri pelajarannya. Ia berjalan menyusul Juan yang sudah terlebih dulu keluar kelas. Namun, tiba-tiba saja Pak Dedy menghampiri mereka.
"Nah, Juan, kamu ada pelajaran tambahan, ya, hari ini untuk olimpiade kamu besok," ucap pria botak itu.
"Sekarang, Pak?" tanya Juan.
"Iya. Tadi saya tanya Bu Risna, wali kelas kamu dan jadwalnya sudah ditentukan."
Juan bergeming. Sesekali dirinya melirik ke arah Amara yang berdiri di dekatnya. Hilmi yang baru saja keluar kelas mendadak menghentikan langkah. Ia merangkul pundak Amara seketika.
"Amara pulang bareng gue aja," ucap pemuda itu hingga membuat Juan lantas mengerutkan kening, sementara Amara hanya meringis menimpali.
"Ayo, Nak. Saya tunggu di ruangan, ya," ucap Pak Dedy sambil menepuk pundak Juan sebelum akhirnya pergi.
Juan menghela napas sejenak lalu menyusul langkah Pak Dedy dengan matanya yang masih melirik tajam ke arah Hilmi. Sementara Hilmi melambaikan tangan membalas lirikan saudara kembarnya, Amara masih meringis kaku di rangkulan pemuda tersebut.
***
"Langsung pulang aja, ya?" tanya Amara saat sampai di mobil yang menjemput dirinya dan Hilmi.
Pemuda di sampingnya tampak berpikir sejenak. "Jalan-jalan dulu aja lah, ya. Soalnya gue, kan, baru pindah kemari, jadi lo harus nemenin gue keliling kota biar bisa adaptasi," ucapnya menimpali.
"Tapi gue mau ngerjain tugas, Hil."
Hilmi lantas melambaikan jari telunjuknya tepat lima senti di depan wajah gadis itu. "Hari ini doang kok!" rayunya.
Amara menghela napas sejenak. Ia mengangguk sekian detik kemudian.
Mereka berdua menuju ke salah satu tempat wisata. Mulanya Amara mengajak Hilmi jalan-jalan menggunakan mobil jemputan. Namun, pemuda itu menolak dan lebih memilih naik kendaraan umum.
"By the way, lo, kan, murid pertukaran pelajar nih. Emang awalnya lo sekolah di mana?" tanya Amara membuka
obrolan sambil sesekali menyedot thai tea miliknya.
"Dari Jerman. Gue sebenernya udah males sih karena gue sekolah di sana dari SD dan bosen aja karena Papa sama Mama di Indonesia, sedangkan gue di sana cuma sama Paman," jawab Hilmi.
"Nah, kenapa lo bisa sekolah di sana coba?"
Hilmi menggaruk kepalanya sejenak. "Gue dapet beasiswa ke sana."
"Wow, hebat dong!"
"Enggak juga sih. Tadinya pas SD gue ke sana cuma karena mau fokus sekolah musik, tapi malah dapet beasiswa. Akhirnya, ya, gue lanjutin aja," balas Hilmi setengah terkekeh.
"Lo bisa main alat musik?" tanya Amara sesekali memandang wajah pemuda yang berjalan di sampingnya itu.
Hilmi lantas membalas tatapan Amara dan mengangguk cepat. Matanya kemudian menyebarkan pandangan sampai akhirnya tertuju pada dua orang pemusik yang sedang beristirahat.
"Ke sana, yuk!" ajak Hilmi usai menepuk pelan pundak Amara.
"Sabar, Bos." Amara mengangkat kedua tangannya di depan dada. "Gue ke toilet dulu, ya. Lo duluan aja," ucapnya kemudian.
"Serius enggak apa-apa sendirian?"
"Iya. Ntar gue nyusul kok. Udah kebelet ini!"
Hilmi mengangguk sebelum akhirnya Amara meninggalkannya. Ia lantas menghampiri dua orang remaja yang masing-masing membawa gitar itu. Pemuda yang satunya masih menegak air mineral yang baru saja dibelinya dan temannya tengah membenahi senar gitar yang agak kendur.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments