Setelah berhasil mengganti baju Gita, Bu Dewi mengambil air hangat untuk mengompres dahi gadis itu. Sementara Dewa hanya memperhatikan dari kejauhan.
"Udahlah Bu, biarin aja. Ntar dia bakalan sadar sendiri." tukas Dewa.
"Nggak boleh bersikap seperti itu Dewa. Ibu tidak pernah mengajari kamu untuk tidak punya rasa simpati. Bukankah ibu selalu mengajari kamu untuk berusaha meringankan beban orang lain?" sahut sang ibu.
"Iya bu, tapi bukan untuk perempuan nyebelin seperti dia!" sangkal Dewa.
"Jangan terlalu membenci, nanti kamu bisa balik jatuh cinta sama dia." tukas Bu Dewi sambil terus mengompres dahi Gita.
"Apa Bu? Jatuh cinta? Nggak mungkin banget ! Aku sama dia tuh kalau ketemu udah kayak kucing dan anjing." celetuk Dewa sambil menertawakan ucapan ibunya.
"Ibu kan hanya mengingatkan saja, jangan berlebihan membenci seseorang, nanti kamu akan berbalik mencintainya. Ngomong ngomong gadis ini rumahnya dimana? Kita harus menghubungi keluarganya agar di jemput." tanya Bu Dewi.
"Dia nggak punya keluarga. Tinggal sendirian dan rumahnya dekat dengan rumah mendiang Dini" jawab Dewa dengan wajah redup kala dia menyebut nama kekasihnya.
"Apa? Dia tidak punya keluarga? Apa dia saudaranya Dini?" tanya Bu Dewi.
"Bukan, mereka hanya bersahabat. Dan yang menyebabkan kematian Dini adalah dia, itu sebabnya aku semakin benci padanya." sahut Dewa dengan memalingkan pandangan.
"Apa maksud kamu? Bukankah Dini meninggal karena kecelakaan?" tanya Bu Dewi kemudian.
"Iya, tapi Dini berpesan jika umurnya tak panjang, dia akan mendonorkan hatinya untuk perempuan itu." ungkap Dewa.
"Jadi, bekas luka ini karena donor hati? Memang sakit apa dia? Sungguh mulia hati nak Dini, tapi kamu nggak boleh menuduh gadis ini sebagai pembunuhnya." Bu Dewi berusaha menasehati putranya.
Dewa sempat terdiam mendengar nasehat ibunya karena sebenarnya dia juga membenarkan kalimat itu. Gita memang bukanlah pembunuh Dini, karena kekasihnya berpesan ingin mendonorkan hati ketika nyawanya sudah tak terselamatkan. Namun entah kenapa, Dewa merasa tidak rela jika hati kekasihnya tertanam di tubuh gadis yang sangat dia benci.
Setelah sempat terjadi keheningan, Gita mendadak mengeluarkan suara batuk seperti orang yang tersedak.
"Dia siuman." tukas Bu Dewi.
Dewa tersentak dari lamunannya dan mulai memperhatikan apakah Gita benar benar siuman atau tidak. Gita perlahan membuka mata dan dia berusaha mengenali pemandangan sekitar.
"Kamu sudah sadar nak?" sapa Bu Dewi ketika Gita menatap wajahnya.
Gita tersenyum kepada Bu Dewi. Entah mengapa hatinya tiba tiba bergetar dan merasa nyaman berada di ruangan itu, apalagi ketika memandang wajah teduh Bu Dewi. Padahal Gita tidak mengenal siapa Bu Dewi, dan tidak tahu dia berada di rumah siapa?
Gita masih berusaha menelusuri seluruh ruangan, dan mendadak netranya bertemu dengan sosok pria, yakni Dewa. Seketika itu Gita teringat bahwa terakhir kali sebelum dia tak sadarkan diri, dia berada di depan rumah Dewa lalu kehujanan dan pingsan.
"Dewa," saat itu juga Gita segera menyapa Dewa, tapi pria itu tetap bersikap dingin.
"Terima kasih bu, atas pertolongannya " ucap Gita dengan kembali menghadap ke arah Bu Dewi.
"Sama sama nak, apa kamu lapar?" Gita menggelengkan kepala mendengar pertanyaan Bu Dewi . Namun sayang, cacing di perutnya mewakili itu rasa lapar yang dia pendam.
"Diam di sini, ibu akan mengambilkan kamu makanan!" tukas Bu Dewi sambil berdiri hendak ke dapur guna menyiapkan makanan untuk Gita.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments