3

...Happy Reading...

.........

........

.......

Jocelyn baru saja menyelesaikan makan siangnya dengan keluarganya dan pamannya. Ia melihat ke sekeliling seraya memperhatikan condo milik keluarga pamannya itu dengan seksama.

Condo yang ditinggali oleh keluarga pamannya kini sangat berbeda dengan rumah yang dulu Jocelyn ingat. Yah, lagipula itu sekitar 13 tahun yang lalu tentu saja akan ada banyak perbedaan tanggapnya.

Jocelyn menghampiri putra pamannya yang dua tahun lebih muda daripadanya. Ia menyapa sepupunya itu. Pria itu bernama Marco Elliot. Elliot yang merupakan nama belakang Marco adalah nama belakang keluarga pamannya.

Marco tersenyum melihat jocelyn yang menghampiri dan duduk disisinya. Sudah lama sekali, semenjak terakhir kali mereka duduk bersama menikmati semilir angin dengan tenang.

"Kau sudah tumbuh besar sekarang" ujar Jocelyn pada Marco dan membuat keduanya tergelak dalam tawa.

"Yah kurasa begitulah adanya" Tanggap Marco akan ucapan sepupunya itu.

Pamannya mempunyai sepasang anak. Putranya adalah Marco sedangkan putrinya bernama Eliana Elliot.

Eliana masih berada di luar kota untuk dua hari kedepan karena kesibukannya di kantor. Karena itulah Jocelyn tidak bertemu dengan Eliana.

Setelah menghabiskan waktu berbincang dengan Marco, Jocelyn akhirnya pergi ke kamarnya untuk membersihkan tubuhnya yang kini terasa lengket.

Ia akan tinggal selama dua minggu di kamar yang sama dengan kakaknya. Sebenarnya, ini akan menjadi sangat canggung karena hubungan yang aneh diantara keduanya.

Namun tak bisa dipungkiri, Jocelyn juga mengharapkan hal ini terjadi sebagai upaya untuk meluruskan kesalahpahaman dan memperbaiki hubungan diantara keduanya.

Jocelyn mengetuk pintu sebelum akhirnya ia membukanya dan masuk ke dalam kamarnya. Ia melihat Emily yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan berbalutkan robe.

Jocelyn menatap kakaknya sebentar sebelum akhirnya ia tersenyum simpul.

"Kau ingin menggunakan kamar mandi?, aku baru saja selesai" Ujar Emily acuh tak acuh pada adiknya.

"Ah, iya. Aku akan menggunakannya. Tampaknya, malam ini kau akan menghabiskan waktumu diluar ya?" Tanya Jocelyn mencoba memulai pembicaraan.

Emily memutar bola matanya kesal dan menatap adiknya dengan pandangan tak minat.

"Sejak kapan kau mulai mengurusi urusanku? atau lebih tepatnya, sejak kapan aku harus memberitahumu setiap hal yang ingin aku lakukan?"

Emily mengeringkan rambutnya dan tak memperdulikan Jocelyn lagi, seolah kehadirannya hanyalah angin lalu baginya.

Jocelyn yang mendengar kalimat ketus kakaknya hanya bisa diam tak berkutik dan mencoba memahami situasi dengan tidak melanjutkan ucapannya lagi.

Hal ini sudah biasa dihadapi oleh Jocelyn namun seterbiasa apapun Jocelyn, ia tetap tak bisa memakluminya.

Setelah Jocelyn membersihkan tubuhnya, ia melihat Emily sudah siap dengan menggunakan mini dress berwarna hitam dilengkapi dengan stiletto berwarna abu-abu.

"Kau mau pergi sekarang?" Tanya Jocelyn pada Emily.

Emily hanya menganggukkan kepalanya pertanda mengiyakan ucapan adiknya dan Jocelyn ikut memahami maksudnya.

"Oh ya Joe, kurasa aku akan pulang terlambat malam ini, bisa kau bantu aku bertemu dengan Marina di kafe antlantis?" Tanya Emily pada Jocelyn.

"Apa akan lama?" Tanggap Jocelyn akan permintaan yang dilontarkan oleh Emily.

"Aku rasa tidak, kau hanya perlu mengambil pesananku dan segera pulang setelah itu" ujar Emily menjelaskan.

"Kurasa bukan ide yang buruk" Jocelyn akhirnya mengiyakan permintaan kakaknya itu dan melanjutkan kegiatannya mengeringkan rambut.

...****************...

Bulan bersinar terang dengan panorama langit yang indah, lampu-lampu kota yang menerangi jalan juga cukup membantu mata untuk melihat keadaan sekitar dengan jelas.

Seorang perempuan yang menggunakan ripped jeans yang dipadu dengan atasan kaos putih dan sneakers berjalan dengan santai setelah menemui temannya.

Perempuan itu adalah Jocelyn. Ia baru saja selesai mengambil pesanan Emily dan sekarang dalam perjalanan pulang.

Pesanannya hanyalah berupa flashdisk yang berisi beberapa ide karya untuk pekerjaan Emily kedepannya sehingga tidak terlalu membebani Jocelyn untuk membawanya pulang.

Dengan langkah santai, Jocelyn terus berjalan menikmati malam di manhattan. Sebenarnya, plan awalnya ialah bergegas pulang setelah menyelesaikan urusannya.

Namun, setelah ia berada di luar mengapa ia tidak menghabiskan waktunya sekalian begitulah pikirnya.

Jocelyn yang sedang menikmati semilir angin malam upper east side dengan earphone yang terpasang di telinganya samar-samar melihat kerumunan orang di alley yang gelap.

Ia menajamkan penglihatannya dan memerhatikan kegelapan itu. Matanya terus memperhatikan hal itu sampai akhirnya ia melihat seseorang mengeluarkan senjata yang berbentuk seperti pistol.

"Apa itu pistol?" Tanyanya agak terkejut pada dirinya sendiri.

Jocelyn merasakan kepanikan melanda dirinya, ia ingin berteriak saat itu juga namun feelingnya mengatakan hal itu akan semakin merepotkan apabila menimbulkan kegaduhan.

Pikirannya mulai buntu, ia sama sekali tak bisa berpikir, di satu sisi ia tidak ingin dirinya terlibat masalah akan tetapi jika ia tidak bereaksi maka akan ada nyawa yang melayang.

Seraya terus memikirkan siasat untuk membubarkan kerumunan itu dan menyelamatkan nyawanya, pikirannya mulai melayang kesana kemari.

Jocelyn akhirnya melihat ponselnya dengan seksama, ia berharap akan ada ide yang terlintas di pikirannya namun hasilnya masih saja nihil.

Jocelyn kemudian mengalihkan perhatiannya ke arah kerumunan itu, namun kini sudah tak ada seorangpun yang berada di tempat itu.

Ia mempertajam indera penglihatannya untuk memastikan apa yang dilihatnya pada kegelapan alley itu. Namun sepertinya tak tersisa seorang pun.

Ia ragu-ragu memasuki alley yang gelap itu untuk memastikan kebenarannya, namun tubuhnya cukup terkejut melihat hanya ada darah yang berceceran tanpa ada jasad sama sekali.

"Apa? Apa dia mati?" ujar Jocelyn ketakutan.

Kakinya mendadak melemah, cukup lemah hingga bahkan tak bisa bicara sama sekali. Terutama ketika ia mendengar sayup - sayup suara sepatu yang berhenti tepat dibelakangnya.

"Aku benar-benar tak menyangka akan mati secepat ini" Bisiknya pelan pada dirinya sendiri.

Jantungnya mulai marathon dengan ritme yang semakin menjadi-jadi. Tepat setelah itu seseorang menepuk pundaknya.

"Kurasa kau cukup berani untuk seorang gadis" Ujarnya tepat di sebelah telinganya.

Dadanya terasa sesak, nafasnya mulai tak beraturan. Pikirannya tak karuan, Jocelyn sudah kehilangan kesadarannya sekarang.

"Bukankah ini terlalu cepat untuk pingsan?"

Lelaki itu bertanya pada orang yang berada tepat di sebelahnya dan pria di sisinya hanya mengidikkan bahunya tak tahu.

Lelaki itupun memutuskan untuk mengangkat tubuh Jocelyn dan membawanya pergi.

Yah kemanapun itu asal bukan di sini begitu pikirnya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!